Page 1 of 14 Panek manurun jo mandaki, Maleleh kuduak di pasangan. Batanyo kabau ka padati, Jauah koh lai parantian.
Artinya : Letih menurun dan mendaki, Melepuh tengkuk di pasangan. Bertanya kerbau ke pedati, Jauhkah lagi perhentian.
Tafsir sampiran : Panek manurun jo mandaki, maleleh kuduak dipasangan. Alam terkembang yang digambarkan oleh pasangan kerbau dan pedati, yang perlu dibaca (Iqraa’), dipelajari dan dijadikan pedoman hidup. Pedati dengan tenaga penariknya kerbau adalah satu alat transportasi barang yang banyak digunakan dizaman dulu, sama dengan truk zaman sekarang. Kalau truk bisa mengangkat barang 3 sampai 40 ton, pedati tidak bisa lebih dari 500 Kg. Kalau truk bisa bergerak dengan kecepatan 40 – 80 Km/jam, pedati cuma 2 – 5 Km /jam. Pasangan pedati dan kerbau itu dengan setia tetap bergerak, walaupun pelan tetapi pasti, menelusuri jalan yang berliku-liku dan naik turun. Daerah Minangkabau adalah daerah pegunungan, kira-kira samalah dengan Jepang dan Mekah. Cuma kalau di Jepang atau di Mekah, jalan itu lurus dan datar, masuk gunung keluar gunung, kalau di Minangkabau jalan itu berkelok-kelok naik gunung dan turun gunung. Oleh karena kerbau itu menghela pedati dengan tenaga dan tengkuknya, maka lama-lama tengkuk (kuduak) itu jadi menebal dan melepuh (maleleh).
Tafsir isi pantun : Batanyo kabau ka padati, jauhkoh lai parantian. Pantun ini membaca alam terkembang dari kerbau-pedati ini sebagai suatu ibarat atau tamsil yang juga terjadi dimasyarakat manusia. Pedati itu bergerak karena tenaga kerbau, tampa adanya kerbau, pedati itu tak ada gunanya, tak akan berfungsi sebagai alat transportasi. Akan tetapi yang mendapat nama atau yang dikenal sebagai alat angkut, adalah pedati, bukan kerbau. Kalau ada yang bertanya dengan apa diangkut barang, jawabnya dengan pedati, bukan dengan kerbau. Lebih menyedihkan lagi , kerbau yang adalah motor penggerak dalam transportasi itu, tidak mengetahui kemana tujuan perjalanan itu dan dimana tempat berhenti, agar dia bisa beristirahat. Sedangkan siboss, yang empunya pedati atau kusiur pedati, enak-enak duduk diatas, sambil tiduran, ngelamun atau berdendang dan kadang-kadang mencambuk kerbau kalau jalannya kurang cepat. Siboss ini baru ikut berpartisipasi, kalau jalan terlalu menanjak, maka dia akan turun, membantu memutar roda pedati dan bersiap-siap dengan sepotong kayu yang digunakan untuk mengganjal, kalau pedati itu istirahat sebentar, agar dia tidak bergerak mundur. Pantun ini merupakan sindiran tajam kepada pemerentah Hindia Belanda dulu, yang menjajah Indonesia ini dengan seenak mereka saja. Kekuasaan mereka pada waktu itu sangat kuat dan kejam, tak mungkin dilawan dengan terang-terangan. Perasaan hati para seniman biasa dilahirkan dalam bentuk pantun-pantun sindiran, yang tiadak akan dimengerti oleh Belanda, akan tetapi orang Minang dapat memahaminya. Yang menyebabkan bergeraknya roda pemerentahan itu adalah rakyat, tampa rakyat, apa saja program tak akan jalan, bahkan tak ada negara kalau tak ada rakyat. Akan tetapi rakyat itu tidak mengetahui kemana dia akan bergerak, apa manfaat dari usaha mereka itu, dan kapan akan berakhirnya penderitaan mereka. Mereka hanya disuruh bergerak dan bergerak terus, kalau sedikit lambat akan dipukuli ( dimarahi, didenda, dihukum dan sebagainya). Untunglah sekarang kita sudah merdeka, walaupun tingkah laku pemerentah kita masih ada seperti disebut diatas, akan tetapi kadarnya sudah kurang, rakyat sudah ikut menentukan mau dibawa kemana negara ini. |