Tak banyak yang tahu pasti asal muasal masyarakat Minang yang telah memukau para antropolog dunia dengan adat matriarchate-nya. Jika melihat ciri fisik orang Minang, banyak yang bilang mereka berasal dari Melayu. Tapi ada juga versi bahwa mereka keturunan Alexander the Great. Mana yang benar? Entahlah...
DARI PARIANGAN HINGGA PADANG PANJANG Walaupun fakta sejarah tidak menunjukkan bahwa Alexander the Great adalah Raja Iskandar Zulkarnain yang disebutkan dalam AI-Qur'an, namun karena plot cerita memiliki lokasi yang mirip, yaitu 'tempat terbenamnya matahari', maka sebagian besar orang beranggapan demikian. Yang jelas, urang awak memang lebih memihak pada versi ini. Ceritanya, Raja Iskandar berlayar dengan ketiga putranya, Sri Maharaja Diraja, Sri Maharaja Alif dan Sri Maharaja Dipang. Karena bertengkar memperebutkan mahkota, ketiga pangeran ini terpecah-belah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayaran ke barat dan berkuasa sampai ke Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang beralih ke timur untuk menguasai Cina dan Jepang. Sedangkan Sri Maharaja Diraja berlabuh di kaki Gunung Merapi dan menetap di sebuah tempat bernama Galundi nan Baselo.
Waktu berselang, Galundi Nan Baselo kemudian dipimpin oleh keturunan Sri Maharaja Diraja, yaitu Suri Dirajo. Alkisah, suatu hari datanglah seorang raja dari tanah Hindu, Sang Sapurba. Raja ini bergelar 'Rusa Emas' karena mahkota emasnya yang bercabang-cabang. Beliau lalu menikahi adik Suri Dirajo bernama Indo Julito. Karena beragama Hindu, dia juga mendirikan tempat ibadah yang sampai saat ini masih bernama Pariangan, yang artinya per-Hyang-an atau tempat menyembah Hyang. Nama Galundi Nan Baselo akhimya tergantikan dengan Pariangan.
Pariangan makin lama makin ramai. Sang Sapurba pun menyuruh seorang hulubalang mencari tanah bare untuk dijadikan tempat pemukiman. Hulubalang ini dibekali dengan sebuah pedang panjang. Di tanah yang baru, dia kerap menyandarkan pedang panjangnya di batu besar saat ia sedang bekerja. Karena itulah tempat ini sampai sekarang dinamakan Padang Panjang, sementara pusat kerajaan tetap di Pariangan. Inilah awal dari masa Kerajaan Minangkabau dan sejak itu juga ditetapkan aturan adat Minangkabau yang diamalkan hingga sekarang.
KERBAU YANG MENANG Asal kata Minangkabau mempunyai legenda tersendiri. Konon, orang-orang Majapahit ingin mencoba kecerdasan dan kecerdikan masyarakat Minang. Mereka datang membawa kerbau bertanduk panjang untuk diadu dengan kerbau Minang. Kerbau ini besar sekali, hanya sedikit lebih kecil dari seekor gajah! Namun orang Minang tak gentar. Mereka justru menyiapkan seekor anak kerbau yang masih menyusui dan berukuran jauh lebih kecil dari kerbau Majapahit tersebut.
Beberapa hari menjelang pertandingan, si anak kerbau dipisahkan dari induknya agar tidak bisa menyusui. Saat hari pertandingan tiba, sebuah pisau yang sangat tajam diikatkan di moncong anak kerbau ini. Dan si anak kerbau yang sudah sangat kehausan segera menyeruduk ke bawah perut kerbau Majapahit itu, menyiduk nyiduk hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit dan ia mati kehabisan darah. Orang-orang Majapahit memprotes dan menganggapnya sebuah kecurangan. Tapi dengan tenang para datuk pemimpin masyarakat berkata bahwa orang Majapahit tidak mengajukan syarat apapun sebelum mengadakan pertandingan. Akhirnya orang Majapahit mengakui kekalahannya. Peristiwa ini membawa kemahsyuran orang Minang ke mana-mana. Dan sejak itulah, wilayah kekuasaan penduduk di kaki Gunung Merapi ini disebut Minangkabau yang berarti kerbau yang menang. Atap rumah mereka pun dibentuk seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan.
SAIYO SAKATO Sejak dulu, masyarakat Minang memegang teguh prinsip-prinsip adat. Namun kalau dirangkum, adat mereka sebenarnya berpegang pada satu pedoman, yaitu saiyo sakato (seiya sekata - red.) yang melambangkan prinsip hidup yang selalu sekata, sependapat dan semufakat. Dengan pedoman ini, semua perbedaan pandangan diselesaikan secara musyawarah, kendati menyangkut urusan pribadi. Karena itu, kehidupan sesuku sangat erat. Jarak antara 'kau' dan 'aku' hampir tak ada. Istilah `awak' yang berarti 'kau' dan bisa juga berarti 'aku', menggambarkan kedekatan ini.
Sistem matriarchate atau matrilineal yang mereka anut berawal dari kesadaran akan hubungan batin antara ibu dan anak-anaknya. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena laki-laki dalam masyarakat Minang dianjurkan untuk merantau, mencari rezeki di tanah orang. Sebuah pantun Minang berkata, "hilang rano dek panyakik, hilang bangso indak barameh" yang artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin. Karena itu, merantau dan bekerja keras mencari kekayaan adalah cara untuk menghindarinya. Hubungan batin ibu-anak serta kealpaan laki-laki dalam keluarganya menyebabkan posisi kepala keluarga dipegang oleh perempuan. 'Garis keturunan' sejak itu diperhitungkan menurut 'garis ibu' dan terbentuklah tatanan unik ini.
MINANG MODERN Sayangnya, tatanan ini mulai terkikis. Beberapa tradisi yang menjadi bukti penting dari sistem tersebut mulai ditinggalkan, seperti tradisi lamaran di mana pihak keluarga perempuan datang melamar calon mempelai pria. Begitu juga tradisi pengambilan keputusan akhir yang biasanya dipegang oleh perempuan sebagai kepala keluarga dan pembagian warisan yang hanya jatuh ke anak-anak perempuan juga mulai dilupakan. Dengan alasan agama, mereka kini lebih mengikuti tradisi Islam dengan tatanan umum yang sama dengan sebagian besar masyarakat dunia, yaitu lakilaki sebagai poros sentralnya. Padahal sistem matrilineal yang tak henti-hentinya menjadi obyek penelitian dan kekaguman pakar-pakar antropologi ini hanya ada di dua kawasan di dunia, di Sumatera Barat sendiri dan Madagaskar.
Orang Minang, apalagi di Padang dan Bukittinggi, kini merangkul gaya hidup modern seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mereka yang kembali dari rantau serta peranan masa penjajahan Belanda juga turut mempengaruhi perubahan ini. Tentu saja tak semuanya negatif. Banyak juga pengaruh positif, terutama peluang untuk perkembangan berbagai industri, termasuk pariwisata. Berkat itu pula, Sumatera Barat tercatat di Departemen Kebudayaan clan Pariwisata sebagai salah satu dari sepuluh Daerah Tujuan Wisata (DTW) utama di tanah air ini.
Terlepas dari fakta bahwa masyarakat Minang mulai mengadopsi sistem kekerabatan yang lebih universal clan membuka diri terhadap beragam pembaharuan dalam hidup mereka, adat matrilineal masih tetap dipertahankan walaupun maknanya lebih sempit. Keturunan memang masih diperhitungkan menurut 'garis ibu', namun peranan ibu dan keluarganya atau ninik mamak yang seharusnya sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan clan kesejahteraan keluarga, kini hanya tinggal sebatas `forum konsultasi' saja. Prinsip 'saiyo sakato' juga masih dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat maupun berkeluarga di Ranah Minang.
Sumber :
This e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
Trackback(0)
|