Dari Peluncuran Buku Siti Manggopoh Perempuan Minang Itu Layak Diberi Gelar Pahlawan… KETIKA perempuan-perempuan Minangkabau modern yang berpendidikan tinggi sedang mengibarkan bendera perjuangan gender, di mana taraf dan nilai kaum perempuan dengan laki-laki harus diperjuang- kan sama, pada saat itu pulalah muncul buku Siti Manggopoh.
DITULIS Abel Tasman, Nita Indrawati, dan Sastri Yunizarti Bakry dengan editor ahli Dr Mestika Zed MA, buku yang diterbitkan Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang, dan diluncurkan tanggal 20 Mei lalu itu menurut Raudha Thaib, pembedah buku yang dalam karya sastra namanya dikenal sebagai Upita Agustine, Siti Mangopoh adalah perempuan pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. "Perempuan pejuang yang berjuang bersama laki-laki tanpa mengenal perjuangan gender. Seorang tokoh perempuan yang tidak berkaok-kaok terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perem- puan. Perempuan pejuang yang tidak mau melawan kodrat dan fitrahnya sendiri, tetapi sanggup menjadi pemimpin dari sekian laki-laki pejuang lainnya dan sebagai api dalam menggelorakan semangat antipenjajahan," kata dia. Dalam konteks ini, lanjut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh sangatlah berharga. Apalagi ketika orang Minangkabau tengah mencari sosok perempuan Minang, buku ini menjadi terasa semakin penting. Senada dengan itu, sosiolog dari Universitas Andalas Padang, Dr Damsar, mengatakan, Siti Manggopoh merupakan gong perjuangan kebangkitan kaum perempuan dalam kancah politik. "Siti Manggopoh berjasa dalam menegakkan marwah rakyat tertindas. Pantas gelar pahlawan diberikan kepada dia. Gelar tersebut telah diberikan masyarakat Minangkabau, namun belum diberikan oleh Pemerintah Indonesia," katanya. Menurut Damsar, kalau dibandingkan dengan Raden Ajeng Kartini, perjuangan Siti Manggopoh tidak kalah besar sumbangsihnya kepada masyarakatnya. KENAPA Siti Manggopoh layak digelari pahlawan nasional? Selama ini Siti Manggopoh hampir tak pernah disebut dalam buku sejarah nasional. Kalaupun disebut, paling 1-2 alinea. Sama halnya dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang hanya disinggung sedikit dan dianggap tak penting. Namun, bagi peneliti dan sejarawan Dr Mestika Zed MA, keberadaan PDRI yang berpusat di Bukittinggi itu bisa menjadi satu buku tebal dan mendapat banyak pujian dari kalangan sejarawan dalam dan luar negeri. Sampai-sampai buku tentang PDRI itu pernah mendapat penghargaan sebagai buku ilmu-ilmu sosial terbaik tiga tahun lalu. Dan cerita soal Siti Manggopoh bisa menjadi buku setebal 98 + xiii halaman. Menurut Raudha Thaib, buku Siti Manggopoh penuh dengan makna tertulis dan tersirat. Dilahirkan bulan Mei 1880, Siti Manggopoh pada tahun 1908 melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting). Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan belasting di Manggopoh disebut dengan Perang Belasting. Dalam perspektif rakyat, menurut Dr M Nur MS, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, belasting merupakan tindakan pemerintah yang menginjak harga diri karena mereka merasa terhina mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau. "Gerakan ini dipimpin seorang perempuan yang sangat berani dan gigih menentang koloni asing, yaitu Siti Manggopoh. Perlawanannya berbentuk reaksi hebat terhadap penetrasi Pemerintah Hindia Belanda," kata dia.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan Belanda adalah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau ini sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar nagari Manggopoh. Dalam buku Siti Manggopoh disebutkan, dengan siasat yang diatur sedemikian rupa oleh Siti, dia dan pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Menurut Hayati Nizar, juga pembedah buku, sebagai perempuan Siti Manggopoh cukup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Ia memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka. "Ia pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik batin tersebut adalah antara rasa keibuan yang dalam terhadap anaknya yang erat menyusu di satu pihak dan panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda di pihak lain, namun ia segera keluar dari sana dengan memenangkan panggilan jiwanya untuk membantu rakyat," ujar dia. Tanggung jawabnya sebagai ibu dilaksanakan kembali setelah melakukan penyerangan. Bahkan anaknya, Dalima, dia bawa melarikan diri ke hutan selama 17 hari dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan di Lubukbasung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Mungkin karena anaknya masih kecil atau karena alasan lainnya, akhirnya Siti Manggopoh dibebaskan. Namun, suaminya dibuang ke Manado.
Sejarawan Dr M Nur MS berpendapat, Siti Manggopoh adalah satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani melancarkan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap pengaruh asing. Bahkan tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik. "Antara Siti Manggopoh di Minangkabau dan Cut Nyak Dien di Aceh mungkin dapat ditarik suatu garis lurus dalam persamaan atau mungkin perbedaannya. Akan tetapi, yang jelas, kedua perempuan ini tidak kenal lelah dan berani memimpin di tengah kaum laki-laki. Peristiwa itu dapat dijadikan pedoman dan bukti bahwa kaum perempuan Minangkabau tidak berbeda kemampuan dan haknya dari kaum laki-laki," jelasnya. (YURNALDI sumber KOMPAS)
Sumber : www.kompas.com
Trackback(0)
|