Ranah Gurindam dalam Sorotan - Bencana Budaya Mengancam Minangkabau |
Written by Ahmad Syafii Maarif | |
Saturday, 19 January 2008 | |
Pendahuluan Istilah “bencana budaya” bukan berasal dari saya, tetapi dari seorang sastrawan Minang yang setia menetap di Padang, seperti pendahulunya almarhum a.A. Navis yang di akhir hayatnya juga telah menjadi sahabat saya.[1] Judul “Ranah Gurindam” jika disempurnakan menjadi “Ranah Gurindam, Petatah-Petitih, Mamang, Bidal, Pantun, dan Sya’ir,” tetapi agar tidak terlalu panjang, saya singkatkan saja dalam kemasan “Ranah Gurindam,” di samping terasa lebih manis dan sedikit puitis. Sebagai seorang yang bukan sastrawan, dalam orasi ini nanti sudah barang tentu akan banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang kurang pas dan kurang sedap di telinga orang Minang yang memiliki modal budaya yang sangat kaya itu. Beberapa minggu yang lalu, di kantor Akademi Jakarta, Taman Ismail Marzuki, ketika saya sampaikan rencana pertemuan budaya ini kepada Rosihan Anwar, kontan dijawab: “Saya tidak berani.” Jika seorang sastrawan dan wartawan kawakan sekaliber Rosihan Anwar, angkatan Chairil Anwar dan Asrul Sani, tidak berani bicara budaya Minang, pertanyaannya adalah: mengapa saya berani? Jawabannya singkat dan sederhana: karena saya bukan sastrawan dan bukan budayawan, paling tinggi posisi saya adalah seorang peminat, tidak lebih dan tidak kurang. Dengan posisi yang seperti ini, izinkanlah saya menyampaikan sesuatu yang sudah lama terasa di hati, terpendam di fikiran, dan terngiang di angan, tentang Minangkabau kontemporer dengan segala permasalahannya yang berdimensi banyak. Minangkabau dan Indonesia: sebuah kegalauan budaya Sebagai seorang yang berasal dari nagari tersuruk, Sumpur Kudus, saya sudah merantau sejak usia 18 tahun. Barangkali saya sudah tidak begitu akrab lagi dengan apa yang sedang dirasakan oleh orang yang masih setia menetap di kawasan yang dikenal sebagai “Fabrik Kearifan Kata” yang kaya. Oleh sebab itu, saya hanya akan memberikan kesan secara umum dan selintas saja tentang Minangkabau sekarang. Terlihat dan terasa oleh saya bahwa Minangkabau atau ranah Minang dalam perspektif budaya sudah menjadi bagian dari Indonesia yang sedang bingung merumuskan jati-dirinya di tengah-tengah peluang dan ancaman globalisasi yang tidak mengenal rasa iba. Indonesia sebagai bangsa dan negara muda, karena kelalaian para pemimpin sejak proklamasi 1945 sampai detik ini, masih tertatih-tatih dan sempoyongan dalam menjaga kedaulatannya yang telah agak lama dilecehkan oleh negara-negara jiran seperti Singapura dan Malaysia. Dengan penduduk sekitar 240 juta dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 24 juta dan Singapura lima juta, Indonesia adalah ibarat gajah setengah lumpuh. Telinga dan sela-sela jari kakinya dimasuki berbagai jenis semut kecil-kecil yang ganas, sehingga menyebabkan si gajah menjadi gelisah dan tidak percaya diri. Semut-semut ini berupa manuver-manuver kecil dari Malaysia dan Singapura, dua negara jiran yang lagi bermaya secara ekonomi. Mereka tahu betul bahwa Indonesia sedang sakit yang agak parah. Mereka sedang mengukur Indonesia sampai di mana daya tahannya. Hutan yang 2/3 luasnya sudah gundul semakin menyulitkan posisi Indonesia untuk angkat kepala dalam berbagai pertemuan dunia. Tetapi apakah benar negeri-negeri jiran ini ingin melihat Indonesia semakin lemah? Dalam pembicaraan saya dengan para diplomat dari Malaysia, Singapura, dan Brunei dalam berbagai kesempatan, mereka sebenarnya tidaklah menginginkan Indonesia jatuh, tetapi tetap tegak utuh sebagai bangsa yang kuat. Sebab jika Indonesia goyang dan labil, maka keseimbangan geo-politik di kawasan Asia Tenggara akan mengalami kegoncangan dahsyat yang tak terbayangkan akibatnya. Oleh sebab itu semestinya “semut-semut” jiran itu dijinakkan satu persatu melalui kemampuan diplomasi dengan kualitas super tinggi. Dalam diplomasi inilah kita sering benar kedodoran. Sebagai bangsa yang lagi “gerah” dengan masalah domestik yang berketiakular, Indonesia sekarang memang tidak memiliki kemampuan diplomasi yang tangguh dan meyakinkan, seperti dulu pernah diperlihatkan Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Roem, L.N. Palar, Adam Malik, Soedjatmoko, Mochtar Kusumaatmadja, dan masih ada nama-nama lain. Ada semacam kekosongan di ruang diplomasi ini karena banyak dihuni oleh birokrat yang bekerja umumnya secara mekanis dan tunggu perintah. Dunia diplomasi adalah dunia silat lidah yang sangat sesuai dengan bakat anak bangsa yang berasal dari “Ranah Bidal dan Gurindam.” Lingkungan kultur Minang asli merupakan modal utama untuk berdebat dengan penuh percaya diri di fora dunia dalam upaya membela martabat bangsa ini dari segala pelecehan dan pencibiran yang dilakukan pihak lain. Dengan modal kultur Minang asli yang dikembangkan lebih jauh melalui interaksi aktif dan kreatif dengan kultur bangsa-bangsa lain, maka kepiawaian untuk membuktikan kebenaram bidal ini: “Takilek ikan dalam aie, alah tantu jantan batinonyo,” atau “alun takilek alah tabayang” bukan sesuatu yang mengada-ada, sekalipun dikemas dalam format yang agak berlebihan. Memang sebagian orang Minang suka melebih-lebihkan, agar terlihat hebat dan keren, sekalipun kadang-kadang jauh dari kenyataan. Saya harus menekankan keaslian Minang, sebagaimana yang tersurat dan terbaca dalam kumpulan gurindam, petatah-petitih, mamang, bidal, dan pantun yang sangat impresif.[2] Keaslian yang dikawinkan dengan unsur budaya rantau inilah yang melahirkan Agus Salim, Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Yamin, Adinegoro, Natsir, Hamka untuk “bersilat lidah” di fora nasional atau internasional. Tetapi harus dicatat pula seorang Tan Malaka jika tetap terbenam di nagari Pandan Gadang, Suliki, tentu ia tidak akan pernah menjadi salah seorang tokoh komintern tahun 1920-an, sekalipun kemudian “bentrok” dengan Stalin, sang diktator. Jika tidak beranjak dari Pandan Gadang, Tan Malaka paling-paling menjadi camat atau bupati Limo Puluah Koto. Dengan latar keminangannya, Tan Malaka tidak pernah kehilangan watak merdekanya di bumi mana pun ia berada, dengan siapa pun ia berhadapan, karena menurut catatan Hatta, Tan Malaka “tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk,”[3] persis seperti diajarkan oleh warisan budaya Minang asli, khususnya yang terdapat dalam sub-kultur Bodi Caniago yang sarat dengan nilai-nilai egalitarian dan demokrasi. “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakek” adalah bagian dari pesan egalitarian itu. Sisa dari jiwa merdeka itu masih dimiliki oleh tokoh Dewan Banteng Ahmad Husein, saat dipanggil Presiden Sukarno akhir 1961. Inilah suasana dalam dialog itu: Akhir 1961. Ahmad Husein gelisah ketika ke selnya, di Rumah Tahanan Militer, Jakarta Pusat, datang Kolonel Suparman. Ia diperintahkan menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Husein menyangka inilah saatnya ia betul-betul disingkirkan. Setiba dia di Istana, Bung Karno sudah dikelilingi Perdana Menteri Djuanda Kertawidjaja, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, Menteri Pembangunan Chairul Saleh, dan Jenderal Ahmad Yani. Pembicaraan seputar PRRI. “Don’t talk about that anaymore,” Bung Karno menyergah. “Itu peristiwa sejarah yang pasti terjadi walaupun Ahmad Husein tidak dilahirkan di Indonesia atau tidak ada di Indonesia., dan ini proses sejarah. Tak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau menghalanginya.” “Kalau saya memberontak, Pak,” Husein menimpali, “bukan kehendak saya memberontak, tapi Bapak yang menyuruh saya.” “Lo, kok kamu bilang saya yang menyuruh?” “Ingatkah Bapak, pada tahun 1958 bulan Januari, Bapak berpidato di Surabaya: ‘Kalau saya pemuda, saya akan berontak terhadap keadaan ini.’” “Jiamput, lu!”[4] Bagi saya, dialog ini bernilai sejarah bila dikaitkan dengan kultur Minang yang mendidik manusia menjadi merdeka yang dengan kepala tegak menghadapi kenyataan, betapa pun mungkin pahit dan penuh risiko. Nilai kemerdekaan itu masih belum hilang dari diri Ahmad Husein. Bayangkan, seorang tahanan Ahmad Husein berani menyela pembicaraan Bung Karno yang pada saat itu sedang berkuasa penuh, dikelilingi oleh para pejabat tinggi negara, termasuk Jenderal Yani yang memerintahkan mengebom Painan tahun 1958 itu. Bukankah panorama ini sekaligus menunjukkan bahwa asli keminangan Ahmad Husein masih bertahan, sekalipun datang dari sel tahanan? Sungguh keberanian Husein ini sesuatu yang luar biasa. Reaksi Bung Karno “Jiamput, lu!” telah mencairkan suasana dan menghilangkan kegelisahan Ahmad Husein, si Minang, sampai batas yang sangat jauh. Saya tidak tahu, setelah hampir setengah abad berlalu pasca PRRI, apakah jiwa merdeka itu masih bertahan atau telah larut dalam kubangan sub-budaya pragmatisme materialistik sebagai bagian dari budaya Indonesia yang sedang jatuh. Apakah demi pragmatisme jangka pendek, si Minang kontemporer masih menjadi pewaris Tan Malaka atau telah berlaku ungkapan ini tanpa reserve: “Bialah kapalo bakubang asa tanduak lai manganai?” Saya katakan tanpa reserve karena seringkali parameter moral dan etika sudah tidak berfungsi lagi. Orang sudah berenang dalam limbah mumpungisme tanpa hirau batas dan pematang. Kabarnya konon, di Minang sekarang, ungkapan-ungkapan “sakti” seperti: “adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah; syarak mangato, adaik mamakai” plus petatah-petitih, gurindam, dan sebagainya yang sarat makna itu sudah agak lumpuh tak berdaya, telah dijadikan retorika murahan tanpa ada bukti dalam kenyataan dan pergaulan sehari-hari. “Fabrik Kearifan” ini sudah berubah menjadi “Fabrik Komersial,” uang telah menjadi “agama” ditingkahi khotbah para khatib Jum’at yang kehabisan energi dan kosa-kata. Untuk kota-kota besar, polusi suara keras yang diputar via kaset sopir para angkot telah semakin menyempurnakan krisis budaya yang berdimesi banyak itu. Saya gagal memahami mengapa para sopir itu tidak lagi menghargai telinga manusia yang masih normal. Alangkah manisnya jika lagu-lagu yang diputar itu dengan suara yang lebih beradab. Situasi semakin menjadi parah pada saat politik sedang menjadi mata pencarian, karena lapangan kerja sulit sekali. Lautan pengangguran terbentang di berbagai pojok tanahair. Lagi-lagi Minang sedang memosisikan diri sebagai Indonesia mini dalam formatnya yang sempurna. Apakah ini akibat trauma PRRI plus kemudian merajalelanya PKI di Minangkabau setelah PRRI dikalahkan tahun 1960-an? Tidak cukup itu. Dengan UU No. 5/1979 yang memecah nagari menjadi desa telah membuyarkan basis kultural Minang pada tingkat yang paling bawah. Nagari yang semula berjumlah 543 disunglap menjadi desa dengan jumlah 3500,[5] sebuah perubahan yang sangat dahsyat. Pada era otoritarian itu lembaga adat seperti LKAAM terpecah di antara yang mendukung dan ragu-ragu.[6] Dengan kenyataan ini, masyarakat di akar rumput menjadi berserakan, tidak ada lagi tali pengikat kultural yang berwibawa. Sekalipun sekarang nagari telah mulai difungsikan kembali, keadaannya masih pada tahap masa transisi yang tidak mudah. Gejala lain yang pernah disampaikan kepada saya oleh perantau adalah jika dulu orang Minang umumnya hampir tidak ada yang gila kuasa. Puncaknya di panggung nasional terlihat, misalnya, pada sikap Hatta, Sjahrir, Assaat, Natsir, yang dengan mudah dan enteng saja melepaskan jabatan. Tetapi kabarnya sekarang perubahan drastis sedang berlaku. Orang Minang jika sudah berada dalam posisi tertentu, apalagi jika posisi itu menguntungkan secara materi dan gengsi, mereka akan mempertahankannya mati-matian dengan segala cara. Saya tidak tahu apakah gejala ini sudah merupakan gelombang besar atau hanya sekadar riak-riak kecil yang tidak terlalu signifikan untuk dicemaskan. Tentu budaya tak hirau kuasa ini ada plus-minusnya. Plusnya akan terlihat bahwa orang Minang sangat peduli dengan prinsip moral dan etika, kekuasaan bukan tujuan, tetapi sekadar alat untuk menegakkan kesalehan sosial; minusnya, orang lain yang belum tentu baik akan dengan cepat merebut posisi itu. Jika ini yang terjadi, publik akan mengalami kerugian besar, sebab pengganti si Minang ternyata cacat secara moral. Oleh sebab ketika Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, banyak anak muda yang menyayangkan. Sebab, ibarat gas dan rem pada mobil, sepeninggal Hatta Sukarno sebagai gas tidak bisa direm lagi. Setelah Hatta sebagai benteng demokrasi berada di luar sistem, Sukarno yang dibantu partai-partai tertentu dalam tempo tidak lama dengan mudah mengubur sistem politik egalitarian ini. Rezim Orde Baru hanyalah meneruskan sistem anti-demokrasi ini. Ada fakta lagi yang menyangkut masalah amanah. Seorang pengusaha berhasil asal Solok yang sering mondar-mandir antara Jakarta-Australia, beberapa minggu yang lalu menyampaikan keluhan kepada saya di Jakarta, bahwa di kampungnya untuk mencari orang yang dapat dipercaya dalam masalah uang, termasuk di kalangan keluarganya sendiri, amatlah sukar. Pengalaman pahit serupa juga dirasakan oleh para perantau yang ingin membantu kampung. Kebocoran amanah berserak di berbagai kampung dan nagari. Saya sendiri amat maklum dengan keluhan ini, sebab itu semua juga merupakan bagian dari apa yang saya alami sejak sekian lama. Jika demikian, di mana agama, di mana adat yang diperkatakan saban hari sebagai sumber kearifan dan kejujuran? Jawabannya, agama dan adat lebih banyak diperkatakan dalam khotbah, perhelatan, dan pertemuan-pertemuan khusus, tetapi dikhianati dalam laku dan perbuatan, persis seperti bangsa ini telah mengkhianati nilai-nilai Pancasila sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Kata dan laku telah pecah kongsi, dipicu oleh “mentalitas menerabas”, ingin cepat kaya melalui jalan pintas tanpa keringat, untuk meminjam hasil penelitian Koentjaraningrat tahun 1970-an.[7] Antropolog ini mebidik laku usahawan baru Indonesia dengan menggunakan ungkapan:… ‘menyikat keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan’, “tanpa mau untuk juga mengunyah pahit getirnya masa permulaan berusaha.” Hal serupa juga terjadi di kalangan birokrasi… “yang ingin segera mencapai fasilitas-fasilitas pangkat-pangkat tinggi dalam waktu secepat-cepatnya dengan cara-cara menerabas, tanpa rela berkorban dan berjuang melawan kesukaran-kesukaran dalam mencapai suatu ketrampilan dan kepandaian ilmu yang diperlukan.”[8] Ironisnya pernyataan Koentjaraningrat ini yang sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an, tidak saja relevan dengan era kita di permulaan abad ke-21 ini, malah kondisinya semakin keruh dan kumuh saja. Di mana-mana kita temui kanyataan merajalelanya cara hidup ikan lele: “semakin keruh air, semakin lahap makannya.” Fatwa agama, pengarahan pejabat, seruan adat, sudah lama tidak berfungsi. Jika ada ungkapan lama sebagai kritik terhadap kebebalan seseorang: “masuk telinga kanan, ke luar telinga kiri,” sekarang kondisinya semakin hitam: “masuk telinga kanan, ke luar telinga kanan.” Segala kritik sosial, nasehat-nasehat agama, petuah-petuah adat seakan-akan tidak ada gunanya lagi. Nurani dan akal sehat sudah lama lumpuh. Di lingkungan birokrasi dan aparatur negara dalam upaya melawan korupsi, misalnya, fakta terlihat dalam formula yang menghebohkan ini: “Koruptor dan aparat penegak hukum sebenarnya bersahabat!” Kita sedang kehilangan kesungguhan dalam mengurus bangsa dan negara. Anda bisa bayangkan tentang betapa kumuhnya lingkungan budaya bangsa ini, dan Minang, negeri beradat, tampaknya tidak kebal dari serangan virus semacam itu. Dalam beberapa hal, bolehjadi layanan birokrasi di Jawa lebih baik dibandingkan dengan yang berlaku di Sumatera Barat. Maka tidaklah mengherankan benar, para perantau Minang tidak betah berlama-lama tinggal di negeri beradat ini, ada perasaan resah dan perih yang selalu melingkari, apalagi jika anda rakyat kecil. Dalam suasana mentalitas dan budaya yang keruh ini, adalah sebuah nonsens besar bila para elit masih juga berbicara tentang idealisme, tentang hari depan bangsa, tentang melawan kemiskinan, sementara laku mengkhianati itu semua tanpa rasa dosa. Perasaan tidak takut kepada dosa dan dusta adalah salah satu buah dari penyakit “mentalitas menerabas” yang semakin kronis menggerogoti urat nadi bangsa ini. Minangkabau, negeri elok, sudah lama menantikan anak-anaknya agar berani menyimpang dari “pola umum” yang korup yang sedang melilit batang tubuh Indonesia sekarang, tetapi alangkah sukarnya. Gravitasi mumpungisme sungguh merupakan gelombang besar untuk dilawan, tetapi kita harus sadar bahwa dalam perlawanan itulah terletak masa depan kita semua. Oleh sebab itu stamina spiritual kita tidak boleh kendor. Kita jangan menyerah kepada segala bentuk kekumuhan dan kekeruhan budaya, karena kita orang merdeka! Minang dan mitologi Kelampauan Minang yang juga tidak bebas dari mitologi masih dirasakan pengaruh psikologisnya sampai hari ini. Ada dua mitos karut yang perlu mendapat perhatian kita dalam upaya bangkit kembali secara autentik. Mitos-mitos yang dapat membawa kita ke lingkaran hidup dalam kebanggaan semu harus ditinggalkan dengan sadar dan berani. Mitos itu berkaitan dengan cerita tentang Iskandar Zulkarnain dan tentang kemenangan adu kerbau Minang melawan kerbau Jawa. Kita harus mencari kelampauan yang historis dalam upaya membangun jati-diri kita, apalagi jika kita mau berpedoman kepada al-Qur’an yang anti-mitos. Dengan bahasa sinisme yang tajam, sastrawan Wisran Hadi menulis dalam Orang-Orang Blanti tentang asal-usul orang Minang yang dikaitkan dengan Iskandar Zulkarnain sebagai berikut: “Lalu, kita bangga dengan keaslian turunan kita. Kita menganggap diri kita keturunan langsung dari Raja Iskandar Zulkarnain yang termasyhur. Padahal mungkin kita keturunan budak-budaknya. Kita menganggap turunan dari Indo Jalito, Indo Jati, nenek yang kita keramatkan, padahal kita mungkin keturunan kuntilanak, musang atau burung hantu.”[9] Pernyataan ini bagi saya dahsyat sekali karena Wisran Hadi mau dan berani menelanjangi diri sendiri dalam kerja membangun autentisitas. Berkaca diri dan melihat diri apa adanya adalah sikap terpuji yang harus dikembangkan. Mitologi yang sering berfungsi sebagai penghibur lara itu jika dijadikan pertimbangan dalam membangun peradaban hanyalah akan mempertinggi tempat jatuh, karena faktanya memang tidak ada. Jadi fondasinya rapuh sekali. Percaya kepada mitos adalah bayangan dari masyarakat yang tidak percaya kepada diri sendiri, lalu bernaung di bawah payung kebesaran masa lampau yang kosong dan hampa. Sama halnya dengan kepercayaan kepada kedatangan ratu adil yang akan membawa lampu aladin untuk melepaskan suatu bangsa atau masyarakat dari ketertindasan. Minangkabau adalah kampung umat beriman yang secara lahiriah bangga dengan ajaran agamanya. Islam datang ke muka bumi dengan suluh matahari, bukan suluh batang pisang. Sebagai agama terbuka, Islam membela keterbukaan dan kejernihan berfikir, bebas dari segala mitos yang mematikan hati nurani dan akal sehat. Perintah al-Qur’an untuk mempelajari sejarah dan alam semesta bertujuan agar manusia tidak terpasung dalam perbudakan mitologi. Sebenarnya ungkapan yang populer di Minangkabau: “Alam terkembang jadi guru” sangat akrab dengan diktum-diktum yang bertebaran al-Qur’an. Kita kutip terjemahan ayat ini: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala (alam semesta) dan pada diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa ia (al-Qur’an) itu benar.”[10] Oleh sebab itu jika memang kita berpegang kepada diktum “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,” segala mitologi yang menidurkan orang Minang harus dibuang jauh-jauh. Tidak ada pilihan lain untuk bangkit, kecuali membebaskan diri dari segala macam kepercayaan dan mitologi, betapa pun kadang-kadang menyenangkan, tetapi pada saat yang sama pasti menggerogoti posisi dan martabat manusia sebagai teman sekerja Tuhan dalam mengubah wajah kenyataan. Mitos lain yang juga terdengar sampai di pelosok adalah cerita adu kerbau. Ada semacam kepiawaian, jika bukan kelicikan, yang terkandung dalam cerita itu. Kerbau jantan Jawa yang gagah perkasa dibunuh oleh anak kerbau Minang yang sebelumnya dilaparkan selama tiga hari, tetapi diberi tanduk emas. Maka di sebuah tanah lapang, berlagalah dua kerbau itu. Karena merasa sangat lapar kerbau Minang langsung menyeruduk ke bawah perut kerbau Jawa yang perkasa itu. Dalam tempo beberapa detik kerbau Jawa lumpuh, isi perutnya terberai ke luar, tertusuk oleh tanduk emas anak kerbau Minang. Maka pertandingan dimenangkan oleh Minang, Jawa menyerah, tidak berkutik. Alangkah hebatnya Minang itu, bukan? Dari kejadian itulah, kata mitologi itu, nama Minangkabau berasal, bukan dari nama lain: Menang Kerbau menjadi Minangkabau. Saya tidak tahu apakah di masa PRRI, cerita semacam ini juga dikembangkan, tetapi di ujung perjalanan pergolakan, dengan korban yang cukup tinggi di pihak daerah, sekitar 30.000,[11] fakta sejarah mengatakan bahwa perlawanan Minang akhirnya menjadi lumpuh total digempur Jakarta, sekalipun Ahmad Husein masih berani mengintrupsi Sukarno di Istana Bogor tahun 1961 itu. Penutup: apa yang mungkin dilakukan? Sekiranya kesan umum saya tentang Minangkabau sekarang ada unsur kebenarannya, apalagi jika semuanya itu adalah puncak sebuah gunung es, maka perlu difikirkan langkah-langkah serius berdasarkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif dalam upaya mencari jalan ke luar yang masuk akal dan dapat dilaksanakan. Tentu dalam pelaksanaannya akan melibatkan semua unsur dari masyarakat Minang: pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, lembaga adat, anak muda, perantau, kaum cerdik-cendekia, dan bundo kandung. Dicari tokoh-tokoh siuman dari berbagai komponen itu untuk merumuskan solusi yang terbaik bagi masa depan Minang, jika kesimpulan kita mengatakan bahwa memang Minang sedang digoncang gempa budaya. Sebenarnya kegiatan untuk mencari solusi ini sudah berkali-kali dilakukan, tetapi barangkali belum ada perencanaan yang matang dan tidak ada kontinuitas dari sebuah upaya ke upaya yang lain. Ada ungkapan menarik dari seorang antropolog asal Minang kepada saya beberapa minggu yang lalu, bunyinya begini: “Orang Minang itu bisa sama-sama bekerja, tetapi tidak bisa bekerja sama.” Mudah-mudahan pernyataan ini tidak didukung oleh realitas yang sebenarnya, orang Minang masih mau dan bisa bekerja sama, mengapa tidak? Akhirnya, sebagai perantau saya merasa sangat dekat dengan keminangan ini, tetapi polusi suara dalam angkot tetap saja menyisakan pertanyaan ini: quo vadis Minangkabau? Apakah secara kultural dan moral Minang akan tetap menjadi bagian dari Indonesia yang rusak atau berusaha bangkit dengan melakukan penyimpangan dari pola umum bangsa yang sarat dengan beban itu? Jawabannya sebaiknya kita cari bersama! Jogjakarta, 7 Desember 2007 (Disampaikan di gedung teater utama Taman Budaya atas prakarsa Dewan Kesenian Sumatra Barat, 29 Desember 2007)
[2] Ada buku Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1000 Pepatah-Petitih, Mamang, Bidal, Pantun, Gurindam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996, yang telah berupaya mengumpulkan 1000 petatah-petitih dan sebagainya ini yang diramu dari khazanah tradisi Minangkabau, lalu diberi penjelasan dalam bahasa Indonesia di sampingnya. Karya ini patut dihargai, sekalipun angka 1000 belum memadai, sebab masing-masing sudut Bumi Minang pasti menyimpan butir-butir kearifan itu dalam ingatan kolektif yang belum tentu dikenal oleh kawasan Minang yang lain. Catatan kecil saya tentang kumpulan ini adalah karena tidak selamanya disusun secara alfabetis, hingga kita tidak bisa cepat mencari sasaran yang dituju. [3] Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 137. [4] Lih. majalah Tempo: “Pemberontakan Separoh Jalan”, Edisi 13-19 Agustus 2007, hlm. 49. [5] Lih. Edy Utama, “Goyahnya Basis Kultural Kepemimpinan Minagkabau” dalam Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, No. 1, Th. I (Agustus-Oktober 1995), hlm. 35. [6] Ibid. [7] Lih. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 46-47. [8] Ibid., hlm. 47. [9] Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia, 2000, hlm. 118. [10] Al-Qur’an s Fushshilat (41): 53. [11] Tempo, op.cit., hlm. 49.
Set as favorite
Bookmark
Email This
Hits: 3962 Trackback(0)
Comments (0)
Write comment
You must be logged in to a comment. Please register if you do not have an account yet.
|