Kehidupan tradisional masyarakat Ranah Minang dituturkan ringan lewat teater Randai. Sanggar Randai Sumarak Rumah Gadang dari Desa Air Manggis, Pasaman, mencoba mempertahankan budaya leluhur.
Pasaman: Suasana di Desa Air Manggis, Pasaman, Sumatra Barat, tampak tenang, Pagi itu. Sekumpulan petani terlihat mulai berangkat ke sawah. Sesekali bunyi saluang--seruling tradisional Ranah Minang, terdengar dari kejauhan. Bagi mereka, meniup saluang sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Maka tak heran, bakat alam penduduk Desa Air Manggis dalam kesenian sudah tampak dari anak-anak.
Talenta itu tentu saja tak bisa disia-siakan. Adalah rumah seni tradisional Randai Sumarak Rumah Gadang yang dibangun Rayendra Kari Sati, lima tahun silam. Di sanggar itulah ia mengembangkan seni budaya Minang yang mulai tersingkir. Ilmu silat, menabuh rebana, dan teater Randai, misalnya. Banyak juga pemuda ikut berlatih silat di sana. Maklumlah, buat mereka, bela diri adalah simbol kejantanan. Kaum hawa lebih tertarik menekuni seni teater Randai. Karena Randai lebih memadukan tiga unsur seni, yaitu nyanyian, tari (ragam gerak pencak silat), dan akting.
Biasanya, mereka berlatih selepas salat Isya di halaman surau, sekaligus menghibur warga yang baru pulang bekerja. Belakangan berkat ketekunan berlatih, nama teater Randai dari Desa Air Manggis cukup tersohor di wilayah Pasaman. Mereka kerap diundang pejabat yang hendak menggelar hajat. Pekan ini, Randai Sumarak Rumah Gadang juga diminta datang ke perkawinan anak seorang pejabat Pasaman. Untuk itu, Rayendra giat melatih anak asuhannya.
Uniknya, Rayendra selalu memilih tempat terpencil untuk berlatih. Alat-alat musik pengiring, seperti katindik, tasa, dan giri-giriang ikut diangkut ke sana. Rupanya, ia ingin merahasiakan cerita Randai sebelum dipentaskan di hadapan tamu. "Ini pementasan penting," kata Rayendra, tersenyum. Saking khususnya, dia-lah yang membuat naskah cerita dalam beberapa babak. Setiap babak akan diselingi permainan silat para pemagar.
Tibalah malam pementasan. Seluruh anggota Randai Semarak Rumah Gadang sibuk merias diri di rumah Rayek sebelum dijemput. Tetamu pun mulai memadati tempat perhelatan. Menjelang tengah malam, Rayek dan kawan-kawan baru naik pentas. Meski begitu, para tamu belum juga beranjak dari kursi. Rupanya, mereka tertarik untuk menonton pertunjukkan Randai yang dipuji-puji si tuan rumah.
Gendang bertalu-talu mengawali Randai kisah Siti Nurbaya di zaman moderen dengan bumbu perebutan harta pusaka, saat itu. Ceritanya, Siti Jauhari dipaksa memutuskan kekasihnya Sutan Budiman lantaran dijodohkan dengan Malenggang Dunie oleh sang ayah Sutan Bandaro. Alasannya, agar harta keluarga tak pindah ke tangan orang lain. Siti Jauhari pun menolak dijodohkan. Akhirnya, ia nekat kawin lari dengan Sutan Budiman dan hidup bahagia. Sistem matrilineal itulah yang ingin dikritik serta menjadi rahasia Rayendra. Sebab, hingga kini, di Tanah Minang, seorang mamak masih mewajibkan mengawinkan seorang kemenakan dengan anak perempuannya. Padahal, tradisi itu sekarang tak bisa dipaksakan karena zaman sudah berubah.
Diselingi dialog bernada guyon, Rayendra ternyata mampu menghipnotis tamu sampai pertunjukkan usai. Ini membuktikan bahwa meski dikalahkan kesenian moderen, Randai tumbuh secara alami dalam lingkungan masyarakat Minang tanpa membedakan golongan. Jadi, pepatah Minangkabau yang berbunyi kesenian Minang mambusek dari bumi dan manitik dari langik memang benar adanya.(KEN)
Sumber : www.liputan6.com
Trackback(0)
|