Tulisan ini dikutip dari Penelitian Kelompok penulis pada PUSLIT IAIN Padang, 2010 a. Surau dalam Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau merupakan institusi yang tidak bisa dikesampingkan. Surau memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menyebarkan keilmuan Islam jauh sebelum pendidikan modern yang berbasis Madrasah muncul. Dalam sejarah tercatat, tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh luas banyak lahir dari Surau. Mereka dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Surau. Sebutlah beberapa nama seumpama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i dan Imam di Mesjid al-Haram Mekah; Syekh Thahir Jalaluddin yang menjadi Mufti di Pulau Penang Malaysia; Syekh Janan Thaib yang menjadi guru besar pula di Mekah al-Mukarramah, dan banyak lagi lainnya. Begitu pula tokoh-tokoh nasional yang berjasa dalam masa awal pembentukan Indonesia, semisal Agus Salim, Hamka, Hatta dan lainnya. Ketokohan mereka tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari Surau, atau boleh dikata pernah beroleh pendidikan di Surau.
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Poerwadarminta, Surau diartikan sebagai tempat sembahyang (shalat), mengaji dan langgar. Sedangkan Gerard Moussay dalam Dictionnaire Minangkabau Indonesien menyebutkan bahwa surau ialah tempat belajar Agama; surau digunakan juga sebagai asrama bagi remaja yang mulai tumbuh dewasa. Dalam Ensiklopedi Pendidikan yang ditulis oleh Soegarda Poerbakawatja, dkk, disebutkan bahwa surau merupakan tempat belajar di Sumatera Barat. Di surau diberikan pelajaran keagamaan. Secara umum Poerbakawatja membagi institusi surau dalam dua tipe, besar dan kecil. Surau besar menyelenggarakan pelajaran rendah sampai yang tinggi. Sedangkan sifat pelajaran dari surau-surau kecil hanya terdiri dari pelajaran menghafal dan menulis. Menurut Snouck Hurgronye, seorang yang rajin dan cerdas akhirnya dapat membaca dan memahami buku-buku fiqih di Surau-surau yang besar dibawah pimpinan seorang guru yang pandai dan bijaksana. Sedangkan AA. Navis dalam Alam Takambang Jadi Guru memberikan gambaran bahwa surau pada mulanya hanya berfungsi sebagai tempat tinggal laki-laki duda dan bujangan. Lambat laun fungsinya menjurus sebagai tempat pendidikan Agama Islam, menjadi tempat mukim bagi siapa saja yang datang untuk belajar agama, sehingga ulama-ulama muda yang mendapat pendidikan dari sana disebut orang surau. Surau demikian tak obahnya pesantren di Jawa. Surau yang tetap berfungsi seperti asalnya masih ada hingga kini. Mengenai asal mula penamaan surau, disebutkan bahwa surau pada mula keberadaannya berfungsi sebagai biara budha di Minangkabau, yakni sebelum masuknya pengaruh Islam. Dimasa itu Adityawarman telah membuat sebuah model surau di Minangkabau sebagai pusat pengembangan agama budha. Bahkan dikatakan bahwa asal surau itu dari kata Saruaso, sebuah nama daerah, yang secara harfiyah bermakna surau asal, “surau” dan “aso”. Fungsi ini lama kelamaan berubah setelah masuknya agama Islam, apakah yang berasal dari pantai timur Sumatera atau pantai barat. Hingga akhirnya Surau identik dengan pusat pendidikan Islam di masa lalu. Sebelum fungsi surau sempurna, surau menjadi milik suku tertentu di Minangkabau. Adapun karakter surau di masa itu ialah: 1) Tempat tinggal bagi anak-anak yang telah berusia lebih dari 6 tahun, para bujangan, duda, pelancong dan orang-orang tua. 2) Tempat berembut mencari mufakat bagi kaum atau suku. 3) Tempat berkumpul, berkomunikasi dan bertemunya anak kemenakan, ipar, bisan dan bako. 4) Tempat mensosialisasikan adat, sopan santun dan tata pergaulan. 5) Tempat belajar silat. Setelah mendapat pengaruh Islam yang kental, maka fungsi surau bertambah dengan: 1) Tempat belajar mengaji dan sembahyang. 2) Tempat ibadah sehari-hari. Pada abad-abad yang lalu, surau disebut orang Belanda sebagai Indische Scholen (sekolah orang Melayu) atau Godstientscholen (sekolah agama). Hal ini mengisyaratkan betapa Surau di masa-masa itu merupakan satu lembaga yang sangat maju dan dikenal luas, sampai orang-orang kompeni ambil bagian untuk menggambarkan aktifitas surau ini. kenyataan itu makin diperkuat dengan data-data yang diberikan Belanda yang menggambarkan betapa pesat pendidikan model surau di Minangkabau di masa lampau. Salah satu data yang akan dikutip saat ini, yaitu data yang diberikan AWP. Verkerk Pistorius, dalam artikelnya yang berjudul De Priester En Zijn Invloed op de samenleving in de Padangsche Bovenlanden (pengaruh para ulama dalam masyarakat Minangkabau) pada tahun 1868. dia memberikan data banyaknya surau di Minangkabau kala itu, diantaranya: 1) Surau Taram, terbesar, sekitar 1000 murid. 2) Surau Koto Tuo, sekitar 220 sampai 300 murid. 3) Surau Cangkiang, sekitar 400 murid. 4) Surau Pasir, sekitar 300 murid. 5) Surau Laboh – Tanah Datar, sekitar 200 murid. 6) Surau Padang Gantiang – Tanah Datar, sekitar 100 murid. 7) Surau Simabur, sekitar 200 murid. Surau Pangean, sekitar 100 murid. 9) Surau Piei (Laras Salajoe), sekitar 300 murid. 10) Surau Muara Panas, sekitar 150 murid. 11) Surau Kota Hanou, sekita 200 murid. 12) Surau Kasih, Larang Saniang Bakar, sekitar 150 murid. 13) Surau Singkarah, sekirar 100 sampai 150 murid. 14) Surau Calou (Sijunjung), sekitar 300 sampai 400 murid. 15) Surau Padang Sibusuk, sekitar 150 murid. Begitupula dalam laporan terakhir keberadaan Inlandsche Scholen (sekolah anak negeri) pada tahun 1913, memberikan angka terbesar untuk sumatera barat dalam jumlah sekolah agama (maksudnya Surau) dibandingkan Daerah lain di Sumatera. Yaitu: Daerah Jumlah Sekolah Jumlah Murid Sumatera Barat 4.054 48.239 Tapanuli 426 6.481 Bengkulu 72 789 Palembang 82 1.215 Jambi ? 3.333 Sumatera Timur 70 1.630 Aceh 432 5.995 Riau 129 1.397 Lampung ? ? Meskipun cacatan mengenai nama-nama surau di atas belumlah secara menyeluruh, namun data tersebut telah memberikan gambaran pesatnya perkembangan surau di Minangkabau sebelum masa kemerdekaan. Dalam keterangan Mahmud Yunus, terdapat beberapa surau terkemuka sebelum abad XX yang mengembangkan pelajaran Islam dengan cara metode lama, yaitu: 1) Surau Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas Bukittinggi. 2) Surau Syekh Muhammad Jamil Tungkar 3) Surau Syekh Tuanku Kolok (Syekh Muhammad Ali) di Sungayang – Batusangkar. 4) Surau Syekh Abdul Manan (Tuanku Talao) di Padang Gantiang – Batu Sangkar 5) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandis – Suliki. 6) Surau Syekh Abdullah “Beliau Surau Baru” di Padang Japang – Suliki 7) Surau Syekh Ahmad alang Lawas – Padang Surau Syekh Amarullah – Maninjau 9) Dan lain-lainnya. Ibaratkan pesantren di Jawa, surau di Minangkabau mempunyai beberapa komponen yang membentuk komunitas orang siak dalam hubungannya dengan menuntut ilmu. Setidaknya ada tiga komponen yang saling bersinergi dalam komunitas surau, Pertama, ulama yang menjadi pengajar utama; kedua, orang siak (santri) yang menuntut ilmu dan ketiga keilmuan Islam yang diajarkan. Apabila ketiga komponen itu saling berkorelasi dengan baik maka akan terciptalah suatu lingkungan pendidikan agama yang baik. Sedangkan tempat belajar (surau) akan tercipta sendirinya ketika ketiga komponen itu saling berhubungan kuat. Bila komunitas ulama dan orang siak terbentuk, maka tak akan lama akan berdiri komplek surau-surau besar bergonjong yang sekian tingkatnya. Antara ulama dan orang siak tercipta suatu hubungan rohani yang erat, yang dibentuk oleh adab sopan santun kepada guru. Akan sangat aib dikalangan mereka bila ada salah satu murid yang melanggar pituah guru, apatah lagi bila menyalahi guru. Prinsip demikian agaknya diperoleh dalam pembacaan mereka terhadap kitab-kitab sumber yang menjadi rujukan. Salah satu doktrin yang sangat kuat misalnya menyebutkan bahwa hormat kepada guru termasuk salah syarat utama untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Selain itu, sisi lain keberhasilan surau di masa lalu ialah karena terciptanya kondisi belajar yang kondusif. Ulama merasa berkewajiban mengajarkan ilmunya dan orang siak merasa berkewajiban belajar ilmu agama. Di samping terbentuk karena adab yang dipakaikan (kode etik ilmu pengetahuan) yang memang dipatuhi secara penuh, hal ini juga tercipta karena masing-masing komponen memang berniat tulus sejak awal. Ulama hanya berniat semata-mata untuk mengajar, tanpa mengharap sepeserpun hasil jerih payahnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini pengalaman mengajar Syekh Daud Durian Gonjo (1854-1939) Pasaman di suraunya. Menurut keterangan cucunya, buya Abdullah Hukum, ia mengajar tanpa meminta bayaran sama sekali dari murid-muridnya, malah ia sendiri yang mensubsidi mereka, memberi mereka kebutuhan pangan, papan dan sandang. Padahal, aktifitas Syekh Daud setiap hari hanya mengajar dan berada di balik kelambu mengamalkan suluk tarekat Naqsyabandi saja. Malah ia juga tergolong ‘kaya’ karena berjasa mendirikan sejumlah rumah gadang bagi sanak familinya. Dari mana Syekh Daud memperoleh itu semua? Sejauh ini tidak banyak informasi yang dapat diperoleh dari cucu maupun orang-orang yang dekat dengannya. Demikian juga halnya dengan orang-orang siak. Merka datang menemui sang ulama dari tempat yang jauh dengan berjalan kaki semata-mata untuk menimba ilmu, bahkan ada yang berjalan berhari-hari hanya untuk mendengar sepatah dua patah kata dari seorang ulama yang masyhur tersohor. Walau keadaan kehidupan kala itu serba terbatas, namun tak pernah terdengar seorang ulama yang terlantar, hidup miskin dan tidak makan hanya karena ia berprofesi sebagai pengajar. Juga jarang sekali diketahui keluarga dari kalangan ulama (yang kebanyakannya berpoligami) berantakan karena tak ada uang. Malah yang terjadi sebaliknya, banyak ulama-ulama surau masa lalu yang hidup lebih dari berkucupan. Sawah ladang panen dengan sangat memuaskan, anak dan istri diperbelanjai secara penuh, bahkan masih cukup untuk membiayai murid-murid yang belajar di Surau seperti kasus Syekh Daud di atas. Hingga pertengahan abad ke-20, surau-surau di Minangkabau boleh disebut memperoleh kehidupan yang mapan. Begitulah keadaannya ulama dan lembaga surau yang dipimpinnya di masa lalu. Untuk memperoleh gambaran sebuah komplek pendidikan surau di abad-abad yang lalu, kita akan melihat aktifitas surau besar yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman (1777-1899), yaitu surau Batu Hampar, Payakumbuh. Syekh Abdurrahman setelah 48 tahun berkelana menuntut ilmu kepada berbagai ulama di Minangkabau, dan sempat pula belajar di Mekkah, pada usiaya yang ke-63 tahun kembali ke kampungnya Batu Hampar. Setibanya di kampung halaman, Batu Hampar, Syekh Abdurrahman kemudian mulai membangun suraunya yang pertama, dimana ia mula-mula mengajar membaca al-Qur’an. Syekh Abdurrahman adalah seorang qari yang baik, oleh karena itu ia tidak sekadar mengajar membaca al-Qur’an seadanya, tetapi juga ilmu tilawatil Qur’an dengan berbagai macam irama yang kita kenal dewasa ini. karena Syekh Abdurrahman memang dikenal sebagai qari yang terkemuka, maka banyak murid berdatangan dari luar Minangkabau seperti Jambi, Palembang, Bangka dan lain-lain. Demikian banyak jumlah muridnya, sehingga tidak tertampung lagi di surau dan rumah-rumah penduduk. Dari sinilah timbul gagasan untuk membangun komplek pendidikan Islam yang memadai. Untuk itu dibangun sekitar 30 surau yang rata-rata berukuran 7×8 meter dan kebanyakan bertingkat dua. Surau-surau ini dibangun mengelilingi beberapa bangunan induk. Bangunan induk pertama dan utama adalah “Mesjid Dagang” yang dibangun bertingkat dua, dengan arsitektur rumah adat Minangkabau. Di Mesjid Dagang inilah Syekh Abdurrahman memimpin shalat berjama’ah setiap waktu dan mengajar al-Qur’an. Di samping timur mesjid dagang ini terdapat sebuah menara sekitar 20 meter tingginya yang dibangun dengan arsitektur ala timur tengah. Kemudian, disebelah timur mesjid dagang ini terdapat bangunan bertingkat dua yang dibangun khusus untuk mereka yang melakukan suluk. Di samping itu terdapat pula sebuah bangunan besar dengan tembok yang melengkung . Disinilah Syekh Abdurrahman dan anak cucunya di makamkan setelah mereka wafat. Sebuah bangunan induk lainnya adalah rumah gadang yang berfungsi sebagai tepat penginapan bagi para tamu dan penziarah yang datang secara insidental. Suatu hal yang menarik, setiap surau di kompleks yang kemudian terkenal sebagai “Kampung Dagang” ini diberi nama sesuai dengan nama daerah asal murid-murid. Karena itu misalnya ada ”Surau Suliki”, “Surau Tilatangkamang”, “Surau Solok”, “Surau Pariaman”, “Surau Padang”, “Surau Painan”, “Surau Riau”, “Surau Jambi”, “Surau Bengkulu”, “Surau Palembang” dan lain-lain. Di surau-surau inilah para penuntut ilmu berdiam dan mengulang pelajarannya. Di kawasan yang luasnya sekitar 3 hektar ini ada pula sebuah pasar kecil, dimana terdapat beberapa kedai (warung) tempat menjual berbagai kebutuhan murid sehari-hari, seperti barang-barang kelontong, pakaian jadi, dasar pakaian dan sebagainya. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan air minum dan mandi para penghuni kampung dagang, dibangun saluran air dari suatu sumber air yang terletak di bukit kecil setengah kilometer dari luar kompleks. Air bersih diperoleh setelah melalui empat kali saringan dengan empat bak kolam. Air yang sudah disaring ini ditampung disebuah kolam besar, dan dari sinilah dialirkan dengan pipa besi ke kamarmandi-kamarmandi di sekitar kolam. Jumlah orang siak (santri) yang belajar di surau Syekh Abdurrahman jumlahnya berkisar antara 1000 sampai 2000 orang. Untuk mengikuti pelajaran di surau, orang siak tidak dikenakan pungutan atau pembayaran apapun; jarang sekali orang siak memberi uang kepada Syekh, jika itu ada disampaikan oleh pihak keluarga yang bersangkutan atas dasar kerelaan dan keikhlasan. Biaya hidup bagi orang siak yang berasal dari masyarakat kampung yang berdekatan dengan surau biasanya dijemput sendiri atau diantar oleh orang tua mereka. Masyarakat kota yang berdekatan tidak pula kurang partisipasinya dalam menunjang pemenuhan kebutuhan orang siak. Setiap hari minggu, dengan pedati mereka mengantar beras, sayur dan kebutuhan pokok lainnya ke surau. Sementara itu, orang siak yang datang dari negeri yang jauh, biasanya tiap hari kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar Batuhampar dengan membawa buntil. Sore harinya mereka kembali dengan membawa buntilan besar dan uang untuk biaya seminggu. Begitulah prototipe surau yang mencerminkan sebuah lembaga pendidikan yang cukup mapan di Minangkabau. 3) Pengembaraan Keilmuan Guru Hampir seluruh Ulama-ulama Minangkabau, sampai pertengahan abad ke-XX merupakan ulama didikan Mekkah. Paling tidak, setelah menyelesaikan pengajian di berbagai surau di Minangkabau, mereka berangkat Haji dan tinggal beberapa lama di Mekkah, mengambil barokah pada beberapa halaqah yang bertebaran di Mesjidil Haram, adapula yang sampai mendapat ijazah kitab hingga meraih gelar Khalifah dengan selembar ijazah keluaran Jabal Abi Qubais. Adapula yang benar-benar hidup menahun di Mekkah, belajar ilmu secara khusus kepada beberapa Syekh ternama, setelah cukup bilangan beberapa tahun, mereka berkelana menziarahi Madinah dan Baitul Maqdis, dan pulang selaku ulama besar. Dengan demikian, ulama-ulama selaku icon intelektual Islam di ranah Minang khususnya telah bersinggungan dengan jaringan Ulama kosmopolitan ketika berada di Mekkah. Setelah kembali ke kampung halaman, mereka membentuk jaringan lokal lewat institusi surau di daerah masing-masing. Sementara itu, surau sendiri berfungsi sebagai tempat penggemblengan bagi orang siak sebelum mereka berkeinginan belajar di Mekkah, menempuh pergaulan intelektual yang lebih luas. Di Surau mereka membekali diri dengan pengetahuan keagamaan yang memadai. Hingga beberapa dekade awal abad ke XX, Mekah merupakan tempat yang ramai dikunjungi untuk menuntut ilmu, selain untuk berhaji. Zawiyah-zawiyah termasyhur banyak berdiri disekitar Mesjidil Haram yang dipimpin oleh Syekh-Syekh ternama dengan corak pengajian masing-masing. Sehingga, Mekah telah menjadi pusat ibadah dan pusat ilmu pengetahuan sekaligus. Malah mungkin lebih dikenal ketimbang al-Azhar. Dengan sikap masyarakat muslim seperti itu maka, muncul pameo kalau belum mengaji ke Mekah, ilmunya belum sempurna, keulamaannya belum sah. Begitulah posisi Mekah bagi kalangan penuntut ilmu dan Muslim umumnya. Dengan mengunjungi berbagai halaqah dan Zawiyah Sufi di Mekkah saat itu, yang menjamur seantero tanah haram, para penuntut ilmu akan dihidangkan dengan berbagai ilmu pengetahuan agama, dari berbagai Mazhab, berbagai ulama dengan bidang keilmuannya masing-masing (takhassus) dan dari berbagai penjuru dunia. Posisi mereka setelah pulang ke kampung halamannya menjadi ulama terkemuka, dan ilmu yang mereka bawa pulang, tersimpan dalam sudur, bukan sekedar ilmu yang di dapat lingkungan bawah, kalangan lokal, lebih dari itu ilmu yang mereka peroleh ialah pengetahuan agama yang kosmopolitan sebagaimana jaringan global yang mereka bentuk ketika menuntut ilmu dari berbagai Syekh terkemuka di Haramain. Di samping itu, keilmuan mereka mencapai keotentikan yang bisa diuji, lewat sanad keilmuan dari para musnid, ulama-ulama besar di Mekkah dan Madinah. Mata rantai keilmuan bersambung bersambung (musalsil), tidak terputus (munqathi’), sampai kepada tokoh-tokoh ulama salaf yang shaleh, hingga sampai kepada Rasulullah. Sudah menjadi tradisi di Minangkabau, apabila ada orang siak yang telah dianggap alim, terutama bila telah menimba ilmu di Mekkah dan mendapat ijazah, maka masyarakat atau kaum sukunya akan bergotong royong membuatkan surau buatnya untuk mengajar agama. Sampai beberapa dekade awal abad ke-20 tradisi itu masih berlaku. Tidak heran bila akhirnya Minangkabau populer sebagai gudang ulama, dimana setiap kampung dan pelosok-pelosok negeri terdapat satu surau atau lebih. Demikianlah ulama-ulama Minangkabau masa lalu, termasuk ulama-ulama, yang merupakan icon jaringan ulama dari yang bersifat lokal hingga yang bersifat kosmopolitan (internasional), mereka merupakan ulama-ulama yang teguh berilmu, mempunyai sanad intelektual dari Haramain, central cosmos-nya ilmu pengetahuan Islam. Sampai mereka di kampung halamannya mereka membuka surau, dan lewat surau itulah mereka membentuk jaringan guru-murid yang kokoh. Apabila murid-murid ini telah alim pula dikemudian hari, maka hubungan guru-murid itu menjadi sebuah jaringan ulama lokal. Bahkan surau menjadi pijakan awal jaringan ulama lokal, dan selanjutnya mereka –alumni surau- berkecimpung dalam jaringan ulama kosmopolitan di Mekkah. Banyak ulama surau yang memesankan kepada muridnya untuk menyempurnakan ilmu di Mekkah, bergaul dengan ulama manca negara, membentuk koneksi intelektual internasional. 4) Pengangkatan Guru Sebagaimana diungkap diatas, seorang ulama akan terhubung erat dengan gurunya yang terdahulu. Hubungan ini dijalin dengan hubungan rohani yang terikat dengan sanad keilmuan. Dalam konteks ini, seorang santri, orang siak akan selalu bersikap tunduk kepada gurunya itu, sampai-sampai dalam hal-hal prinsipil seorang murid akan selalu meminta pendapat gurunya. Begitupulalah dalam hal mengajar, seorang murid tidak akan serta merta mengajar tanpa adanya restu dari gurunya yang terdahulu, meski ilmu sang murid telah cukup untuk mengajar kitab-kitab yang tinggi. Sikap ini tercipta karena adanya keyakinan bahwa kebaikan itu ada bila dihubungkan dengan guru, misalnya dalam meminta izin atau restu. Dalam proses pengembaraan keilmuan, sang murid pada mulanya belajar dari surau ke surau, dari pelajaran rendah meningkat perlahan lahan ke pelajaran yang tinggi. Dari kitab matan ke hasyiyah yang berjilid-jilid banyaknya. Perpindahan pelajaran ini biasanya merupakan isyarat dari Syekh atau gurunya sendiri. Seorang murid tidak akan megikuti kelas-kelas yang tinggi dalam pembelajaran ala surau tanpa adanya amar (perintah) dari gurunya untuk belajar kitab yang lebih tinggi. Penilaian untuk naik tingkat bukan ditentukan oleh berapa nilai yang diperoleh, tidak melalui sebuah ujian tertulis karena memang sistem evaluasi kala itu belum ada. Tapi kemahiran seorang murid untuk menguasai materi-materi yang telah diberikan telah dinilai sendiri oleh sang guru, apakah ketika bergaul, keaktifan dalam halaqah dan pandangan mata batin sang guru. Dari sinilah penguasaan seorang murid diukur sehingga naik tingkat belajarnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sebuah perasaan yang hampir-hampir dimiliki oleh semua penuntut ilmu kala itu ialah rasa tidak puas terhadap ilmu pengetahuan. Meski mereka telah menamatkan berbagai kitab dengan spesifikasi masing-masing, mereka masih tetap mendatangi tempat-tempat lain untuk menambah ilmu, bahkan ada yang mendatangi surau-surau tertentu hanya ingin mengambil berkah dari pengajian seorang Syekh, padahal kitab yang dibaca hanya berupa pengulangan dari pelajaran yang telah pernah diterima. Namun dengan telah menghadiri halaqah Syekh dimaksud, mereka telah merasa sangat puas dan berharap sekali barokah Allah turun keharibaan mereka. Adapun mereka yang merasa berkecukupan, melanjutkan pengembaraan keilmuan ke tempat yang lebih jauh lagi dan lebih prestisius, yaitu Mekkah dan Madinah (Haramain), sebuah tempat yang menjadi idola para penuntut ilmu disamping untuk menunaikan ibadah Haji. Mereka yang hidup berada dapat melakukan perjalanan ke Mekkah dengan memakai kapal uap melewati masa yang berbulan-bulan lamanya. Sedang mereka yang hidup pas-pasan, tapi mempunyai semangat yang kuat untuk menuntut ilmu, melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, menelusuri pulau Sumatera hingga Aceh, lalu menyeberangi lautan menuju Thailand dan berjalan terus ke Mekah. Rasa keinginan kuat itu untuk menjalang kota Suci membuat mereka rela untuk melakukan perjalan ribuan kilo jaraknya, dan memakan waktu bertahun-tahun pula. Di sanalah, ditempat mereka menuntut ilmu, Mekkah tentunya, mereka memperoleh ijazah dari guru mereka setelah menamatkan satu kitab yang tentunya penamatan itu diiringi juga dengan pemahaman yang matang. Maka ijazah merupakan sebuah petanda, simbol tertulis dari seorang guru yang mengisyaratkan bahwa si-pemegang ijazah telah menguasai materi pelajarn dengan baik dan berhak menyebarkan ilmu yang telah diperolehnya kepada orang lain. Maka dengan demikian adanya bukti tertulis dari guru berupa ijazah yang di dalamnya dibubuhi sanad keilmuannya menjadi sebuah petanda pengangkatan seseorang yang mulanya murid menjadi guru, dan berhak mengajar kepada murid-muridnya yang lain. Disamping itu, adanya amar (perintah) secara lisan dan sharih (jelas) menjadi sebuah pesan khusus disamping ijazah dalam rangka pengangkatan seorang guru. Kita memiliki banyak contoh kasus seperti ini, misalnya HAKA (Haji Abdul Karim Amarullah) yang diperintahkan secara sharih oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi untuk mengajar disalah satu halaqah di serambi Mesjidil Haram – Mekkah. Contoh lainnya Syekh Muhammad Jamil Jaho yang juga di-amar-kan oleh Syekh Ahmad Khatib untuk mengajar di Mekkah. Dalam kasus keilmuan Tarikat, sebuah kearifan Tasawuf, prosesi pengangkatan guru ini lebih ketat dibanding keilmuan lainnya yang sekarang mulai tampak pudar. Dalam Tarikat, sahnya seorang menjadi guru mesti dengan sebuah ijazah yang dikeluarkan oleh guru sebelumnya, selain keharusan dicantumkan cap stempel gurunya sebagai tanda kelegalan sebuah ijazah. Tanpa ini, seorang guru Tarikat tak akan diikuti ajarannya oleh orang banyak, malah sebaliknya ia akan dicela. Namun yang mesti digaris bawahi bahwa ijazah untuk mereka yang mengaji dengan sistem tradisional tidak pernah melewati suatu evaluasi layaknya ujian yang dikenal saat ini. Pemberian ijazah tersebut sangat murni berdasarkan keilmuannya sendiri, dan sangat tidak mungkin terjadinya nepotisme dikalangan guru-guru tersebut. 5) Transmisi Keilmuan dan Integritas Guru Surau, bagaimanapun keadaannya telah menjadi sarana pendidikan Islam terkemuka dan berperan besar dalam Islamisasi, melahirkan ulama-ulama besar di zamannya, hingga mencetak juru-juru dakwah profesional. Di masa keemasannya, surau mampu menjadi barometer sosial-masyarakat, apakah dalam usaha perjuangan masyarakat terhadap kompeni, penentuan ekonomi petani , pengajaran adat istiadat Minangkabau dan tentunya istimewa dalam bidang agama. Fungsi surau yang bukan sekedar pusat pendidikan Islam, membuat kedudukan surau menjadi sangat penting bagi masyarakat kala itu. Seorang ulama kharismatik yang memimpin surau seolah-olah sama posisinya dengan pemimpin masyarakat, terutama kepemimpinan dalam bidang agama, penentuan kearifan ekonomi hingga penjagaan ketertiban masyarakat. Begitulah surau, keadaan dan posisinya di masa jayanya. Meneropong surau dari segi sosial keagamaan, kita akan memperoleh suatu gambaran nyata betapa lembaga ini, surau, memainkan peran penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Ulama yang menjadi titik nadi kehidupan surau merupakan sosok yang menjadi panutan, tumpuan hingga pimpinan. Sehingga fungsi utama surau sebagai tempat transmisi keilmuan yang dalam menjadi semakin menjadi nyata, dengan ulama sebagai penentu arah kebijakan-nya. Transmisi keilmuan islam yang dijalankan di surau kepada generasi selanjutnya, tentu dimaksudkan agar tradisi keilmuan itu tidak putus. Setidaknya ada tiga porsi keilmuan Islam yang diajarkan secara mendalam di surau-surau Minangkabau. Pertama ialah pemahaman tentang syari’at, dengan mempelajari secara tuntas fiqih Mazhab Syafi’i. Kedua ialah pemahaman mengenai Tauhid, menekankan aspek akidah melalui “pengajian Sifat Dua Puluh” dan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni). Dan ketiga pengamalan Tasawuf lewat Tarikat-tarikat Mu’tabarah. Di hampir semua surau-surau lama ketiga porsi keilmuan ini diajarkan secara tuntas, walaupun dibeberapa surau telah mengambil spesialis keilmuan tertentu, seperti Nahwu, Tafsir, Ma’ani dan lainnya, namun ketiga porsi ini tetap medapat tempat di surau-surau tersebut. Dengan demikian jelas, surau-surau Minangkabau sangat kuat memegang tradisi Sunni; bersyari’at dengan Fiqih Syafi’i, berakidah sesuai dengan faham Asy’ariyah dan mengamalkan salah satu Tarikat Sufiyah sebagai sebuah kearifan Tasawuf. Itulah sebabnya kenapa ulama-ulama surau begitu teguh mempertahankan pendirian ketika muncul beberapa kecaman dari kaum Modernis (kaum muda), karena memang sejak dulu Ahlussunnah telah mapan di ranah Minangkabau ini. Memang tidak ditemui satu catatan kurikulum yang dipakai oleh lembaga surau. Namun dari penemuan naskah-naskah tua yang masih ditemui sekarang, kita akan membenarkan betapa surau ini menjadi basis Ahlussunnah yang kokoh berakar. Hingga saat ini masih dapat ditemui kitab-kitab besar mazhab Syafi’i yang masih bertuliskan tangan di surau-surau semacam ini, yang usianya berabad-abad lamanya. Masih dapat ditemui syarah-syarah ilmu Tauhid yang besar-besar di bekas-bekas surau masa lalu. Dan masih dapat pula dijumpai kitab-kitab Tarikat yang sangat langka. Di sinilah kekuatan surau, dengan ulama dan aktifitas transmisi keilmuannya yang ditransfer secara mendalam dan standar yang tinggi. Begitulah keilmuan surau-surau di Minangkabau, kuat memegang Ahlussunnah, kuat beramal dengan Tarikat-tarikat Ahli Sufi. Untuk selanjutnya keilmuan surau yang begitu halnya telah diadobsi oleh Perti, karena memang Perti merupakan kelanjutan surau-surau lama itu. Dan kitab-kitab tulisan tangan dalam tradisi surau dahulu telah diganti dengan kitab-kitab kuning, dengan tetap memakai materi kitab-kitab lama itu. Kitab kuning untuk selanjutnya menjadi prioritas keilmuan yang utama bagi kaum tua, sebab dengan kitab kuning akan terwarisi segala ajaran yang mencakup Fiqih Syafi’i, Ahl Sunnah dan Tasawwuf secara utuh. Diantara kurikulum Kitab yang dikaji di Madrasah-madrasah Perti itu ialah : (1) Bidang Fiqih, yaitu Matan Ghayah wat Taghrib, Fathul Qarib Mujib, Al-Bajuri, I’anatut Tahlibin dan Mahalli; (2) Bidang Tauhid, yaitu Jawahirut Tauhid, Al-Aqwal al-Mardiyah, Fathul Majid, Umm Burhain; (3) Bidang Tasawwuf, yaitu Minhajul ‘Abidin, Mau’izatul Mukminin dan Hikam; (4) Nahwu dan Sharaf (gramatikal Arab), yaitu Matan al-Jurumiyah, Matan Bina wal Asas, Mukhtashar Jiddan, Kaelani, Kawakib ad Durriyyah, Qatrun Nida, Ibnu Aqil ‘ala Alfiyah; (5) Bidang Ushul Fiqih, yaitu Waraqat, Jami’ul Jawami’, Asybah wa an-nazhair; (6) Bidang Tarekh (sejarah Islam), yaitu Khulasah Tarekh Islami, Nurul Yaqin, Itfamul Wafa; (7) Manthiq (logika), yaitu Idhohul Mubham, Sullamulwi; (8) Tafsir, yaitu Jalalain; (9) Balaghah, yaitu Jauharatul Maknun; dan (10) Bidang Hadist dan Musthalah, yaitu Kitab as-Sanawani dan al-Baiquniyah. Sumber: http://surautuo.blogspot.com/2011/03/surau-melirik-aktifitas-transmisi.html
Trackback(0)
|