Home
Daftar Anggota
Galleri
Resep
Restoran Minang
Games
Download
Kamus Minang
Chat
Bursa Iklan
Radio Online
Weblink
SPTT Cimbuak
Cimbuak Toolbar
Menu Situs
Berita
Artikel
Prosa
Tokoh Minang
Adat Budaya
Agama
Kolom Khusus
Pariwisata
Berita Keluarga
Giring2 Perak
Berita Yayasan
Pituah

Nak kayo kuek mancari
Nak Tuah batabua urai
Nak mulie tapek-i janji
Nak Luruih rantangkan tali
Nak namo tinggakan jaso
Nak pandai kuek baraja

Milis Minang
Rantaunet
Surau
Aktivis Minang
Media Padang
PosMetro Padang

Tafsir Pantun Minang (4) : Pantun Cinta
Written by Dr. Ir. H. Darwis S.N. Sutan Sati   
Saturday, 25 February 2006
Article Index
Tafsir Pantun Minang (4) : Pantun Cinta
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6
Page 7
Page 8
Page 9
Page 10
Page 11
Page 12
Page 13
Page 14
Page 15
Page 16
Page 17
Page 18


Rang Parik Putuih kalapau randah,
Mambao balam dalam sarangnyo.
Kasieh putuih sayang tak sudah,
Lauik nan dalam nan di hadangnyo.

 

Artinya :

Orang Parit Putus ke Lepau Rendah,
Membawa balam dalam sarangnya.
Kasih putus, saying tak sudah,
Laut yang dalam nan dihadangnya.

Tafsir sampiran :
Rang Parik Putuih kalapau Randah, mambao balam dalam sarangnyo. Parit Putus, adalah nama sebuah desa yang terletak dipinggir jalan raya dan jalan kereta api antara Bukitinggi dan Payakumbuh, tidak jauh dari Bukittinggi. lapau Randah, adalah sebuah kedai nasi, yang pada zamannya dulu sangat terkenal karena masakannya yang enak. Dinamakan Lepau Randah, karena memang bangunannya rendah dibanding bangunan sekitarnya di Pasar Bawah Bukittinggi itu. Pasar ini sangat ramai pengunjungnya, terutama pada hari pasar Sabtu dan rabu.
Sementara itu ada kebiasaan dari laki-laki Minang, yang membawa burung dalam sangkar kalau dia pergi kepasar. Burung itu bisa dengan tujuan untuk dijual, untuk dipertandingkan, untuk ditukarkan, atau untuk sekedar dipamerkan saja. Maka dalam sampiran pantun ini dikatakan bahwa ada orang Parit Putus yang pergi ke Lepau Randah sambil membawa balam dalam sangkar.

Tafsir isi pantun :
Kasieh putuih saying tak sudah, lauik nan dalam dihadangnya. Secara harfiah ini bermakna, bahwa apa bila seseorang gagal dalam bercinta, maka laut dalam yang dihadangnya. Artinya dia akan bunuh diri dengan melompati laut yang dalam, kalau percintaannya terputus. Kalau kita hubungkan dengan pantun sebelumnya, maka kalau ternyata “ayam” nya ditangkap dan dibunuh oleh musang, maka dia akan bunuh diri dengan terjun kelaut yan g dalam.
Pengertian tersebut diatas, adalah dalam bentuk ekstrimnya, sebenarnya jarang terjadi yang serupa itu, walaupun kenyataannya memang ada juga terjadi sekali-sekali. Tapi pantun ini ingin menegaskan bahwa “putus cinta “ itu adalah sesuatui malapetaka yang sangat berat, yang akan dirasakan oleh yang bersangkutan. Biasanya menurut kebiasaan di Minangkabau, jika dibandingkan antara pria dan wanita, maka penderitaan akan lebih berat dirasakan oleh wanita. Lebih sulit dilupakan atau diobati oleh pihak wanita, bila dibandingkan dengan oleh pria.
Sementara itu kata-kata “saying tak sudah” mempunyai pengertian yang tersendiri pula. Yang paling berat penderitaan dirasakan oleh orang yang kasih sayangnya tidak kesampaian. Mereka sudah saling sangat menyayangi, berjanji sehidup semati, segala sesuatu sudah dipersiapkan, tinggal menunggu hari pernikahan. Perasaan mereka sudah seperti ungkapan: “rasa dibibir tepi cawan”. Akan tetapi apa hendak dikata bisa ada sebab sehingga pernikahan itu tidak terjadi. Ini adalah merupakan “kasieh putuih” yang amat berat. Berbeda dengan apabila putusnya kasih itu terjadi setelah perkawinan terjadi, sudah menikmati berumah tangga, bahkan sudah punya beberapa turunan, lalu terjadi perpisahan atau perceraian, mungkin karena meninggal dunia, ketidak sesuaian atau pengaruh pihak ketiga. Maka yang dimaksud dengan “sayang tak sudah” disini adalah bahwa kasih sayang antara mereka tidak berkesudahan sampai dipisahkan oleh maut. Sedangkan pada kejadian disebut terdahulu, kasih sayang itu tidak sampai ketangga perkawinan Dalam hal disebut terakhir biasa pula disebut dengan ungkapan: “disangka panas sampai petang, kiranya hujan tengah hari”.
Kalau kita bandingkan himah dari pantun ini, dengan fenomena masyarakat sekarang ini, sungguh sudah mengalami banyak kemunduran. Bagi sebagian masyarakat kita sekarang ini, cinta itu seperti pemainan saja, terlalu mudah berganti-ganti pasangan, putus cinta adalah suatu hal biasa yang lumrah terjadi, kawin cerai biasa saja. Perkawinan itu tidak lagi dianggap sebagai suatu yang sacral. Sedihnya golongan masyarakat yang seperti ini ternyata semekin besar dalam waktu yang singkat, seiring dengan lemahnya pemahaman dan pengalaman agama, semakin kurangnya rasa sopan santun, akhlak, budi pekerti dan semakin hilangnya rasa malu. Kita sebut diatas bahwa fenomena ini adalah suatu gejala kemunduran. Karena sifat dari golongan masyarakat ini sudah mundur dari sifat atau ciri manusia dengan akhlak mulia mundur kembali kearah menerapkan sifat-sifat binatang. Ingat bahwa pergaulan bebas, atau menerapkan kebebasan berekspresi hanya ada pada dunia binatang atau hewan.



Last Updated ( Wednesday, 04 April 2007 )
 
< Prev




Member Area
Status Radio
Radio Online Minang
Yayasan Palanta Cimbuak
Yayasan Palanta Cimbuak
Dari Awak, Oleh Awak, Untuak Kampuang
Nio berpartisipasi? Silakan klik disiko
Cimbuak Features

Cimbuak Chat


Cimbuak Chat


Free Email


Free Email
Yayasan Cimbuak
Situs Terbaik
Online Sekarang
We have 10 guests and 5 members online
Generated in 7.35194 Seconds