“Ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak ba aka’ di tangah-tangah di giriak kumbang” Kalimat di atas adalah sebuah pepatah yang berlaku di Minangkabau yang berarti bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita harus menyatu dengan semua lapisan masyaakat dan berperan sesuai dengan tugas yang kita emban jangan sampai kita setengah-setengah dalam menjalankannya. Seloka (Pantun) di atas juga terdapat pada Orang Rimba, kurang lebih satu baris di atas sama kalimat dan maknanya yang ada pada Orang Rimba
Berawal dari seloka tersebut membuatku ingin mengetahui tentang Orang Rimba. Selama masa awal orientasi ini, tentunya banyak hal yang harus dilakukan secara bertahap-tahap. Sebagai orang yang berasal dari keturunan 2 budaya (Minang dan Sunda, namun aku lebih dominan mengaku orang Sunda) Ke Minangkabau inilah yang ku coba pakai dalam pendekatan dengan orang Rimba, walaupun hanya sebatas pada satu rombongan saja. Apa yang ku tulis di bawah ini hanya sebagai sebuah dari catatan lapangan singkat yang aku lakukan pertama kali dalam mengenal orang rimba. Rasa yang pertama kali muncul ketika akan kelapangan untuk tinggal bersama dengan OR adalah suatu perasaan yang tidak menentu. Bagaimana pula kehidupan OR ini, apakah sama dengan Masyarakat Mandiri lainnya yang pernah aku dampingi ???... Ada sedikit kelucuan karena munculnya keragu-raguan Munculnya keragu-raguan ini karena tidak menentunya deskripsi awal tentang kehidupan OR yang sebenarnya. Banyak stereotipe yang berkembang bahwa OR terkenal kuat dengan magisnya, kita tidak boleh sembarangan meludah di depan mereka, tidak boleh bilang mereka bau dihadapan mereka dengan menggunakan simbol tutup hidung, dan masih banyak lagi, pandangan-pandangan menakutkan tenang OR. Pikiran-pikiran itu yang terus membuat racun dalam otakku untuk bisa berpikir ......ah OR kan sama saja dengan kita, mana mungkin mereka tega berbuat seperti itu kalau tidak mereka tersakiti oleh kita. Pikiran ini pasti perlahan-lahan tertepis seiring dengan berjalannya waktu bersama mereka. Jika dilihat dari mitos yang berkembang dalam komunitas OR yang berkaitan dengan keturunannya, ada beberapa Rombong OR mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pagaruyung. Ini diperkuat lagi dengan nama nenek moyang mereka yaitu Bujang Perantau yang berasal dari tanah Minang. Cerita lain ada juga yang menyatakan bahwa mereka sebenarnya berasal dari buah kelumpang yang ditemukan oleh seorang laki-laki bernama Bujang Perantau yang pada akhirnya dari buat tersebut keluar seorang putri setelah mengikuti arahan dari mimpi yang di dapatinya. Dari perkawinan antara Bujang Perantau dengan Putri ini akhirnya di dapat 4 orang anak yaitu : Bujang Malapangi Dewo Tunggal Putri Selaro Pinang Masak Putri Gading. Dari 4 orang anak ini 1 pasang tinggal di dusun dan 1 pasang lagi memutuskan untuk masuk ke dalam rimba yang akhirnya terus berkembang dan membentuk suatu komunitas rimba sampai saat sekarang ini. Dilihat dari mitos serta seloka dan undang-undang yang dipakai oleh OR tidak jauh berbeda dengan yang berkembang di Minangkabau. Masyarakat rimba mengatakan bahwa ”........adat turun dari Minang, teliti mudik dari Jambi”. Ini merupakan suatu pengesahan, bahwa tidaklah jauh berbeda pegangan adat antara OR dengan Orang Minang sendiri. Semua seperti berakar pada satu titik yang sama. Diakui memang sebagai orang baru di Warsi tentunya dalam hal sosialisasi dengan masyarakat lokal yang berada di lokasi pendampingan dari Warsi, hanya masalah bahasa saja. Dalam suatu penelitian atau pendampingan kita diusahakan untuk secapat mungkin dapat menguasai bahasa lokal, dengan tujuan agar dapat menjadi bagian dari diri mereka (Insaider) sehingga tiak ada pemisah yang jauh antara orang luar dan orang pribumi. Perbedaan budaya antara Minangkabau dan Melayu Jambi serta Orang Rimba hanya sebatas Jet Lag saja. Perlahan-lahan pun diakui bahwa seiring dengan waktu semuanya akan berjalan seperti apa ada nya. Huh........................... Ternyata indonesia ini terlalu banyak budaya yang harus di kenal oleh seorang yang tadinya mengakui sebagai tamatan Antropologi........ Masih untung baru kenal dengan 3 budaya dengan bahasa yang berbeda. Bagaimana jika 5, 6, 7 atau lebih ??????....... (Foto: Lander/Dok. WARSI) Oleh: Bubung Angkawijaya – Fasilitator Masyarakat Adat www.warsi.or.id
Trackback(0)
|