Page 1 of 24 Jiko dikaka sidaun pandan, Jatuah badarai sibungo lado. Jiko dikana si untuang badan, Jatuah badarai si aie mato. Artinya :
Kalau ditabur sidaun pandan, Jatuh berderai sibunga lada. Kalau dikenang siuntuang badan, Jatuh berderai si air mato.
Tafsir sampiran : Daun pandan biasanya dipergunakan untuk membuat tikar, pembuat topi, tas, dan sebagainya. Untuak itu daun pandan itu dibelah jadi lembaran kecil/panjang, lalu dikeringkan. Cara mengeringkannya dengan dijemur dibawah sinar matahari, biasanya dipekarangan rumah. Cara menjemur itu ialah dengan ditaburkan atau dikaka, secara merata, sehingga tidak ada yang menumpuk. Setiap lembaran daun itu diusahakan mendapat penyinaran yang sama, sehingga tingkat kekeringannya sama, merata. Jatuah badarai sibungo lado, maksudnya adalah bunga cabe, yang banyak jatuh ketanah berderai-derai sebelum menjadi buah. Cabe yang disukai oleh orang Minang sekarang dikenal dengan cabe keriting, lebih pedas dari cabe biasa yang terdapat di Jawa, kecuali cabe rawit. Bila cabe tersebut ditanam dan dipelihara dengan baik, tumbuhnya subur dan bunganya banyak sekali. Akan tetapi kebiasaannya bunga cabe itu sangat mudah gugur sebelum membentuk buah, sehingga yang sampai menjadi buah itu jumlahnya tidak banyak. Sifat bunga yang mudah berguguran itu, dimanfaatkan oleh pencipta lagu ini untuk diabadikan. Tafsir isi pantun : Pantun ini menggambarkan seseorang yang dalam hidupnya sudah banyak mengalami penderitaan, atau partasaian. Bila pada suatu waktu hidupnya sudah mulai membaik, kemudian dia merenungkan penderitaannya yang pernah dialami pada masa sebelumnya, maka air matanya akan keluar berguguran berderai-derai. Dia sedih mengenang kembali penderitaan hidup yang pernah dialaminya itu. Namun mungkin pula nasibnya itu tidak pernah membaik, sehingga pada waktu penderitaannya sudah hampir tak tertahankan, dia termenung mengenang berbagai penderitaan yang telah dan sedang dialaminya, dan meratapi bagaimana dan mengapa nasibnya selalu dirundung malang seperti itu. Pantun ini diambil dari sebuah lagu Minang moderen kalau tidak salah dari Orkes Gumarang pimpinan Asbon, yang sangat populer, pada tahun 50-an. Pada waktu itu lagu-lagu Minang memang sangat populer dan merakyat diseluruh pelosok Tanah Air, disukai semua orang, tidak hanya oleh orang Minang saja, dan kebanyakan dari lagu itu adalah berirama sedih, penuh dengan penderitaan, berurai air mata. Makan cubadak baulam manggih, Manggih dimakan dalam parahu. Dilua galak didalam tangih, Indaklah ado urang nan tahu. Artinya: Makan cempedak ber ulam manggis, Manggis dimakan dalam perahu. Diluar gelak didalam tangis, Tidaklah ada orang yang tahu. Tafsir sampiran : Makan buah cempedak atau nangka sebagai hidangan utama waktu itu, dan makan buah manggis sebagai selingan. Sedangkan buah manggis itu dimakan didalam perahu. Ini semua sebenarnya tidak mempunyai kaitan pengertian, hanya sekadar untuk mendapatkan persamaan bunyi saja. Tafsir isi pantun : Diluar gembira, didalam menangis, tidaklah ada orang yang tahu. Ini adalah gambaran seseorang yang sangat pandai menyembunyikan kesedihannya. Kelihatan dari luar dia biasa saja, malah gembira ria, sementara dia sebenarnya sedang ditimpa oleh penderitaan yang berat, kesulitan besar atau kemalangan yang menyedihkan. Dia hanya menangis didalam hati, sehingga kesedihannya itu tidak ada orang yang tahu. Ada kemungkinan dia berbuat seperti itu, karena dia merasa malu, kalau penderitaannya diketahui orang lain, dari itu dia berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikannya. Adakalanya memang penderitaan itu dapat berupa aib yang memalukan bila diketahjui oleh orang lain. Ada pula kemungkinan orang itu tidak mau menyusahkan orang lain dengan penderitaan yang ditanggungkannya, maka dia pendam saja sendiri, dia selesaikan sendiri, walaupununtuk itu dia sangat sedih dan berusaha keras, namun dari luar, dari tingkah lakunya sehari hari tidak kelihatan. Namun pada umumnya pantun ini ditujukan kepada seorang anak muda yang menderita, bersedih hati, karena cintanya kepada seorang gadis tidak berbalas. Dia bertepuk sebelah tangan. Gadis idamannya itu tidak membalas cintanya, malah segera akan menikah dengan orang lain. Atau mungkin juga orang tua gadis itu tidak setuju mengambilnya sebagai menantu. Untunglah sang pemuda ini tidak berputus asa, tidak cengeng, bagaimanapun sakit hatinya, namun tidak pernah diperlihatkannya diluar. Dia berusaha mempertahankan harga dirinya, dia yakin penderitaan yang dialaminya dalam bathin itu suatu waktu akan habis, dan dia akan menemukan satu jalan keluar yang mungkin malah lebih baik.
|