Sumatra Barat yang Cantik dan Eksotik---Jadi Turis di Kampung Sendiri
Written by Darwin Bahar   
Monday, 17 January 2005

Bagian (1)

Setiap saya berada di Bali saya ingat kampung halaman saya Sumatra Barat. Dan setiap saya berada di Sumatra Barat saya ingat Bali.
Betapa tidak, baik Sumatra Barat dan Bali dianugerahi Allah SWT dua hal yang hampir sama: panorama alam yang mempesona, penduduk yang relatif homogen dengan adat dan seni budaya yangpenuh eksotika. Namun selebihnya, seperti kita tahu, dari segi pengembangan pariwisata, Sumatra Barat masih tertinggal jauh dari Bali.

Tetapi tertinggal atau bukan, Sumatra Barat tetap sebuah daerah tujuan wisata (DTW) yang lebih dari pantas untuk dikunjungi pada liburan akhir tahun ini, baik oleh para perantau Minang yang sudah lama tidak pulang kampuang, lebih-lebih jika Anda bukan orang Minang dan belum pernah ke Sumatra Barat sebelumnya. Saya saja yang orang Minang dan dalam 3 tahun terakhir ini sering ke Sumatra Barat tidak bosan-bosannya melihat keindahan alam Sumatra Barat.  
Dua pekan lalu selama empat hari dari Kamis sampai Minggu  bersama isteri saya Kur dan dua anak gadis kami Meila (25 th) dan si bungsu Ira (23 th).
Saya mengambil cuti dan berkunjung ke Sumatra Barat. Sambil menyelam minum air, sambil mengunjungi beberapa keluarga dekat saya yang masih  di Padang Panjang, sekitar 20 km di Selatan Bukit Tinggi, saya mengunjungi berapa tempat yang sangat menarik dan eksotik.  Bagi Kur yang berasal dari Jawa Barat, ini adalah kunjungan yang kedua setelah kami menikah, yang pertama ketika kami baru punya anak dua dalam tahun 1973, dan bagi Meila dan Ira  ini adalah kunjungan yang pertama dan sudah lama mereka rindukan. Mungkin karena kunjungan saya ke Sumatra Barat kali ini bukan dalam rangka tugas sehingga tidak ada pikiran yang membani kepala dan bersama keluarga pula, perjalanan tersebut rasanya menyenangkan sekali. Sebenarnya empat hari kurang cukup, namun karena saya tidak bisa cuti lama-lama dan “gizi” kami terbatas, terpaksa dicukup-cukupkan, antara lain dengan menyusun jadwal perjalanan yang ketat, suatu hal yang sudah terbiasa saya lakukan jika melakukan kunjungan kerja ke daerah.
Berikut ini beberapa catatan singkat saya. Kami menggunakan Garuda GA 160 yang berangkat jam 6.30 pagi dari Soekarno-Hatta dan tiba di Bandara Tabing jam 7.40. Awalnya saya hanya minta bantuan Kantor Regional kami di Padang untuk booking hotel di Bukit Tinggi dan Padang serta  menjemput di Bandara Tabing dan mengantar Bukit Tinggi liwat Maninjau, karena saya khawatir saya tidak berhasil dapat mobil yang bagus atau harga yang sesuai kalau saya mencarinya di Bandara Tabing.  Tetapi, Alhamdulillah, pucuk dicinta ulam tiba, saya diberitahu bahwa kalau saya menginginkan, saya  dapat menggunakan mobil Kijang berikut Nofi, pengemudinya  sampai Sabtu.
Apalagi Nofi  sudah sering mengantar saya bertugas di Sumatra Barat, dan sudah tempat-tempat makan yang saya sukai. 
Bukit Tinggi dapat dicapai dari Padang melalui dua rute: rute Padang-Lubuk Alung-Pariaman-Lubukbasung-Maninjau: melewati kelok ampek puluh ampek dengan jarak ± 170 km, serta rute Padang-Lubuk Alung-Padang Panjang-Bukit Tinggi lewat Lembah Anai dengan jarak ± 90 km. Kondisi jalan di kedua rute tersebut, seperti halnya hampir semua jalan di Sumatra Barat cukup bagus dan terawat baik. 
Saya sempat menanyakan sewa taksi Bandara yang kondisinya umumnya sudah tidak prima itu ke Bukit Tinggi dari Tabing dan memperoleh harga Rp 135 rb lewat Padang Panjang dan Rp 185 rb kalau lewat Maninjau.
Rute Padang-Bukit Tinggi lewat Maninjau berpisah dengan rute Padang-Bukit Tinggi di Lubuk Alung, berbelok ke kiri meliwati Kota Pariaman dan Lubukbasung, ibukota Kab Agam. Sampai di sini tidak ada pemandangan yang luar biasa kecuali alam yang relatif asri. Suasana yang agak berbeda terasa setelah mobil memasuki jalan yang menyusuri Danau Maninjau. Namun suasana dan panorama yang fantastik---yang bahkan tidak akan Anda temui di Bali sekalipun---ialah ketika mobil mulai memasuki kelok ampek puluh ampek---jalan menanjak dengan 44 tikungan sepanjang 7 km. Kur seperti terpekik ketika mobil meliwati kelok pertama dan kedua, tetapi kemuadian terdiam dan terpana melihat hamparan Danau Maninjau di bawahnya. Di beberapa kelokan di atasnya beberapa kera hutan jinak bermain dengan anak-anaknya. Saya kemudian minta Nofi untuk mencari tempat berhenti untuk berfoto dengan latar belakang danau Maninjau. Sayang sekali di sana kera-kera jinak sudah tidak ada di sana , sehingga keinginan Ira untuk berfoto dengan hewan-hewan lucu---dan tidak “jahil” seperti di Bedugul, Bali tersebut tidak kesampaian.
Setelah itu kami nemeneruskan perjalanan menjanjak kelok demi kelok——setiap kelok diberi nomer yang jelas di jalan, masih  dengan hamparan danau Maninjau di latar bawahnya sampai ke kelok terakhir di kawasan yang disebut Puncak Lawang. Puncak Lawang dalam beberapa tahun terakhir ini digunakan sebagai sebagai tempai kegiatan olahraga paralayang. Kalau Anda
penggemar paralayang, Anda bisa membayangkan betapa fantastiknya melayang-layang dengan hamparan danau Maninjau di bawahnya. Di kawasan yang namanya Embun Pagi ada sebuah Resort berbintang tiga satu grup dengan Hotel Bumiminang Padang. Kami tidak berhenti di sana. Bukit Tinggi yang berjarak 25 km dari Dari Puncak Lawang dapat ditempuh lewat Padangluar yang terletak di jalan raya antara Padang Panjang dan Bukit Tinggi, atau lewat dassr Ngarai Sianok. kami memilih yang terakhir  Setibanya di Bukit Tinggi kami  langsung chek-in di Hotel Novotel yang bersebelahan dengan Istana Bung Hatta dan hanya sekitar 200 meter dari Jam Gadang, landmark Kota Bukit Tinggi yang terkenal itu, satu dari dua hotel berbintang empat di Bukit Tinggi. Yang satu
lagi  Hotel Pusako yang terletak di pinggir jalan ke Payakumbuh. Kami mengambil satu kamar de luxe karena kamar superior sudah terisi semua untuk dua malam dengan tarif permalam Rp 500 rb ditambah  Rp 175 rb untuk extra-bed termasuk breakfast. Inof menginap di hotel tempat dia biasa menginap kalau bertugas di Bukit Tinggi.    

Bagian (2)

Kami mendapat kamar di lantai empat di mana ngarai Sianok yang sering juga disebut Grand Canyon of Indonesia itu dengan latar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang di kiri kanan terlihat menghampar seperti sebuah lukisan panorama yang sangat indah. Bukit Tinggi yang dingin (900 m di atas permukaan laut)  memang terlhat sangat cantik, bahkan dari jendela kamar.
Superior yang biasa saya gunakan. Kabut kadang-kadang terlihat menyaput pucuk-pucuk pohon. Sementara Ngarai Sianok di kejauhan dengan desir anak sungai yang mengalir di bawahnya seperti menyimpan misteri masa silam dengan bunyi genta pedati menyisir jalan di dasar ngarai menyisir malam. Novotel letaknya memang sangat strategis.
Karena anak-anak, sudah mengeluh lapar, setelah menaruh koper-koper di kamar kami diantar Inof ke warung Nasi Kapau Uni Lis di Pasar Wisata, Pasar Atas dekat gerbang tangga yang menghubungkan Pasar Atas dengan kawasan Pasar Bawah yang lazim disebut sebagai jenjang empat puluh, sesuai dengan jumlah anak tangganya. Kenikmatan Nasi Kapau Uni Lis dan nasi kapau warung tenda lainnya di Bukit Tinggi cukup berbeda dengan masakan kapau di warung-tenda di Jalan Kramat Raya Jakarta. Selain kualitas bahan, yang lebih baik, masakan kapau di  warung-warung tenda di Bukit Tinggi  umumnya masih dimasak dengan kayu bakar.
Saya makan dengan gulai tunjang dan gulai rebung, sedangkan Kur dengan dendeng belado. Anak-anak saya lihat makan dengan lahap sekali.
Dari sana kami langsung ke Padang Panjang menemui beberapa keluarga dekat saya yang masih ada. Dan sebelum kembali ke Bukit Tinggi kami mampir ke SMS atawa Sate Mak Syukur di Padang Panjang yang tersohor itu. Bagi Anda yang punya bayi dan belum pernah mencicipi Sate Padang, mungkin “tidak tega” memakan sate daging sapi yang berkuah kuning setengah kental itu. Tetapi sekali mencoba pasti ingin mencoba lagi.
Malamnya di Bukit Tinggi kami makan di restoran “cubadak Gaya Baru” di Pasar Bawah. Berebeda dengan rumah-rumah makan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya yang di setiap piring disajiakan dua potong ikan, di restoran ini di setiap piring hanya disajikan satu potong. Beda lainnya, ada sejumlah masakan khas serta bumbunya rata-rata lebih terasa.    
Hawa dingin dan perasaan letih karena perjalan yang cukup panjang hari itu menyebabkan kami cepat tertidur. Walaupun tidak jauh dari Novotel ada 2 buah masjid besar, azan subuh hanya terdengar hanya lamat-lamat saja, lebih pelan dari pada suara azan yang saya dengar di hotel tempat saya menginap di Sanur, Bali sepekan sebelumnya.  
Hari itu kami merencanakan akan ke Harau yang terletak di Kab Limapuluh Kota  sekitar 25 km sebelah timur Payakumbuh arah ke Pekanbaru, atau sekitar 50 km dari Bukit Tinggi, kemudian ke Pagaruyung di dekat Batusangkar, ibukota Kab Tanahdatar lalu ke pinggir Danau Singkarak, dan dari sini kembali ke Bukit Tinggi lewat Padang Panjang dan akan start dari hotel jam 10 pagi.
Karena hanya punya 3 kupon breakfast, dan kalau sarapan di hotel harus bayar Rp 45 rb, saya memilih sarapan di luar saja dan pergi ke sebuah “Bufet” di Pasar Wisata untuk makan Amping Dadih [1] dan minum teh telor khas Minang, habis hanya Rp 9 rb. Sehabis sarapan Kur dan anak-anak sempat berjalan-jalan ke Pasar Atas.
Perjalanan ke Harau memamakan waktu kurang dari satu jam. Harau adalah adalah sebuah hutan lindung yang asri, berupa sebuah ngalau memanjang yang berpagar bukit yang curam berupa patahan dan ujung pada sebuah air terjun. Karena hari itu hari Jumat pengunjung tidak terlalu ramai. Sesudah berfoto-foto kami segera cabut, kembali ke arah semula dan setelah beberapa meliwati Payakumbuh, berbelok ke kiri, ke arah selatan menuju ke Batusangkar dan terus ke Istana Pagaruyung.
Karena waktu salat Jumat sudah tiba, saya dan Nofi salat di sebuah masjid yang tidak jauh dari sana, sebuah Masjid berukuran sedang yang cukup bagus yang merupakan wakaf dari seorang dermawan bersebelahan dengan kantor Bupati Tanahdatar, salah satu dari 4 kabupaten/kota yang menurut evaluasi LIPI yang paling berhasil melaksanakan otonomi daerah di Indonesia.
Kantor Bupati tersebut terlihat sangat sederhana.
Seusai salat jumat, saya bergabung dengan Kur dan anak-anak yang sudah lebih dulu masuk kompleks Istana Pagaruyung. Kami berfoto-foto berpakaian adat Minangkabau  di dalam bangunan istana---tepatnya replika dari istana asli yang habis terbakar yang terletak tidak jauh dari sana.  Kemudian kami makan siang di restoran “Ambun Pagi” yang terletak di arah jalan ke Sawahlunto. Kur saya lihat mendelik menyaksikan saya menyambar piring gulai gajeboh
(daging yang sangat berlemak) yang dimasak asam padeh (tanpa santan) yang sangat jarang ditemukan di rumah-rumah makan Padang di luar Sumatra Barat (kecuali di Resto Simpang Raya Bogor). Kami kemudian juga mencicipi gulai jarieng (jengkol) yang agak berbeda dengan jengkol yang ada di jawa, lebih empuk, lebih legit dan tidak terlalu berbau.
Selesai makan kami meneruskan perjalanan ke arah selatan ke Ombilin di pinggir Danau Singkarak, di mana kami bertemu dengan jalan raya yang menghubungkan Padang Panjang dengan Solok yang menyusur pinggir danau terbesar di Sumatra Barat dengan panjang 20 km dan sangat indah itu, lalu berbelok ke arah Solok dan berhenti di sebuah restoran dan tempat rekreasi, tempat saya dan rekan-rekan saya dari Kantor Regional beristirhat dan makan rujak kalau bertugas ke Solok.
Puas beristirhat dan makan rujak sembari di belai angin danau, kami berbalik arah menuju Padang Panjang dan terus ke Bukit Tinggi. Kur berhenti di sebuah kios penjualan ikan di pinggir danau untuk  membeli ikan bilis yang sangat disukai Kur untuk oleh-oleh dan untuk kami sendiri. Ikan bilis adalah sejenis ikan purba berukuran kecil khas Danau Singkarak yang populasinya semakin menyusut mengikuti menurunan permukakan air danau Singkarak, khususnya sejak PLTA yang menggunakan air Danau tersebut beroperasi.

[1] Amping terbuat dari beras ketan yang diolah dan ditumbuk sampai tipis dan kemudian dikeringkan, diguyur dengan air panas supaya lembek.  lalu dtaburi kelapa parut, dadih (kepala susu kerbau yang dibekukan di dalam tabung bambu) dan kemudian diguyur dengan tengguli gula merah.



Bagian (3)

Kami tiba kembali di Bukit Tinggi belum terlalu petang sehingga sempat mengunjungi toko souvenir di dekat Jam Gadang. Saya lebih banyak berada di luar saja karena sering kurang sabar melihat Kur yang sangat fasih berbahasa Minang itu---berkat pernah tinggal dengan mertuanya-- kegigihannya dalam menawar lebih-lebih dari pepermpuan Minang sendiri.
Karena Kur dan anak-anak ingin ganti selera, malam itu kami makan martabak mesir di sebuah warung tenda. Sebenarnya saya ingin mengajak mereka makan Sate Mak Anjang khas Bukit Tinggi yang kuahnya bercampur dadih, yang saya ketahui berkat informasi dari Bung Heri Latief, penyair berdarah Minang yang bermukim di Negeri Belanda. Tetapi mengingat asupan kolesterol saya selama dua hari ini sudah melampaui batas saya urungkan saja.
Itu adalah malam terakhir kami di Bukit Tinggi. Besoknya kami akan ke Padang, dan setelah menginap semalam, keesokan siangnya kami akan kembali ke Jakarta.
Esokan harinyasehabis sarapan pagi, Kur dan anak-anak kembali ke Pasar atas untuk melengkapi oleh-oleh yang sudah dibeli sedangkan saya memilih beristirahat di kamar hotel saja. Kami berangkat ke Padang jam 11 siang, dengan mampir dulu ke Panorama di pinggir Ngarai Sianok, ke rumah kelahiran Proklamator dan Wapres Pertama RI Bung Hatta. Setelah itu singgah di gerai Kerupuk Sanjai Nita yang langsung dimasak di sana---usaha yang saya lihat berkembang dengan sangat pesat dalam dua tahun terakhir ini---untuk membeli
kerupuk sanjai khas Bukit Tinggi  dan beberapa jenis makanan kecil lainnya untuk oleh-oleh. Kemudian kami meneruskan perjalanan, berhenti di Restoran Pak Datuk di Padang Panjang yang setiap di sana saya biasanya “bingung” memilih ikan karena semuanya terlihat enak.
Kembali saya melihat anak-anak makan dengan lahap.
Selesai makan kami meneruskan perjalanan dan tidak lama kemudian kami memasuki, Lembah Anai cagar alam yang sangat asri dan terawat yang mungkin tidak ada duanya di Indonesia. Tadinya saya ingin berhenti di Air Mancur (air terjun) untuk berfoto, tetapi anak-anak yang saya lihat mulai mengantuk karena kekenyangan ogah turun. Akhirnya Air Mancur hanya kami liwati saja.
Sebelum chek-in di Hotel Bumi Minang saya minta Inof  untuk lewat jembatan Siti Nurbaya. Tetap jalan kesana ditutup karena hari itu bertepatan dengan pembukaan Pekan Kebudayaan Minangkabau yang lokasinya tidak jauh dari sana dan kemudian terlibat macet dan baru tiba di Hotel dan berpisah dengan Inof jam 5 petang.
Saya kembali hanya mengambil satu kamar plus extra bed dengan tarif yang sedikit lebih rendah dari Novotel. Karena hotel penuh, saya tidak bisa memperoleh kamar favorit saya di lantai enam yang jendelanya besar dan menghadap ke laut, tetapi di lantai lima dengan jendela kecil tetapi tetap menghadap ke laut. Hotel yang berarsitektur rumah bagonjong ini terletak di
bagian kota lama dan di sekelilingnya terdapat beberapa Gereja yang sudah ada sejak zaman Belanda. Kalau tidak ada bangunan bergonjong lainnya di luar, kita rasanya tidak berada di ranah Minang yang masyarakatnya terkenal sangat Islamistis. Apalagi alih-alih suara azan yang terdengar jelas adalah suara dentangan loceng gereja. Ciri lain, kalau Anda menghubungi resepsionis atau unit pelayanan hotel lainnya, Anda akan disapa dengan Assalamualaikum, dan
satu-satunya kitab suci yang ada di Hotel hanyalah Al Qur’an.
Ketika membongkar koper dari mobil saya baru sadar bahwa koper kami sudah beranak pinak. Kur yang biasanya berfikir praktis, begitu sampai di kamar meminta bantuan pertugas hotel untuk mencari kardus untuk mengepak berbagai barang-barang bawaan.
 
Malam itu saya mengajak Kur dan anak-anak untuk makan di Restoran Pagi-Sore yang terkenal itu yang berjarak sekitar 500 meter dari Hotel sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki, yang ketika itu kami lakukan dengan berpayung karena gerimis. Eh, rupanya sudah tutup, akhirnya saya ajak makan Soto (Padang) langganan saya di Pojok Karya yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari hotel. 
Malam itu saya mengubungi petugas Hotel minta hantaran mobil ke Bandara keesokan harinya.
Esok paginya Kur minta saya sarapan di Hotel saja sekalipun harus bayar. Kami akan ke Bandara jam 11 jadi masih cukup waktu untuk melihat-lihat Kota Padang
dengan taksi. Tetapi Kur dan anak-anak lebih memilih tinggal di kamar hotel saja, karena Padang, yang hampir tidak banyak berbeda dengan kota-kota provinsi lainnya di Indonesia memang terlihat tidak seramah Bukit Tinggi yang indah dan asri.
Sekitar jam 2 siang pesawat Garuda GA 163 yang kami tumpangi dari Padang mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno-Hatta, dan 3 jam kemudian, kami tiba dengan selamat tidak kurang suatu apa di rumah kami di Depok.
Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena sudah dapat memenuhi hutang saya kepada anak-anak saya untuk membawa mereka mengunjungi kampung halaman papanya, dan mereka seperti halnya mama mereka,  terlihat
sangat menikmati perjalanan tersebut sekalipun singkat tetapi cukup padat.    

Selesai.

Wassalam, Darwin 

Trackback(0)
Comments (1)

parewa palala bana said:

alhamdulilah.. walau alun mangicok tabaun se lah manabik an salero.
baa untuak kawan kawan nan alun pernah ka minang kabau.. apo ajo biro perjalanan nan manjua ranah ming Da. ambo pengen jalan jalan sarupo itu, tapi indak tahu jalan nya klo ado paket nyo, kito bisa merencanaka liburan lebih efektif.
 
report abuse
vote down
vote up
April 11, 2009 | url
Votes: +0

Write comment
You must be logged in to a comment. Please register if you do not have an account yet.

Last Updated ( Monday, 17 January 2005 )