"Mendaki Naik, Bajanjang Turun" PEPATAH mendaki naik, bajanjang turun berpetuah bahwa untuk tiap tujuan ada tertibnya. Alam yang terkembang di ranah Minangkabau menjadi ilhamnya. Sedang Bukittinggi, yang membentang pada ketinggian 1,000 meter di atas muka laut, adalah miniatur alam itu.
Di batas saujana kota ini, menganga Ngarai Sianok dan menjulang Gunung Singgalang di sebelah selatan. Di timurnya, Gunung Merapi. Gunung yang pertama berpuncak danau, yang lainnya berapi.
DI dalam Kota Bukittinggi, mendaki naik, bajanjang turun bermakna harafiah: seluruh kota dibangun pada, dan di antara, bukit-bukit kecil dan lembah- lembah elok. Inilah kota bertingkat majemuk yang tiada bandingnya di Indonesia. Di pusat kota, berempu dua bukit terpenting yang mengapit jalan raya utama. Yang di sebelah barat adalah sebuah taman di situs Fort De Kock. Yang di timur kebun binatang kecil dengan museum berbentuk rumah bagonjong. Sebuah jembatan besi menghubungkan keduanya, menggantung di atas jalan raya dan kesibukan kota, mengambil jarak dari kehidupan di bawahnya. Enam puluh empat anak tangga menuntun khalayak turun dari bukit timur ke jalan raya itu, bertemu mesjid raya di penghujung. Jalan-jalan sederhana mendaki naik ke puncak Fort de Kock dari arah sebaliknya.
Sedang bukit ketiga, di sebelah selatan dari dua terdahulu, adalah tempat Istana Bung Hatta, bersebelahan dengan Hotel Novotel karya arsitek Thailand Lek Bunnag. Jam Gadang yang sohor itu dibangun di atas lapangan yang juga berjenjang-jenjang, yang membuka ke lembah di arah timur, setia menanti basuhan sinar Matahari terbit dari belakang Gunung Merapi. Lebarnya pun tak berlebih-lebih, secukupnya untuk duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang, bertenggang rasa. Ukuran ini menjadikannya taman yang mudah dimasuki, aman, serta sopan karena setiap sudut tampak dari yang lain. Pasar Atas di utaranya menarik orang ramai melintas.
Rupa bumi Bukittinggi sendiri telah sediakan pola bagi terbentuknya urbanitas yang khas. Lebar jalan secukupnya, melengkung, atau patah pendek-pendek. Petak rumah rapat menempel di tebing, atau bertengger di punggung bukit, menatap jalan dari ketinggian. Beberapa lintasan anak tangga memintas jalan-jalan pada ketinggian berbeda.
Ruang-ruang terbuka mudah dimasuki dengan jalan kaki, ramai dikunjungi khalayak segala usia segala waktu sehingga kota menjadi wadah berlatih homo homini socius (manusia sebagai sahabat bagi manusia lain), bukan homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lain). Demikianlah tampak dari jendela terbuka lantai atas rumah makan Simpang Raya di muka Lapangan Jam Gadang, di seberang Istana dan Balai Sidang Bung Hatta. Inilah pusat kota yang sejati.
Di dalam daerah yang luasnya terjangkau jelajah angkutan alamiah (jalan kaki dan kendaran tak bermotor), semua unsur keragaman kota hadir: rumah makan cina (yang sajikan buah campur sembilan jenis dengan siraman madu), rumah makan minang (yang sajikan teh bercampur adukan telur), rumah biasa maupun yang megah, toko barang antik, pasar, universitas, taman, museum, mesjid, vihara, dan gereja
Salah kaprah
Namun, Bukittinggi, kota yang telah lahirkan modernisme Indonesia, tak bebas dari patologi modernisasi mutakhir yang salah kaprah ialah ketika rezim ekonomi memaksakan yang serba besar. Proses nilai tambah pun memaksa pengembangan pinggir kota secara tak seronok. Kabarnya sebuah mal akan dibangun di sebelah barat Lapangan Jam Gadang. Memperalat teknologi, ia mau sangkal skala rupa bumi yang ada.
Untuk bertahan, setidaknya dua pantangan harus dipegang teguh oleh penata Kota Bukittinggi: jangan sekalipun melebarkan jalan dan jangan ceroboh melebarkan kota! Apa pun yang hendak dicapai, kedua pantangan itu dapat dicapai tanpa melakukannya.
Perkara ini tidaklah sesulit mencari tepung di benang sehelai. Aksesibilitas-bukan sekadar mobilitas-justru rusak oleh ketergantungan pada jalan lebar dan mobil pribadi. Pelebaran jalan akan merusak rupa bumi serta ekosistem yang telah menjadi dasar urbanitas Bukittinggi sekarang. Trotoarlah yang justru harus dilebarkan dan dibuat nyaman.
Pemekaran kota yang ceroboh akan mematikan pusat kota yang akan termiskinkan menjadi pusat komersial semata, bukan lagi pusat kekhalayakan yang beragam demi homo homini socius. Kehidupan kota akan tercerai-berai, bagian-bagiannya terpisah jauh.
Agar tidak mengkhianati dirinya sendiri, proses cipta nilai tambah di Bukittinggi harus melalui intensifikasi pemanfaatan ruang dengan meningkatkan dua hal, yaitu keragaman fungsi dan kepadatan yang meninggikan kapasitas, bersamaan dengan pemberdayaan ekonomi lokal berdasarkan modal yang ada, misalnya kerajinan perak dan pariwisata home-stay. Skala pembangunan pun, dalam arti wujud fisik dan investasi, harus beragam dan tidak berskala besar-besar dikuasai hanya oleh segelintir orang.
Semoga Bukittinggi tidak menjadi batang terendam seperti kawasan Puncak yang harus dibangkitkan kembali pada masa depan, hanya karena transformasi pasar membuat orang terkecoh oleh cara membangun yang tak tertib, menyangkal petuah, dan yang oleh modernitas palsu menghancurkan harkat.
Bukittinggi telah memiliki Jam Gadang sebagai simbol modernitas yang sejati-waktu, disiplin, kemajuan-dalam proporsi yang tepat ruang dan rupa bumi. Ia adalah monumen saksi lahirnya modernisme Indonesia, bahkan sebelum Jawa memulainya, dengan sejumlah watak cemerlang lahir di sana: Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Buya Hamka.
Sebagai salah satu kota terpenting dalam sejarah intelektual Indonesia dan sekaligus pusat genesis kebudayaan Minangkabau, segenap saujana Bukittinggi selayaknya diberi status sebagai pusaka nasional Indonesia.
Marco Kusumawijaya Arsitek Tata Kota, Peserta Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi
Sumber : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/02/iptek/646847.htm
Trackback(0)
|