Pesona Alam Minangkabau
Written by YAYAT IRRAYATNO   
Monday, 20 June 2005
KATA "alam" dalam pengertian masyarakat Minang (Tambo Minangkabau) mempunyai arti ranah, lahan, bumi (Pasundan), tana (Toraja), nature, landscape, lebih luas lagi daerah Minangkabau dengan segala isinya (Ir. Zubir Rasjad, dalam buku Adat Minangkabau, Amis, M.S., 1999).



Tetapi di tulisan ini penulis hanya menggambarkan pemandangan alam (landscape) dari keindahan alam Minang sebagai objek dan subjek wisata. Dalam karya lukis yang dikategorikan sebagai gaya mooi Indie (Indonesia Molek), tampak digambarkan keindahan alam nusantara berupa kesatuan yang selaras, harmonis, indah, subur, tenang dan tenteram dari beberapa unsur seperti gunung, pepohonan, sawah berteras, lembah, hijau, ngarai (jurang), sungai, danau, air terjun, dan subjek petani yang tekun bekerja, serta binatang peliharaan atau rumah-rumah tertata dengan teratur dan harmonis dengan alam lingkungannya.
Hal ini tergambarkan pula pada lukisan Wakidi yang bertajuk "Ngarai Sianok". Terlihat karakteristik dari keindahan ngarai dengan lekuk dan kelokan dengan dinding jurang yang tegak membujur. Sebagian ditumbuhi pepohonan, dan hamparan lembah hijau yang dialiri sungai yang airnya jernih dan beriak indah melewati bebatuan kecil dan besar, serta berlatar belakang gunung dengan awan yang samar-samar. Begitulah gambaran keindahan Ngarai Sianok yang dilukiskan berdasarkan imajinasi seorang pelukis, walaupun kenyataanya akan berlainan bila melihat keindahan yang sebenarnya, karena alam telah memberi sentuhannya.
Ngarai Sianok yang terletak di jantung Kota Bukittinggi ini memanjang dan berkelok dari selatan ngarai Koto Gadang sampai di ngarai Sianok Enam Suku, dan berakhir sampai Palupuh.
Jurang indah ini dalamnya sekira 100 meter membentang sepanjang 15 kilometer dengan lebar lebih kurang 200 meter.
Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau - hasil dari gerakan turun kulit bumi (sinklinal) - yang dialiri Sungai Sianok yang airnya jernih, sehingga terlihat dasar sungai yang terdiri dari batu-batuan kecil dan pasir yang ikut terbawa bila air mengalir dengan deras.
Bahkan lembabnya bagian dasar yang cukup luas ini biasa digunakan untuk berkemah. Lembahnya diapit batuan tubir dan ditumbuhi pepohonan dan semak belukar, sehingga memberi kesejukan walaupun hari panas.
Untuk ke bawah (lembah) dapat mengikuti jalanan yang cukup lebar, karena bisa dilalui kendaraan. Jalan ini bisa menuju ke Matur atau Maninjau.
Jalan ke lembah ini bisa berkelok-kelok dengan turunan yang cukup tajam, bertepatan dengan turunan sebagian ditumbuhi pohon cemara di sebelah kanannya. Sebelah kiri tampak dinding yang kokoh dan terlihat lubang (gua) peninggalan Jepang, tetapi pada waktu itu kurang menarik karena kurang terawat dan tertutup pagar besi dan ditumbuhi semak belukar. Perjalanan kemudian dilanjutkan untuk segera bisa sampai ke lembah yang dialiri sungai. Tampak di kiri dan kanan jalan rumah penduduk, tampak jembatan di atas Sungai Sianok. Di sungai, sebelah kiri jembatan, tampak aktivitas pengambilan pasir. Truk-truk yang berbaris siap mengangkut material pembangunan di sekitar Bukittinggi. Sedang di depan jembatan tampak dinding jurang berdiri kokoh dengan ketinggiannya, sehingga jalan mulus tersebut berbelok ke kanan setelah melewati jembatan, mengikuti dinding ngarai dengan jalan turun naik. Jalan ini kemudian bisa menuju ke Matur atau ke Danau Maninjau.
Saya berdiri sejenak untuk mengamati dan mengabadikan bentang dinding jurang tersebut dengan lensa wide 28 mm sebelum menyeberang jembatan, tetapi tidak terekam semuanya. Akhirnya berjalan lagi melintasi jembatan menuju lembah yang cukup jauh dan turun ke areal perkemahan dengan jalan setapak berkelok dan menurun yang ditumbuhi pepohonan besar dan semak belukar (kadang terlihat anggrek tanah), sampailah saya di lembah yang ditumbuhi rerumputan, dan cukup luas datarannya. Pada waktu itu lembah agak lembab, mungkin bekas hujan atau air sungai yang meluap. Daerah ini disebut lembah pendiam.
Sungai terlihat jernih, dingin, dan sejuk. Saya menyeberanginya dan naik ke perbukitan di antara tonjolan batu dan runtuhan dinding jurang. Di sini diperlukan kehati-hatian karena dinding ngarai ada yang rapuh dan bisa ambruk. Sayang tidak ada papan peringatan di sekitarnya.
Tiba-tiba ada serombongan kerbau yang melintas. Momen yang bagus untuk diabadikan. Penulis berlindung pada ranting semak belukar, hanya beberapa jepretan kerbau jantan menghentikan langkahnya dan memandang dengan tajam karena keberisikan kamera atau kebetulan kaus yang dipakai berwarna merah bata. Penulis ambil keputusan cepat berlari meloncati gundukan tanah dan menerobos semak belukar untuk kabur.
Sewaktu zaman kolonial Belanda jurang ini disebut juga sebagai kerbau sanget, lantaran banyaknya kerbau liar yang hidup bebas di dasar ngarai. Belanda memasuki Minangkabau pada abad ke-17. Sebelumnya orang pertama Eropa bernama Thomas Dias (turunan Portugis) datang ke Minangkabau pada tahun 1684.
Ngarai Sianok juga dapat dilihat dari atas Panorama (objek wisata) karcis masuknya hanya Rp 1.100,00, pemandangan ngarai terlihat lebih luas dengan latar belakang pegunungan (Gunung Merapi dan Gunung Singgalang), sepertinya pelukis Wakidi mendapat inspirasi untuk lukisannya dari sini.
Di sekitar kompleks Panorama Ngarai Sianok, juga dijual beberapa cinderamata, di samping adanya fasilitas makan dan minum serta lainnya. Setelah berkeliling, penulis tertarik dengan kegiatan galeri lukis, di sini dijual kebanyakan lukisan yang menggambarkan alam Minangkabau dari ukuran besar lebih dari 1 meter (bisa digulung) sampai yang kecil, ada yang berbentuk bulat lonjong yang menggambarkan suasana Jam Gadang dan rumah adat (Bagonjong). Harganya mulai dari yang Rp 7.500,00 sampai ratusan ribu rupiah tergantung ukurannya. Umumnya lukisan ini menggunakan kanvas dari beludru hitam dengan teknik pelukisan dimensi gelap terang dan sinar satu arah.
Keindahan alam ini bukan hanya milik Ngarai Sianok, tetapi masih banyak yang lainnya dengan kekhasan masing-masing. Kalau kita menyusuri atau mengunjungi kabupaten lainnya atau Kabupaten Tanah Datar saja, bahkan ke desa-desa (jorong) dalam lingkup kenagarian Minang, dalam perjalanan berkendaraan banyak keindahan alam yang terlewati.
Hal ini dapat dilihat kalau melakukan perjalanan dari Bukittinggi ke Batusangkar lewat Padangpanjang, di sekitar Kubu Kerambil sawah berjenjang diselingi perkebunan sayuran, atau bisa juga melihat keindahan persawahan di Pariangan (nagari tertua dari masyarakat Minangkabau dalam mengembangkan kebudayaannya berawal dari sini).
Biasanya wisatawan mancanegara menggunakan sepeda motor untuk bisa mengunjungi objek wisata di sekitar Batusangkar (Kabupaten Tanah Darat) karena jarak yang saling berjauhan. Untuk melihat keindahan sawah berjenjang bisa mengunjungi jalan raya yang turun naik dari Kota Batusangkar ke Sungai Tarap. Di kanan jalan sawah berteras menurun dan menaik bergelombang dengan latar belakang perbukitan Pagaruyung, begitu juga di sebelah kiri berlatar belakang Gunung Merapi.
Keindahan lainnya yaitu Tabat Patah, panorama alam sebelum daerah Baso. Jalannya melalui Sungai Tarap, kemudian melewati Rao-Rao (di sini kita bisa melihat masjid pinggir jalan raya yang berarsitektur menarik dengan atap bangunannya berbentuk bagonjong dan mimbarnya dari semen yang ditempeli pecahan-pecahan kaca seperti mozaik). Sebelum persimpangan Baso, terlihat pintu gerbang Tabat Patah di sebelah kanan, pemandangan lembah, dan perbukitan. Tampak Gunung Melintang.
Keindahan alam ini bisa menjadi sumber inspirasi lukisan atau sketsa bagi pelukis, seperti halnya seniman Wakidi.
Seperti pepatah Minang mengatakan "Alam takambang jadi guru", mudah-mudahan keindahan ini tak akan sirna dan sia-sia.**
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/28/0803.htm

Â

Trackback(0)
Comments (1)

lizen said:

Tulisan yang di ambil dari PR ini bagus. Banyak info tentang pariwisata. Tapi dapat pula dimaklumi, kerena penulisnya mungkin bukan berasal dari Ranah Minang, pada tulisan ini terdapat nama-mana kota/daerah/jorong tidak menunjukkan identitas Ranah Minang seperti Palupuh, Matur, sungai Sianok, Tabat Patah, Kubu Kerambil dll, seharusnya Palupuah, Matua, Batang Sianok, Tabek Patah dst. Anehnya kenapa Koto Gadang tidak ditulis Kota Gadang atau Kota Besar. Kalau penulis dari ranah minag tentu penulis tersebut tidak mau menunjukkan identitas minag pada tulisannya. Mohon jurusan sastra pada UNAND, UNP dan Bung Hatta atau pariwisata membuat/merumuskan standar cara penulisan nama kota/daerah/jorong sehingga tidak merubah arti sebenarnya. terima kasih
 
report abuse
vote down
vote up
June 21, 2005
Votes: +0

Write comment
You must be logged in to a comment. Please register if you do not have an account yet.