Pencetus Gebu Minang
Keuletan mantan Menko Kesra Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), ini berbuah manis. Jabatan apapun yang pernah diembannya, selalu dijawab dengan memberikan hasil maksimal. Tak mengherankan jika beberapa jabatan dipercayakan sebanyak dua periode kepadanya. Atau, jika tidak, dipromosikan ke jabatan baru yang menuntut tanggung jawab lebih besar.
Ia pernah delapan tahun menjabat Dirut PT Semen Padang (1970-1977), yang, karena dianggap sukses lantas dipercayakan menggantikan Prof. Drs. Harun Zain Dt Sinaro, sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977-1987). Berhasil memimpin “Ranah Minang” dengan meraih penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Negara pada 22 Agustus 1984, Azwar Anas lantas dipromosikan menjadi Menteri Perhubungan pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Parasamya Purnakarya Nugraha adalah penghargaan negara tertinggi yang diberikan kepada daerah yang dinilai berhasil melaksanakan pembangunan dalam skala nasional. Kemudian, lulusan jurusan teknik kimia ITB Bandung tahun 1959 ini dipromosikan lagi menjadi Menko Kesra Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), membawahi beberapa menteri di bidang kesejahteraan rakyat. Pria Minang kelahiran Padang, Sumatera Barat 2 Agustus 1931, ini selalu melakukan pendekatan keimanan dan ketaqwaan. Dia mengabdi dengan bersikap lillahi ta’ala, atau ikhlas dan sebulat hati. Banyak orang lantas terkadang menjadi terlanjur menganggapnya sebagai seorang kyai haji. Padahal, putra Mato Air pemangku gelar Dt Rajo Sulaiman ini orang biasa-biasa saja. Ia adalah Ketua Lembaga Gebu (Gerakan Seribu) Minang, yang mengumpulkan uang seribu rupiah dari tiap warga Minang di perantauan untuk membangun kampung halaman. Awalnya, sisi cendekia insinyur kimia ini lebih menonjol. Hal itu terlihat jika disimak karir awalnya sebagai dosen di almamaternya, di ITB dan IPB Bogor. Sedangkan, sosok keulamaannya menonjol dalam setiap ceramah dan perbincangan ngobrol biasa. Di usia menapak senja ia kembali menonjolkan sifat cendekianya saat duduk sebagai Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Mengabdi lillahi ta’ala atau ikhlas dan sebulat hati terpetik karena tertimpa musibah. Ria, putri sulung dan perempuan tunggal dari antara kelima anaknya, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang Merpati Nusantara di Pantai Padang, tahun 1971. Dalam suasana sedih ia menemukan sebuah buku catatan harian Ria, tertulis di situ, “Sebaiknya kita menjadi lilin. Biarlah tumbuh hancur terbakar, asal orang lain dapat menerima manfaat yang kita terangi.” Baginya, kalimat itu mengandung makna lain, “Kalau Papa sayang sama Ria, lakukan pesan ini.” Azwar Anas mengamalkan pengabdian semata-mata sebagai bagian dari amal ibadah terhadap Allah Swt. AzwarAnas menapaki karir cemerlangnya semenjak dipercaya memimpin PT Semen Padang, tahun 1970. Perusahaan semen kebanggaan masyarakat Sumatera Barat sedang dalam kondisi semaput ketika itu. Ia menerima penunjukannya dengan senang hati. Sekalian pulang kampung, pikirnya, sebab semenjak lulus kuliah ia lebih banyak bekerja di wilayah Jawa Barat. Ia pernah menjadi pegawai balai penelitian, asisten dan dosen di almamater ITB dan IPB Bogor, hingga bekerja di perusahaan persenjataan PT Pindad Bandung. Banyak pihak yang sesungguhnya meragukan kemampuan perusahaan meraup untung. Opini yang dikembangkan sudah cenderung lebih baik PT Semen Padang dijual. Namun begitu Azwar Anas turun tangan dan bekerja langsung di lokasi pabrik, di kawasan Indarung, PT Semen Padang bukan hanya selamat melainkan mampu berkembang jauh sekaligus mengangkat nama Azwar Anas. Ayah lima orang anak ini membuktikan diri seorang enterpreneur yang baik. Keberhasilan serupa kembali ia raih saat menghuni Rumah Bagonjong alias Kantor Gubernur Sumatera Barat, sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Dalam kenangan masa kecil ia selalu merasa takut lewat di depan gedung yang di jaman Belanda dahulu dihuni oleh pembesar berpangkat Residen Padang. Namun, setelah menjadi kantor Gubernuran ia malah berkantor di situ. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud melantiknya menjadi Gubernur pada 18 Oktober 1977. Ketika berkenalan dengan masyarakat, dalam pidato pertama Azwar Anas mengutip bagian pidato terkenal dari Sayidina Abu Bakar Siddiq saat dilantik sebagai Khalifah, yang menyebutkan, “Jika tindakan saya benar ikutilah saya, jika salah betulkanlah.” Terbukti, tindakan Azwar Anas dianggap benar sebab selama 10 tahun masa baktinya ia melakukan pendekatan bersentuhkan keimanan dan ketaqwaan. Ia juga tak jemu-jemu mengingatkan masyarakat Ranah Minang agar selalu ingat pada Allah, sesuai semboyan “Adatnya bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah”. Ia juga mengutarakan, di setiap kesempatan mulai dari kota hingga ke nagari-nagari terpencil, agar semua pekerjaan diniatkan karena Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Tujuannya supaya tercipta akhlak mulia atau akhlaqul karimah. Azwar Anas beruntung mempunyai penampilan yang meyakinkan disertai rona muka bersih dan suara mantap melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an serta hadist Nabi. Dengan kepandaian dan penampilannya, ia menyerukan rakyat agar berlomba berbuat kebajikan, bekerja tekun, dan giat membangun kampung halaman menuju masa depan yang lebih baik. Ia mengutip pula surat Ar-Radhu ayat 11, “Nasib suatu kaum tidak berubah jika mereka sendiri tidak berusaha mengubahnya.” Rakyat pun menjadi tersentuh dan yakin hanya mereka sendiri yang harus giat membangun daerah Sumatera Barat. Jika di era Harun Zain rakyat Sumatera Barat merasakan bangkit harga dirinya, pada era Azwar Anas keimanan dan ketaqwaan rakyat terpupuk. Azwar Anas putera dari Engku Anas Sutan Masa Bumi, seorang bekas Kepala Jawatan Kereta Api Padang, menorehkan Undang-undang No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ) sebagai peninggalan bertinta emas. Awalnya muncul beragam protes keras. Azwar Anas berhasil menepis gelombang protes sekaligus menggolkan LLAJ, dengan logika sederhana saja. Dikatakannya, dahulu ketika jalan raya penuh lobang dan batu-batu resikonya hanya patah per. Dan, per itu bisa dibeli dengan murah. Kecil sekali kemungkinan terjadi tabrakan karena kendaraan jalan pelan dan jumlahnya relatif tidak banyak. Tapi dengan jalanan mulus dan kendaraan berjubel resiko bukan lagi patah per tapi patah kaki, lengan, bahkan tewas mengenaskan. Lalu, dimana mesti membeli itu semua sebab jelas tak ada dijual. Itulah Azwar Anas, tokoh nasional yang tetap menampakkan diri sebagai “urang Awak”. Karena ketokohannya mempersatukan warga Minang di perantauan, sejak tahun 1990 kepadanya dipercayakan jabatan Ketua Umum Lembaga Gebu Minang, sebuah gerakan mengumpulkan uang seribu rupiah dari setiap warga sebagai bentuk partisipasi untuk membangun kampung halaman. ►ht Nama: Ir. H. Azwar Anas Lahir: Padang, Sumatera Barat, 2 Agustus 1931 Anak: Lima (5) orang Ayah: Engku Anas Sutan Masa Bumi Pendidikan: SD di Padang, 1944 SMP di Bukittinggi, 1948 SMA di Padang, 1951 Teknik Kimia ITB Bandung, 1959 Kursus Manajemen di Universitas Syracuse, AS, 1959 Karir: Pegawai Balai Penyelidikan Kimia, Bogor, 1951-1952 Asisten Prof Dr Dupont di Fakultas Pertanian Bogor, 1954 Asisten Dosen Luar Biasa ITB, 1958-1959 Dosen Luar Biasa ITB, 1959-1960 Kepala Dinas a Pindad, 1960-1961 Kepala Pusat Laboratoria Pindad, 1961-1964 Kepala Pusat Karya Pindad, 1965-1968 Dirut PT Purna Sadhana Pindad, 1968-1970 Dirut PT Semen Padang, 1970-1977 Dirut PT Semen Baturaja, 1973-1977 Anggota MPR Utusan Daerah, 1972-1977 Gubernur Sumatera Barat, 1977-1987 Menteri Perhubungan Kabinet Pembangunan V, 1988-1993 Menko Kesra Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998 Kegiatan Lain: Ketua Dewan Penyantun IKIP Padang, 1975-1977 Ketua I Presidium Asosiasi Semen Indonesia, 1971-1977 Ketua Umum Lembaga Gebu Minang, 1990-sekarang Ketua Umum PSSI, 1992-2000 Alamat Rumah: JI. Gedung Hijau Raya No. 23 Pondok Indah Jakarta Selatan
Sumber : www.tokohindonesia.com
Trackback(0)
|