(Kajian terhadapTari Piriang Sulueh Pariangan)
Abstrak: Artikel ini bermaksud menggambarkan gaya tari dalam perspektif kontekstual dengan mengambil kasus tari Piriang Sulueh di nagari pertama Minangkabau, yaitu nagari Pariangan. Pendekatan kualitatif-antropologis digunakan dalam penelitian ini, yang secara khusus disebut choreometrics, yaitu melakukan analisis hubungan antara gerak tari yang meliputi sikap tubuh, tipe transisi, jumlah anggota tubuh yang terlibat, dan bentuk-usaha dengan pola aktivitas masyarakat sehari-hari.
Teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara telah digunakan dalam mengumpulkan data dan kemudian dilakukan proses analisis triangulasi sumber dan teknik itu sendiri guna mendapatkan kridibilitas data, termasuk melakukan konfirmasi dengan hasil penelitian lainnya. Akhirnya penelitian ini menemukan bahwa baik dilihat dari sikap tubuh, tipe transisi, jumlah anggota tubuh yang terlibat, maupun bentuk-usaha yang terdapat dalam tari Piriang Sulueh, ternyata sangat erat sekali kaitanya dengan pola aktivitas masyarakat nagari Pariangan sehari-hari yang terpola dengan aktivitas pertanian bercocok tanam di sawah. Kata Kunci: Gaya Tari, Perspektif Kontekstual, Tari Piriang Sulueh
Penulis adalah : Dosen Sendratasik Fakultas Bahasa Sastra Seni, Universitas Negeri Padang, Sarjana Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun l9941
1. Pendahuluan Gaya tari dapat dilihat dari segi tekstual dan kontekstual. Gaya tari secara tekstual adalah sekaitan dengan apa yang disebut oleh Sedyawati (l986: l2-l3) segi-segi teknik yang menentukan ciri-ciri suatu gaya tari dan bagi yang menonton memberikan sesuatu pengalaman melihat yang bersifat kesenirupaan. Keindahan dan estetiknya suatu gerak dilihat dari ritme geraknya. Gaya tari secara kontekstual berkaitan denganapa yang disebut Sedyawati dengan sikap batin yang bisa dirasakan sebagai sesuatu yang pantas dalam kerangka tata nilai kebudayaan yang bersangkutan. Dengan kata lain sikap batin merupakan segi-segi penghayatan nilai budaya. Jadi, kekhasan gaya tari tidak hanya dipengaruhi oleh letak geografisnya melainkan juga oleh sistembudaya, pola aktivitas sehari hari, serta orientasi nilai budaya masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, akan didapat tari gaya Meksiko, gaya Eskimo, gaya Bali, gaya Jawa, gaya Minangkabau dan lain-lain. Kehadiran tari dalam suatu lingkungan budaya sangat erat hubungannya dengan citra masing-masing kebudayaan itu, sebagaimana Sedyawati (1986: 3) katakan bahwa tari merupakan pernyataan atau refleksi budaya masyarakat pendukungnya. Sebagai refleksi atau ekspresi budaya, tari mengkomunikasikan keadaan dan kondisi yang ada dan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Tari sebagai bahasa nonverbal mampu memberikan identitas yang dianut pendukungnya melalui gaya yang dimilikinya. Oleh karena itu, jenis gaya tari adalah sangat beraneka ragam. Dalam suku bangsa terdapat beberapa gaya dan subgaya tari, misalnya etnik Jawa memiliki gaya tari Surakarta dan gaya tari Yogyakarta. Gaya tari Surakarta dengan penari wanita ada dua gaya yaitu Bedaya dan Gambyong (Sedyawati, l986:14).
Begitu pula halnya tari di Minangkabau yang memiliki bermacam jenis tari, variasinya terdapat di nagari ke nagari. Masing-masing jenis tari itu terbagi lagi ke dalam beberapa bentuk penyajian. Tiap-tiap nagari mempunyai tari yang khas, karena tari di Minangkabau merupakan milik komunitas suatu nagari. Beberapa nama tari yang terdapat di nagari-nagari adalah seperti alang Suntiang Pangulu dari Padang Laweh, Adok dari Saningbakar, Alau-ambek dari Sungai Sariak, Benten dari Painan, serta jenis-jenis tari Sewah, Galombang dan Tari Piriang yang terdapat dalam berbagai wujud di setiap nagari (Sedyawati, l99l:l4). Tari Piriang Sulueh adalah salah satu yang khas dari nagari Pariangan dan gaya tari ini akan dikaji dari segi kontekstual, karena Pariangan adalah nagari tertua dan pertama di Minangkabau.
Kajian ini diharapkan menjadi lebih tepat dan sangat bermanfaat bagi pemahaman budaya lewat ekspresi dan refleksi tari yang ada di nagari ini, dengan fokus utama yaitu: bagaimana kaitan gaya gerak tari Piriang Sulueh dengan pola aktivitas masyarakat nagari Pariangan? Kemudian fokus ini dikembangkan dalam bentuk pertanyaan yang lebih rinci yaitu : (l) Bagaimana kaitan sikap tubuh dalam tari Piriang Sulueh dengan pola aktivitas masyarakat Pariangan? (2) Bagaimana kaitan tipe transisi dalam tari Piriang Sulueh dengan pola aktivitas masyarakat Pariangan? (3) Bagaimana kaitan jumlah tubuh yang aktif dalam tari Piriang Sulueh dengan pola aktivitas masyarakat Pariangan? dan (4) Bagaimana kaitan bentuk-usaha dalam tari Piriang Sulueh dengan pola aktivitas masyarakat Pariangan?
2. Kajian Teori Gaya (style) menurut Runes dan Serickel (1986: 975) adalah karakter atau watak dan bentuk yang khas dari satu kelompok kerja tertentu yang membedakannya dengan bentuk kerja yang lain. Dalam seni, gaya dapat berarti kecenderungan berakting, berekspresi, dan pertunjukan yang khas dari suatu kelompok (Allee, 1958: 370). Dalam tari, gaya lazim dimengerti sebagai sekelompok ciri khas dari suatu tradisi tari atau suatu kebiasaan tari tertentu, yang membedakannya dengan tradisi atau kebiasaan tari yang lain (Sedyawati, 1981: 187).
Penelitian tentang hubungan gaya gerak tari dengan kehidupan sehari-hari, yang dikemukakan oleh Bartenieff dan Paulay (1981: 30-31) bahwa pada tahun 1978, Alan Lomax dan Conrad Arensberg dari Fakultas Antropologi Universitas Columbia telah menemukan hubungan tersebut. Proyek yang dibiayai oleh National Institut of Mental Health ini disebut dengan istilah Choreometrics. Penelitian ini telah mendeskripsikan dan membandingkan gaya tari dan budaya menurut tipe gerak, daerah budaya, wilayah budaya, sebagaimana dijumpai dalam kehidupan sehari-hari (kerja) dan kegiatan ekspresi (tari). Dari penelitian ini dihasilkan teori tentang gaya gerak tari oleh Alan Lomax yang menyimpulkan bahwa gaya gerak dalam tari merupakan kristalisasi dari pola-pola aktivitas setiap hari yang sangat sering dan penting dalam masyarakat pendukungnya. Lomax mengemukakan bahwa ada empat faktor yang membentuk gaya tari sebagai kristalisasi dari pola aktivitas setiap hari yang sangat menonjol dan penting dalam masyarakat pendukungnya, yaitu, (1) body attitudes, (2) type of transition, (3) number of active body part), and (4) effort-shape.
Body attitudes menunjukkan pada sikap dasar berdiri, dari mana segala aktivitas dan langkah dikembangkan (Lomax, 1978: 236). Jadi sikap tubuh merupakan pola dasar bagi pendukung budaya dalam melakukan aktivitasnya atau sikap mental aktivitas mereka mempunyai hubungan budaya secara wilayah atau regional, sehingga bisa menunjukkan identitas budaya.
Type of transition terjadi bila gerak mengubah arah, sifat dasar transisi antara bagian lama dengan bagian baru mempengaruhi pola atau bentuk menyeluruh dari gerak itu sendiri (Lomax, 1978: 240) baik dilihat dari formasi berjalan maupun transisi (Bartenieff dan Paulay, 1981: 33). Tipe transisi yang menggunakan formasi garis lurus dan sederhana menunjukkan bahwa masyarakatnya sederhana seperti pemburu dan pengumpul makanan, dalam hal ini mereka membatasi hampir semua kegiatannya dengan kesederhanaannya yaitu dengan mengulangi kembali garis (pola) yang sama terus menerus. Hal ini disebabkan karena alat dan kemampuan mereka sangat terbatas. Lain halnya apabila bentuk tarinya menggunakan pendekatan tiga dimensi ruang, baik dalam formasi berjalan atau transisi, menunjukkan kehidupan masyarakat sangat kompleks seperti masyarakat agraris. Kerumitan berputar dengan menggunakan figur delapan banyak ditemui pada bangsa yang berbudaya padi atau petani di Asia, yang memberikan kebebasan mengolah secara luas untuk membentuk dan menyambung penggunaan ruang suatu kegiatan seperti pada cara menanam yang sangat sulit. Jadi, semua ciri gerak terjadi menurut perkembangan lingkup aktivitas masyarakatnya, yang telah menjadi budaya.
Adapun number of active body parts merupakan cerminan kehidupan sehari-hari masyarakat pendukung tari tersebut (Lomax, 1978: 243). Jadi, apa saja bagian tubuh yang aktif, hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka juga menggunakan bagian tubuh tersebut. Penggunaan bagian tubuh dalam suatu tari sangat penting, karena bagian tubuh digunakan sebagai instrumen ekspresif. Tubuh sebagai instrumen ekspresif dipilahkan ke dalam empat bagian, yaitu kepala, badan, tangan, dan kaki (Suharto, 1987:15). Keempat bagian tubuh ini masih bisa dibagi lagi ke dalam sub-sub bagiannya masing-masing, tangan terdiri dari lengan atas, lengan bawah, tangan, dan jari. Kaki terdiri dari tungkai atas, tungkai bawah, dan kaki.
Akhirnya efort-shape. Maksud Shape adalah penyesuaian gerak yang dilakukan oleh seorang penari dengan ruang sekitarnya, sedangkan effort adalah cara energi gerak dimodulasi untuk menghasilkan kualitas ritme dalam gerak. Untuk mengkaji shape dalam tari perlu mempedomani elemen horizontal, vertikal, dan aliran. Elemen effort adalah elemen ruang, tenaga, waktu dan aliran (Lomax, 1978 244). Tari sebagai pola aktivitas yang menjadi budaya masyarakat tidak diukur langkah demi langkah tetapi melalui kualitas dinamikanya.Untuk melihat kualitas dinamikanya perlu menganalisis effort-shape. Lebih lanjut dijelaskan Lomax, bahwa untuk menilai semua elemen effort perlu melihat jumlah elemen yang terlibat, dan macam kombinasinya. Cara menghubungkannya dengan kegiatan masyarakat adalah dengan melihat salah satu effort yang dominan, artinya effort tersebut mencerminkan secara persis aktivitas masyarakatnya. Shape perlu dilihat kesederhanaan penggunaan tungkai dan lengan serta penggunaan secara utuh dalam elemen yang dikombinasikan.
Berdasarkan teori Lomax di atas dapat dikemukakan beberapa contoh gaya gerak tari yang berhubungan dengan aktivitas masyarakat yang paling sering dilakukan oleh masyarakat tersebut, seperti suku Eskimo Caribou, sikap tubuh yang sering mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah sikap tubuh secara frontal. Sikap tubuh ini mereka lakukan untuk menghadapi lingkungan yang sangat dingin. Di samping itu, dalam kehidupan sehari-hari mereka juga memperlihatkan kehebatan dalam ketangkasan pukulan dan langkah serangan langsung dengan seluruh bagian tubuh bergerak. Gaya gerak yang menekankan kekuatan maksimum menandakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka memukul dengan pukulan yang keras untuk membunuh anjing laut atau dalam gaya yang relax ketika memukul genderang. Dalam transisi mereka memanfaatkan ruang secara ekonomis yang terlihat pada dominasi garis lurus, baik dalam arah berlawanan secara tepat dan tajam maupun simetris.
Suku di pulau Ellice memiliki sikap tubuh luas naik turun dalam posisi kakilebar. Sikap seperti ini merupakan dasar gerak bergetar, sehingga memberi kesempatan melakukan gerak tangan dan lengan dengan gerakan yang berbelit-belit. Gaya gerak ditandai dengan gerak goyang dada, alunan gerak timbul dari pusat torso, kemudian meliuk dari segmen ke segmen secara berangsur-angsur sampai akhirnya lengan direntangkan ke depan. Gaya torso yang dilakukan memberi kesan seperti sampan yaitu berdiri sendiri dengan kokoh dan lambat laun menggunakan anggota tubuh lainnya. Bentuk usaha yang dilakukan terlihat pada liukan lembut dengan pola ruang melengkung dan berputar. Pada langkah atau berjalan tidak ada menggunakan garis lurus. Dari uraian tentang gaya gerak tari dan gaya kehidupan sehari-hari yang diuraikan di atas terlihat kontras bila dibandingkan dengan suku Eskimo. Ini disebabkan suku pulau Ellice hidup di daerah yang beriklim tropis sedangkan aktivitas kehidupan sehari-harinya adalah sebagai nelayan.
Kelompok etnis di Afrika dapat dikatakan kelompok yang memiliki tari yang berkaitan dengan kehidupan pertanian, dominasi geraknya sangat kuat berorientasi ke tanah, dengan badan condong ke depan, pinggul miring, dan lutut ditekuk (Hanna, 1981: 42).
2. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologis terhadap fokus yang diteliti yaitu kaitan gaya gerak tari Piriang Sulueh Pariangan dengan pola aktivitas masyarakat sehari-hari. Elemen gerak tari yang dikaitkan dengan pola aktivitas masyarakat tersebut adalah elemen sikap tubuh, tipe transisi, jumlah bagian tubuh yang aktif, dan elemen bentuk-usaha dari tari Piriang Sulueh tersebut. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan sumber penelitian atau referensi yang relevan lainnya. Untuk itu, peneliti dibekali dengan perspektif teoritik sebagaimana yang telah dikemukakan dalam kajian teori, samping juga dilengkapi dengan alat perekam tape recorder, rekaman video, fotografer, catatan wawancara dan catatan observasi lapangan.
Setelah penyajian tari secara lengkap direkam dengan video, yang berfungsi sebagai pancangan (funnel), maka strategi berikutnya adalah mengumpulkan data sekaligus menganalisis kredibilitas data dengan proses triangulasi metode dan sumber melalui dua tahap. Tahap pertama melalui observasi video, guna menemukan empat faktor teori Lomax yang menjadi kerangka kerja awal penelitian ini (body attitudes, type of transition, number of active body part, and effort-shape), Tahap kedua adalahmenelusuri kaitan dan makna masing-masing faktor tersebut dengan pola aktivitas masyarakat nagari Pariangan melalui konfirmasi data dengan teknik observasi dan wawancara guna memperoleh kredibilitas datanya, dengan para informan secara snowball sampling, kadang kadang juga dikonfirmasikan dengan hasil penelitian yang relevan lainnya.
3. Hasil dan Bahasan Tari Piriang Sulueh adalah tari yang tumbuh dan berkembang di nagari pertama atau awal Minangkabau yaitu nagari Pariangan. Nagari ini terletak di lereng gunung Merapi dengan ketinggian 800 – l000 m dari permukaan laut dan termasuk daerah pegunungan berhawa dingin dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Nagari ini terlihat subur karena sering mendapat debu kiriman dari gunung Merapi yang sampai sekarang masih aktif. Nagari yang luasnya l32,5 km bujur sangkar itu sebagian besar terdiri dari tanah produktif untuk sawah dan ladang. Dengan iklimnagari yang demikian, masyarakatnya dengan leluasa dapat menanam hampir semua tanaman yang dibutuhkan masyarakat setempat. Pertanian utama mereka adalah bercocok tanam padi dan hal ini merupakan makanan pokok mereka secara turun-temurun sejak nenek moyang mereka.
Sistem kekeluargaan masyarakat Pariangan terlihat kuat. Semangat kebersamaan tampak mendasari segi kehidupan mereka. Kebiasaan itu mereka lakukan pada waktu mengerjakan sawah, mendirikan rumah, membersihkan jalan dan lain-lain. Kegiatan tolong menolong dalam mengerjakan sawah mereka sebut dengan istilah batobo. Hal ini tetap terpelihara karena ditopang oleh sistem kekerabatan geneologis matrilinial dan sistem pemerintahan adat nagari yang bersifat teritorial.
Pengorganisasian geneologis matrilinial tersebut memiliki enam tingkatan hirarkhis dari kelompok kecil sampai ke kelompok besar yaitu saibu, saparuik sanenek, saniniak, sakaum, dan sasuku. Sasuku (satu suku) adalah identitas kelompok geneologis matrilinial yang terbesar, sedangkan di bawahnya ada lima tingkat kelompok kecil secara hirarkhis. Artinya suatu suku (sasuku) terdiri dari beberapa satuan kaum (sakaum), kaum terdiri dari beberapa satuan ninik (saniniak), ninik terdiri dari beberapa satuan nenek (sanenek) dan nenek terdiri dari beberapa satuan perut (saparuik) dan perut terdiri dari beberapa satuan ibu (saibu). Seorang anak yang bersuku caniago maka dia berada dalam garis geneologis matrilinial ibu, perut, nenek, ninik, kaum dan suku caniago pula. Baik laki laki maupun perempuan bersuku caniago, mereka dikawini (untuk pihak perempuan) dan mengawini (untuk pihak laki-laki) dengan suku lainnya yang juga punya struktur geneologis matrilinial yang hirarkhis pula, seperti suku piliang, tanjung, budi dan lain-lain.
Nagari sebagai organisasi pemerintahan adat yang bersifat teritorial yang terbesar di Minangkabau membawahi kampung-kampung. Batasan teritorial nagari sekaligus menjadi batasan pengorganisasian geneologis yang satu suku (sasuku). Kekuasaan penghulu suku hanya menjangkau anggota geneologis yang saibu, saparuik, sanenek, saniniak, sakaum, dan sasuku yang ada dalam nagari tersebut. Artinya, suku atau geneologis yang sama tetapi berada dalam nagari yang berbeda tidak memiliki hubungan organisatoris geneologis lagi, melainkan hanya memiliki hubungan kekerabatan, karena berasal dari turunan yang sama atau belahan geneologis yang sama. Akibatnya, antarnagari juga tidak punya hubungan organisatoris pemerintahan adat. Hal ini terungkap dalam sebuah aturan umum yang menyatakan sifat federalismenya nagari yaitu adaik salingka nagari (aturan adat hanya berlaku dalam nagari yang bersangkutan saja), sehingga peneliti Belanda B.Schrieke tahun l920-an kata Nasroen (l956) bahwa nagari adalah republik Indonesia kecil. Dalam nagari minimal memiliki empat suku dan masing masing suku dikepalai oleh penghulu suku yang berkuasa secara hirarkhis geneologis dalam sukunya dan dalam nagarinya. Jadi nagari Pariangan sebenarnya adalah nagari yang bersifat campuran yaitu diorganisir secara geneologis dan teritorial.
Nagari Pariangan sebenarnya kaya dengan seni budaya. Di samping tari Piriang sulueh, ada lagi kesenian lain yaitu: Talempong Paciak, Tari Padang, Salawaik Talam, Randai, Saluang dan dendang. Semua kesenian ini eksistensinya di nagari kuat, karena diakui dalam aturan nagari yang disebut dengan Undang-undang nan Sambilan Pucuak yang antara lain menyatakan bahwa undang-undang taluak ka pakaian, pamainan, bunyi-bunyian, dan karamaian, artinya eksistensi seni diakui sebagai bagian integral dari adat nagari.
3.1Â Gaya dan Pola Aktivitas Data yang dikumpulkan lewat rekaman video diamati berulang-ulang oleh tiga observer sehingga dapat dideskripsikan bahwa tari Piriang Sulueh adalah salah satu tari tradisi Pariangan yang dimainkan oleh dua orang laki-laki. Pada kedua telapak tangan mereka ada piring porselen dan di ujung jari telunjuk dipasang cincin dari damar yang dijentikkan pada piring, yang menimbulkan bunyi. Serentak dengan itu, obor (sulueh) dari botol diletakkan di atas kepala penari, kemudian delapan buah piring ukuran sedang disusun berjejer sebagai titik sentral arena pertunjukan. Lamapertunjukan adalah tujuh menit. Gerak yang terpenting adalah gerakan pada tangan yang menanai piring sambil menanai sulueh. Keduanya menari dengan melakukan gerakan yang menggambarkan kegiatan petani di sawah, peniruan gerak binatang dan gerak keseharian yang bersifat keterampilan dengan tetap berpola pencak silat.
Tari Piriang Sulueh ini tersusun dari kesatuan bentuk gerak yang lebih kecil yaitu ragam gerak atau dalam istilah lain disebut dengan motif. Suatu bentuk tariditentukan oleh ragam apa yang dilakukan, karena setiap bentuk tari hadir dengan ciri-ciri yang spesifik selaras dengan kesatuan ragam gerak yang membentuknya. Tari ini memiliki beberapa ragam gerak yang diambil dari tiruan yang ada dalam alam, baik alam manusia maupun alam selain manusia. Ragam gerak yang diangkat dari kegiatan pertanian adalah ragam gerak basiang (membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sela-sela pohon padi yang masih dalam pertumbuhan), manyabik(memotong batang padi yang sudah masak dengan menggunakan sabit), mairiak(merontokan gabah dari tangkainya dengan menggunakan gesekan-gesekan telapak kaki) dan maangin (memisahkan gabah yang bernas dengan yang hampa). Ragamgerak yang diangkat dari kegiatan mencari ikan adalah ragam gerak serakan-jalo (melemparkan jala ke sungai untuk menangkap ikan), ragam yang berasal dari gerak binatang adalah ragam galuik ramo-ramo (kupu-kupu bergelut) dan alang tabang(meniru gerak elang yang sedang menari-nari). Ragam yang berasal dari kebiasaan silat adalah ragam antak siku (menyerang dengan menggunakan siku), bagolek(bergulingan), mainjak piriang (menginjak piring yang di jejerkan) dan galombangsebagai gerak penghubung yang berasal dari gerak menangkis dan menyerang. Ragam gerak ini dianalisis dengan menggunakan perspektif kajian teori sebagaimana yang telah dikemukakan di atas sehingga dikelompokkan dalam: sikap tubuh, tipe transisi, dominasi bagian badan yang aktif dan bentuk-usaha (body attitudes, type of transition, number of active body part, and effort-shape).
3.2Â Sikap Tubuh (Body Attitudes) Sikap tubuh menunjukan suatu sikap dasar berdiri dan dari posisi tersebut segala aktivitas dan langkah dikembangkan (Lomax, l978: 236). Dengan mengetahui sikap tubuh yang paling sering digunakan pada tari ini bisa dicermati pola aktivitas, karena sikap tubuh merupakan pola dasar bagi pendukung budaya. Aktivitas apapun yang mereka lakukan, juga nampak pada pola dasar itu dan terlihat dari sikap tubuhnya yang telah mengkristal dalam kegiatan keseharian mereka. Tari Piriang Suluehsebagai salah satau cerminan perilaku masyarakat, juga menampilkan sikap tubuh yang selama ini mereka miliki, hayati, dan biasakan. Akhirnya, dengan mengamati sikap tubuh yang dominan dalam tari ini maka dengan mudah dapat diketahui dan dipahami pekerjaan mereka yang dominan sehari-hari.
Berdasarkan observasi terhadap tari Piriang Sulueh ini maka dapat dikemukakan bahwa sikap tubuh yang tetap atau konsisten muncul dari setiap ragamgeraknya adalah selalu memperlihatkan posisi badan dekat ke tanah, penari merendahkan tubuhnya dengan tekukan lutut (pitunggue) sekaligus sikap tubuhnya condong ke depan. Hal ini terlihat dengan jelas dan mudah pada ragam gerak antak siku, basiang, manyabik, maiiriak dan galuik ramo-ramo.
Bila gambaran sikap tubuh di atas dikaitkan dengan pola aktivitas masyarakat Pariangan yang pekerjaan pokoknya adalah petani dapat diketahui bahwa sikap tubuh yang diperlihatkan pada tari Piriang Sulueh ini sangat sepadan dengan pekerjaan yang mereka lakukan di sawah. Sikap tubuh yang diperlihatkan betul-betul kristalisasi dari pola aktivitas mereka. Di samping sejalan dengan sikap tubuh yang ada dengan pola aktivitas tersebut, juga nama ragam geraknya dominan menggunakan gerak tiruan dari masyarakat yang melakukan kegiatan bercocok tanam di sawah.
Akhirnya, dapat dikemukakan temuan bahwa keakraban petani dengan pekerjaan bercocok tanam terlihat dari sikap tubuh yang dekat ke tanah, sebagaimana terdapat pada tari kelompok etnik di Afrika yang disebut Hanna (l98l: 42) sebagai tari yang berkaitan dengan kehidupan pertanian maka dominasi gerak yang berorientasi ke arah tanah sangat kuat, dengan badan condong ke depan, pinggul miring dan lutut ditekuk. Nampaknya sikap tubuh yang demikian juga telah ditemukan oleh beberapa peneliti lain di antaranya Sedyawati (199l) di Saningbaka Solok, Asriati (1994) terhadap tari Piring Golek nagari Lumpo Pesisisr Selatan, Gusti (1991) dan Jamal dkk (199l) di beberapa nagari di Kabupaten Pariaman, Pasaman, Pesisir Selatan, Solok, Sijunjung, Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota.
3.3 Tipe Transisi (Type of Transition) Tari Piriang Sulueh yang terdapat di Pariangan memiliki tipe transisi yang bermacam-macam, namun dari semua tipe transisi itu ada tipe yang dominan. Sesuai dengan pendapat Lomax (1978: 240) bahwa setiap budaya cenderung memiliki bermacam-macam tipe transisi, tetapi ada satu tipe atau satu klaster tipe yang dominan. Berdasarkan observasi yang dilakukan berulang-ulang bahwa tipe transisi yang terdapat dalam tari Piriang Sulueh ini adalah : (l) transisi jungkir balik ke samping kiri secara terus menerus terlihat pada ragam gerak bagolek di atas piring, (2) transisi melompat dan membelok terlihat pada ragam gerak mairiak, (3) transisi berputar sederhana dan berputar penuh dengan cepat terlihat pada ragam gerak serakan-jalo, (4) transisi membelokkan badan ke samping kiri dan ke samping kanan sambil memutar kedua tangan membuat figur angka delapan bergantian, dilakukan dari arah samping kiri membelok ke samping kanan dan belok lagi ke samping kiri terlihat pada ragam gerak basiang, (5) transisi memutar kedua tangan yang secara bergantian membuat figur delapan, sambil melangkah maju turun-naik terlihat pada ragam gerak galuik ramo-ramo. Semua transisi di atas termasuk transisi yang rumit.
Transisi yang kurang rumit dibandingkan dengan transisi di atas adalah : (l) transisi tangan yang kaku diiringi dengan kaki yang kaku ke arah samping kanan terlihat pada ragam gerak manyabik, (2) transisi membelok sederhana atau zigzag sederhana ke depan diiringi dengan transisi tangan dari siku-siku kiri ke siku-siku kanan dan sebaliknya, terlihat pada ragam gerak antak siku, (3) transisi bentuk spiral ke depan terlihat pada ragam gerak alang tabang. Adapun transisi sederhana hanya terlihat seolah-olah melompat-lompat kecil dan melangkah hati-hati ke depan sambil menginjak piring, terlihat pada ragam gerak mainjak piriang. Terakhir transisi samar-samar atau tidak jelas terlihat pada ragam gerak maangin.
Sejalan dengan tipe-tipe transisi tari Piriang Sulueh di atas, Lomax (l978:240-243) mengemukakan bahwa setiap tari memungkinkan memiliki tipe-tipe transisi: (l) samar-samar (vague), (2) simple reversal yaitu transisi pemutaran sederhana, garis edar aksinya hanya mengulang kembali garis yang sama terus menerus, (3) cyclicyaitu aksi melingkar dengan mengulang kembali bundaran atau jalan edar seperti kurva, contohnya mengengkol motor, (4) angular yaitu gerak kaku dengan pola siku-siku, (5) rotation yaitu aksi berputar, (6) curved yaitu aksi membelok dan (7) loopedyaitu aksi jungkir balik. Kecuali aksi jungkir balik (looped) maka semua tipedimasukkan ke dalam klaster one or two-dimensional. Khusus tipe looped dan yang menggunakan dua tipe transisi yang two-dimensional sekaligus, dapat dimasukkan ke dalam klaster three-dimensional. Tipe transisi tiga dimensi dilihat pada segi keruangan. Selain looped, gerakan lengan dan tungkai yang dilakukan dengan gerak spiral, tangan-tangan yang berhadapan secara asimetris, serta gerakan pergelangan tangan dengan liku-liku geraknya juga dimasukkan pada klaster tiga dimensi.
Walupun semua tipe transisi yang dikemukakan Lomax di atas terdapat pada tari Piriang Sulueh, namun yang dominan adalah transisi yang berada pada klaster tiga dimensi atau menggunakan lebih dari satu tipe transisi yang termasuk pada klaster satu atau dua dimensi. Semuanya dapat dikatakan sebagai transisi yang rumit. Bartenieff dan Paulay (l98l: 33) mengatakan bahwa transisi yang menggunakan pendekatan tiga dimensi yang rumit mencirikan masyarakat pendukungnya sebagai masyarakat agraris. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa pendukung tari Piriang Sulueh adalah masyarakat agraris. Hal ini dipertegas dengan transisi figur delapan yang secara kualitatif menjadi kebanggaan dari pertunjukkan ini. Observasi tentang daerah Pariangan menunjukkan masyarakat agraris yang mengutamakan bercocok tanam secara turun temurun sebagai pekerjaan pokok mereka. Jadi, dilihat dari tipe transisi, sebagai elemen gaya tari Piriang Sulueh yang dipertunjukkan maka tari ini merupakan kristalisasi dari pola aktivitas masyarakat Pariangan sebagai masyarakat agraris yang bercocok tanam.
3.3Â Jumlah Bagian Tubuh yang Aktif (number of active body part) Jumlah bagian tubuh yang aktif juga merupakan cerminan kehidupan sehari-hari masyarakat pendukung suatu tari (Lomax, l978:243). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagian anggota tubuh yang aktif dalam melakukan tari Piriang Sulueh tersebut, berarti dalam kehidupan sehari-hari mereka juga sering menggunakan bagian tubuh tersebut.
Penggunaan bagian tubuh dalam suatu tari sangat penting, karena bagian tubuh digunakan sebagai instrumen ekspresif. Tubuh sebagai instrumen ekspresif dipilahkan ke dalam empat bagian yaitu: kepala, badan, tangan dan kaki (Suharto, l987: l5). Keempat bagian tubuh ini masih bisa dibagi ke dalam sub-sub bagiannya masing-masing, seperti tangan terdiri dari lengan atas, lengan bawah, tangan, dan jari. Kaki terdiri dari tungkai atas, tungkai bawah dan kaki.
Berdasarkan bentuk tari Piriang Sulueh dan ragam geraknya yang diamati secara hati-hati maka dapat diketahui bahwa bagian tubuh yang terlihat dalampenampilan tari ini adalah tangan, kaki, badan, dan kepala. Masing-masing bagian tubuh ini dideskripsikan terlebih dahulu supaya dipahami bagaimana bentuk geraknya berdasarkan ragamnya. Temuannya adalah sebagaimana berikut ini.
Keterlibatan tangan pada tari ini terlihat pada ragam gerak antak siku, basiang, manyabik, mairiak, maangin, galuik ramo-ramo, alang tabang dan serakan jalo, kecuali pada ragam gerak bagolek. Pada tari ini terdapat gerakan khusus untuk gerakan tangan (pergelangan tangan sampai ke jari) yang selalu memegang piring, yaitu adanya tekanan-tekanan gerak tertentu serta pemutaran pada pergelangan tangan dan juga gerakan jari telunjuk yang selalu dijentikkan ke dasar piring, seiring dengan irama iringannya, sementara jari yang lain tetap memegang dasar piring tersebut.
Keterlibatan kaki terlihat pada semua ragam gerak kecuali pada ragam gerak yang disebut bagolek. Khusus pada ragam gerak mairiak dan mainjak piriang terlihatbahwa gerak kaki lebih dominan. Pada kedua ragam ini gerak kaki dilakukan penari sepenting gerak tangan.
Keterlibatan badan atau torso pada tari ini secara jelas mengikuti arah gerak tangan maupun kaki. Pada umumnya sikap badan selalu condong ke depan kecuali pada ragam gerak maangin dan mainjak piriang, pada kedua ragam ini hanya terlihat condong sedikit saja. Khusus pada ragam bagolek badan yang menjadi sentral gerak atau patokan yaitu badan digulingkan ke arah samping kanan di atas piring yang berjejer sedangkan pada ragam gerak serakan jalo seluruh tubuh ikut terlibat.
Keterlibatan kepala dan mata yang selalu mengikuti ke mana gerakan tangan terlihat jelas pada ragam gerak galuik ramo-ramo, basiang, manyabik dan serakan jalo, sedangkan pada ragam gerak maangin dan mainjak piriang keterlibatan kepala hampir tidak ada karena pandangan selalu menghadap lurus ke depan. Pada gerak-gerak penghubung yang bersifat spontan nampaknya penari lebih banyak melihat ke bawah. Berdasarkan perbandingan data keterlibatan tangan, kaki, badan dan kepala di atas maka dapat ditemukan bagian tubuh yang paling aktif dalam tari Piriang Sulueh tersebut secara berurutan yaitu: yang paling aktif adalah tangan dan diikuti oleh gerak kaki, kepala dan bagian badan. Kemudian gerak yang paling banyak variasinya juga terdapat pada keterlibatan tangan. Makna dari data keterlibatan tangan yang paling aktif dan bervariatif ini adalah bahwa masyarakat Pariangan dalam tarinya sejalan dengan kebiasaan mereka bergerak dalam mengolah sawahnya, mulai dari awal sampai panen selalu melibatkan tangan sebagai pusat gerak dalam aktivitasnya. Adapun kaki adalah sebagai gerak pendukung dalam menjalankan pekerjaan sawah mereka. Khusus dalam mairiak padi atau merontokan gabah dari tangkai padi yang telah disabit gerakan kaki adalah dominan.
Konsistensi menggunakan tangan sebagai pusat gerak juga terlihat jelas pada peniruan gerak binatang dalam ragam gerak galuik ramo-ramo dan ragam gerak alang tabang, artinya walaupun mereka tidak meniru gerak manusia tetapi tetap saja meniru gerak binatang yang bisa diperankan oleh tangan sehingga mereka tidak kaku dan geraknya mengalir tanpa latihan gerak yang intensif. Untuk itu, bagi penari yang tidak terlatih melakukan pekerjaan sawah tersebut akan merasa canggung dan sulit menguasai ragam gerak tari Piriang Sulueh Pariangan. Bagi siswa di sekolah yang tidak berasal dari keluarga petani juga terlihat sulit menguasai ragam gerak ini dengan halus. Akhirnya dapat dirumuskan bahwa memang terbukti gaya tari Piriang SuluehPariangan dilihat dari kacamata jumlah anggota tubuh yang aktif sangat ditentukan oleh pola aktivitas pertanian yang selama ini menjadi kehidupan pokok mereka di Pariangan.
3.5 Bentuk dan Usaha (effort-shape) Bentuk adalah penyesuaian gerak yang dilakukan oleh seorang penari dengan ruang sekitarnya, sedangkan usaha adalah cara energi gerak dimodulasi untuk menghasilkan kualitas ritme dalam gerak. Untuk mengkaji bentuk dalam tari perlu dipedomani elemen horisontal, vertikal, sagital, dan aliran sedangkan elemen usaha yang perlu dikaji adalah elemen ruang, tenaga, waktu, dan aliran Lomax (l978: 244). Sebagaimana telah dikemukakan Lomax dalam kajian teori, bahwa untuk mengukur tari sebagai ukuran budaya, tidak menganalisis langkah demi langkah tetapi kualitas dinamika melalui bentuk-usahanya. Lebih lanjut dijelaskan Lomax, bahwa untuk menilai semua elemen usaha perlu melihat jumlah elemen yang terlibat, dan macam kombinasinya. Cara menghubungkannya dengan kegiatan masyarakat adalah dengan melihat salah satu usahanya yang dominan, artinya usaha tersebut mencerminkan secara persis aktivitas masyarakat. Sedangkan bentuk perlu dilihat kesederhanaan penggunaan tungkai dan lengan serta penggunaan secara utuh dalamelemen yang dikombinasikan.
Berdasarkan bahasan gerak tari Piriang Sulueh, dapat dilihat bahwa elemen usaha yang terdapat dalam Tari ini adalah elemen ruang, waktu, tenaga, dan aliran. Elemen ruang di mana pusat perhatian adalah pada gerak yang membentuk ruang dan dapat dilihat dari dua macam gerak yaitu gerak langsung atau sejajar dan gerak yang tidak langsung, fleksibel, atau bergelombang. Gerak yang dilakukan langsung terlihat pada ragam gerak maangin, mainjak piriang, dan alang tabang; gerak tidak langsung terlihat pada ragam gerak antak siku, basiang, mairiak, galuik ramo-ramo, bagolek, dan serakan jalo; gerak kombinasi langsung dan tak langsung terlihat pada ragam gerak manyabik.
Elemen tenaga ada dua macam yaitu berat dan ringan. Suatu gerak dapat dikatakan berat apabila menciptakan pengaruh kuat terhadap keadaan sekitar sedangkan ringan menggambarkan kelembutan atau sensitivitas yang disengaja dalamhubungannya dengan lingkungan. Gerak pada tari ini yang dilakukan dengan kuat, terlihat pada ragam gerak basiang, mairiak, bagolek, galuik ramo-ramo; yang ringan terlihat pada ragam gerak antak siku, manyabik, mainjak piriang, dan alang tabang; yang kombinasi terlihat pada ragam gerak serakan jalo.
Elemen waktu juga dua macam yaitu tiba-tiba (cepat) dan terus menerus. Tiba-tiba (cepat) maksudnya adalah gerak dengan aksi cepat dan seketika, sedangkan terus menerus adalah gerak yang lambat dalam mencapai titik henti. Gerak yang cepat padatari ini terlihat pada ragam gerak mairiak, galuik ramo-ramo, manyabik, maangin, mainjak piriang, dan bagolek; yang terus menerus terlihat pada ragam gerak alang tabang, basiang; kombinasi cepat dan terus menerus terlihat pada ragam gerak serakan jalo.
Elemen aliran atau alunan usaha adalah sifat gerak yang mengalir kontinuitas atau berurutan. Ada dua karakteristik yaitu bebas dan terikat. Bebas atau lancar berarti gerakan yang sukar dihentikan dengan tiba-tiba. Alunan usaha pada tari ini umumnya terlihat bebas, kecuali ragam gerak maangin, dan serakan jalo yang dilakukan dengan kombinasi.
Dari elemen usaha yang telah diuraikan di atas, maka jumlah elemen yang terlihat adalah elemen ruang, elemen tenaga, elemen waktu, dan elemen aliran, sedangkan macam kombinasi yang terlihat pada tari ini adalah tak langsung, ringan, cepat, dan bebas. Salah satu usahanya yang dominan adalah sifat bebas yang terdapat pada elemen aliran.
Penggunaan tungkai dan lengan pada umumnya terlihat ketika penari melakukan lipatan, penggunaan elemen horizontal terlihat pada ragam gerak manyabik, bagolek; Vertikal terlihat pada ragam gerak basiang, mairiak, galuik ramo-ramo; frontal terlihat pada ragam gerak mainjak piriang. Penggunaan kombinasielemen horizontal dan vertikal terlihat pada ragam gerak antak siku, alang tabang, serakan jalo.
Apabila kualitas bebas sebagai salah satu usaha yang dominan dalam tari, dikaitkan dengan pola aktivitas sehari-hari masyarakat maka dapat dikatakan bahwa gerak yang dilakukan dalam tari ini mencerminkan pertanian bercocok tanam yang sering mereka lakukan. Bartenieff dan Paulay (1981: 33-34) mengatakan bahwa kebebasan mengolah sawah secara luas dalam membentuk dan menyambung perbedaan fase ruang suatu kegiatan terdapat pada cara menanam dalam pertanian.
4. Simpulan dan Saran 4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Pariangan yang petani, akrab dengan pekerjaannya sebagai petani bercocok tanam, tercermin dari sikap tubuh penari Piriang Sulueh yang condong dan dekat ke tanah. Tipe transisi tari Piriang Sulueh yang rumit, merupakan kebiasaan masyarakat Pariangan yang agraris dalam pengolahan pertanian di sawah. Tangan sebagai bagian tubuh yang sering digunakan setiap hari dalam aktivitas pertanian masyarakat Pariangan, terlihat jelas pula dalam tari Piriang Sulueh. Bentuk-usaha yang dilakukan dalam tari Piriang Sulueh adalah bebas dan tidak langsung adalah menandakan kehidupan masyarakatnya sebagai petani. Jadi, dapat dikatakan bahwa tari Piriang Sulueh adalah tari yang mengekspresikan pola aktivitas masyarakatnya yang sering dan dominan setiap hari. Gayanya baru terekspresikan secara halus dan bermakna bila dilakukan oleh penari yang betul-betul mengetahui, menghayati dan membiasakan gerak-gerak yang relevan dengan gerak yang ada dalam pola aktivitas pertanian tersebut, yang mendasari ragam gerak tari ini.
4.2 Saran Berdasarkan simpulan tersebut disarankan bahwa pegiat tari, pelatih dan pengajar tari tradisi, dalam hal ini tari Piriang Sulueh, diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan untuk melakukan stilisasi yang segaya dengan pola aktivitas masyarakatnya yang agraris, petani yang bercocok tanam di sawah, sebagai gaya tari ini dari segi kontekstualnya. Kemudian, bagi pengembang dan pencipta tari kreasi yang berbasiskan tari tradisi disarankan pula supaya dapat menjadikan hasil kajian kontekstual ini sebagai basis pengembangan ekspresi tari yang tidak tercerabut dari akar budaya masyarakatnya. Pustaka Acuan
Allee. J. G. 1958. Webster’s Dictionary. New York: G & C.
Asriati, Afifah. 1994. “Tari Piring Sulueh di Nagari Pariangan: Suatu Kajian Gaya†. Skripsi. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.
Bartenieff, I dan Paulay,F. 1981. “Tari Sebagai Ekspresi Budayaâ€. Dalam Martin Haberman dan Tobie Meisel. Tari Sebagai Seni di Lingkungan Akademi.Terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Gusti, Adriana. 1991. “Tari Piring Sulueh di Nagari Pariangan Padangpanjang (Ditinjau dari Bentuk Geraknya)â€. Laporan Penelitian,. Padangpanjang:Akademi Seni Karawitan Indonesia.
Hanna, Y. L. 1981. “Tari dan Ilmu Ilmu Sosial: Sebuah Titian Ekskalasi Visiâ€, dalam Martin Haberman dan Tobie Meisel, Tari Sebagai Seni di Lingkungan Akademi. Terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Jamal, Mid.,dkk. 1992. “Penyajian Tari Piring Tradisional Minangkabau (Suatu Studi Deskriptif Interpretatif)â€. Laporan Penelitian. Padangpanjang: Akademi Seni Karawitan Indonesia.
Lomax, Alan. l978. Folk Song Style and Culture. New Jersey: Transaction Broks New Brunswick.
Royce, a. 1977. The Anthropology of Dance. London: Indiana University.
Runes, DD, dan Scrickel HG. l946. Encyclopedia of the Art. New York: Philosophical Library.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. ------------â€, et al. l986. “Tari Sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya“dalam
Fx Sutopo Cokrohamijoyo, et.al. (ed). Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. Jakarta : Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
------------, et.al. 1991. “Tari Sebagai Media Budaya: Suatu Penilaian Perkembangan di Minangkabau†Laporan Penelitian. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ditjen Kebudayaan Departemen P&K.
Suharto, Ben . 1987. “Pengamatan tari Gambyong Melalui Pendekatan Berlapis Gandaâ€. Medan: Kertas Kerja dalam Temu Wicara Etnomusikologi III. 17
Sumber: www.depdiknas.go.id
Trackback(0)
|