PADA suatu masa, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, lagu-lagu Minang pernah berjaya dan menjadi lagu populer di Tanah Air. Penggemarnya tidak hanya orang Minang, tetapi juga warga etnik lain, bahkan penduduk negara tetangga Malaysia. Sampai sekarang, lagu-lagu Minang masih terdengar diputar di mana-mana. Menyebut nama Elly Kasim, Erni Djohan, Nuskan Syarief, Lily Syarief, Tiar Ramon, misalnya, banyak orang pasti hafal syair-syair lagu Minang yang pernah mereka populerkan.
Kalau ada lagu-lagu Minang yang bertahan dan populer lebih 30 tahun, dibawakan oleh beberapa penyanyi dan direkam berkali-kali, hingga syairnya dihafal oleh banyak orang, pasti itu karya Tarun, atau lengkapnya Syahrul Tarun Yusuf (sering juga disingkat Satayu).
"Lagu-lagu yang diciptakan Tarun tahun 1960 sampai 1970-an kini sudah menjadi lagu Minang klasik, tetap disukai masyarakat," kata budayawan Edy Utama, Senin (28/1), di Padang.
Menurut Edy Utama yang juga Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), ada dua alasan mengapa lagu-lagu ciptaan Tarun bertahan puluhan tahun dan menjadi lagu Minang klasik. Pertama, ia sangat menghayati dan memahami budaya Minangkabau. Ia dengan cerdas belajar dari alam, mengambil simbol-simbol alam sebagai kekuatan karyanya. Kedua, dalam lagu-lagu Minang ciptaannya ia menggambarkan dengan sangat kuat perasaan kolektif masyarakat Minang. Tak heran lagu-lagunya menjadi dekat dan berkesan sekali dengan banyak orang.
"Komponis lagu Minang sekarang tak mampu melakukan hal itu. Wajar saja tidak ada lagu-lagu Minang yang populer, kecuali karya-karya Tarun," tambahnya. Penilaian senada diungkapkan Syuhendri, seniman yang juga seorang ninik mamak bergelar datuk, yang dihubungi terpisah di Nagari Balingka, Kabupaten Agam. Katanya, "Syair-syair lagu Tarun kaya dengan pengalaman batin banyak orang, yang diungkapkan dengan nilai sastra yang kuat, sehingga berkesan dan disukai banyak orang."
Menurut Syuhendri, penyanyi Elly Kasim bisa populer dan bertahan menjadi penyanyi Minang adalah karena karya-karya Tarun.
***
BAGI Tarun, adalah suatu yang tak diduga, bila lebih seratus lagu ciptaannya, menjadi lagu-lagu yang populer, menjadi lagu Minang klasik dan abadi di masyarakat hingga kini. "Saya menganut prinsip kehati-hatian, tidak asal jadi dalam mencipta lagu. Saya banyak belajar dari alam dan budaya Minangkabau. Ditambah pengalaman, begitu datang feeling, jadilah lagu," ungkapnya di rumahnya di Nagari Balingka, Kabupaten Agam, Sumbar. Ia mengungkapkan, sampai sekarang masih ada puluhan syair yang masih tersimpan dan, menurut dia, belum bisa dijadikan lagu. "Lagu-lagu Minang yang sudah jadi ada lebih kurang 300 lagu. Yang belum jadi sekitar 100," kata Tarun, seraya memperlihatkan daftar lagu, tahun dibuat, penyanyi yang mempopulerkan, dan produsen rekaman, yang dikeluarkan Yayasan Karya Cipta Indonesia. Lagu ciptaannya antara lain Bugih Lamo, Kasiah Tak Sampai, Bapisah Bukannyo Bacarai, Ampun Mande, Ranah Balingka, Gasiang Tangkurak, Roda Padati, kabau Padati, Batu Tagak, aia Mato Mande, Ayah, Bungo Cinto, Bungo Bapaga, Kumbang Batali, Di Taluak Bayua, Samalam di India, Takuik, Tinggalah Kampuang, oto Triarga, alang Bangkeh, Angin Sarugo, Buyuang boneh, Cak sarak Cak Suruik, Caraikan Denai, Hujan, Kanai Sijundai, Minang Maimbau I, Minang Maimbau II, Bagaluik, Saputiah Hati, Karam di Lauik Cinto, jatuah tapai, Balam Tigo Gayo, dan Pakiah Geleang.
Lagu-lagu ciptaan Tarun lebih banyak dipopulerkan oleh penyanyi Elly Kasim dan Lily Syarief. Sebagian kecil oleh Erni Djohan, Tiar Ramon, Kardi Tanjung, Edi Cotok, dan juga pernah dipopulerkan penyanyi serba bisa, Hetty Koes Endang. Syair-syair lagu ciptaannya, karena saking populer, melegenda, dan dinilai klasik, menjadi bahan kajian untuk skripsi sejumlah mahasiswa dari Universitas Andalas, Padang. Juga jadi bahan telaah pengikut ajaran tasawuf.
Dalam mencipta, Tarun tak jarang meneliti ke lapangan dan belajar khusus. Untuk mencipta lagu Gasiang Tangkurak, misalnya, ia mendatangi orang pandai (dukun) untuk menimba ilmu gasing tengkorak, pergi ke hutan dan bertapa. Kalau ia mau mencukupkan syarat, yakni memutar gasing tengkorak, "tembus"-lah ilmu yang ia tuntut. "Syarat yang satu itu tidak saya lakukan, karena dari awal niat saya untuk kebaikan. Lagu Gasiang Tangkurak dan Kanai Sijundai, yang saya ciptakan berdasarkan pengalaman itu tujuannya agar masyarakat, khususnya kalangan anak muda, tidak melakukan hal itu," jelas Tarun.
Nilai sastra dari lagu-lagu itu ia angkat dari mantra-mantra sang dukun, disesuaikan dengan alam, kemudian irama lagunya dibuat. Tambahnya, "Semula, lagu tersebut saya buatkan untuk dibawakan penyanyi Tiar Ramon, tetapi Elly Kasim meminta karena suka dan merasa cocok. Setelah dipopulerkan penyanyi Elly Kasim, kini lagu tersebut dipopulerkan kembali oleh penyanyi Andi Mulia." Untuk tujuan komersial, sejumlah pencipta lain "menggunting" syair dan irama lagu-lagu ciptaan Tarun. Harusnya, menurut Tarun, pencipta atau pemusik generasi sekarang bisa mencari kosakata atau ungkapan baru, tetapi punya makna yang sama. "Lagu juga menjadi jati diri penciptanya. Daripada disebut pengekor, peniru, penjiplak, dan sebagainya, lebih baik ciptakanlah syair-syair baru, meski maknanya sama dengan yang lama," ujarnya.
***
SATU hal yang membuat Tarun, putra Balingka kelahiran 12 Maret 1942, prihatin adalah banyaknya lagu-lagu pop yang syairnya diubah ke dalam bahasa Minang, yang dikenal Pop Minang. Harusnya, seniman musik ranah Minang berpikir bagaimana membuat lagu Minang populer, lagu yang bisa dinyanyikan/dipopulerkan oleh semua orang. Menyelesaikan SR di Balingka dan pernah duduk di bangku SMP, SMEP, dan INS Kayutanam, serta menyelesaikan SMA di Bukittinggi, Tarun yang mengaku gemar menciptakan puisi-puisi Minang dan menonton kesenian saluang jo dendang, dalam mencipta karyanya dibolak-balik berkali-kali, agar jangan sampai ada persamaan dengan karya orang lain, baik syair maupun iramanya. Dalam proses mencipta, ia sering berdendang-dendang dulu baru mencari syairnya, atau sebaliknya menciptakan syair dulu baru kemudian mencari iramanya.
Lagu ciptaan Tarun yang pertama direkam adalah Bugih Lamo, yang sampai sekarang sudah 11 kali direkam. Tahun 1996, lagu itu mengantarnya meraih Anugerah HDX. Lagu tersebut sampai sekarang menjadi populer di Malaysia dan Brunei Darussalam, dengan syair yang dialihkan ke dalam bahasa Indonesia dan diganti judul Lagu Lama. Senang karya-karyanya "bernilai jual" dan "menghidupi" orang lain, Tarun memegang prinsip tak mau merendah dengan karya-karyanya. Meren-dah, menurut dia, akan membuat Tuhan marah, karena ide-ide dalam mencipta lagu Dia-lah yang memberikan.
Oleh karena sudah berbuat banyak untuk kesenian Minang, tahun 2001 ayah tujuh anak dari hasil perkawinannya dengan Misnani yang asal Makassar dan kakek dari tiga cucu ini meraih Anugerah Pedati dari Pemerintah Kota Wisata Bukittinggi. (Yurnaldi)
Sumber : http://www.kompas.com
Trackback(0)
|