Home
Daftar Anggota
Galleri
Resep
Restoran Minang
Games
Download
Kamus Minang
Chat
Bursa Iklan
Radio Online
Weblink
SPTT Cimbuak
Cimbuak Toolbar
Menu Situs
Berita
Artikel
Prosa
Tokoh Minang
Adat Budaya
Agama
Kolom Khusus
Pariwisata
Berita Keluarga
Giring2 Perak
Berita Yayasan
Pituah

Kok diajak urang pasupadan
Kok dialiah urang kato pusako
Kok dirubah urang kato dahulu
Jan cameh nyawo malayang
Jan takuik darah taserak

Milis Minang
Rantaunet
Surau
Aktivis Minang
Media Padang
PosMetro Padang
Advertisement
BAB V Adat Perkawinan (2)
Written by Admin   
Monday, 25 July 2005
4. urang Sumando

Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem "matri-local" atau lazim disebut dengan sistem "uxori-local" yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya.

Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai "tamu terhormat", tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan "abu diatas tunggul", dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya.

Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara "japuik menjapuik", yang berlaku dalam perkawinan adat Minang.

Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;

sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak

Datang dek bajapuik

pai jo baanta

Ayam putieh tabang siang

Basuluah matoari

Bagalanggang mato rang banyak.

Indonesia :

(Tangga mencari enau)Â Â Â Enau tetap tangga berpindah

Datang karena dijemput

Pergi dengan diantar

(Bagaikan) Ayam putih terbang siang Bersuluh matahari

Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak.

Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang "semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya."

Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang.

Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh.

Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.

Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan).

Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal.

Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya.

Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya.

Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri.

Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka.

Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri.

Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai "Rang Sumando Niniek-mamak", karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri. Namun sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka itu.

"Rang Sumando" yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana disebut dengan "Rang Sumando" langau-Hijau atau "Rang Sumando" Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat) dimana-mana.

"Rang Sumando" yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya diberi gelar "Rang Sumando Kacang Miang", yaitu sejenis kacang-kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal.

Di Minangkabau berlaku pepatah "Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan ". Kalau seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai "Rang Sumando lapiak Buruak", yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya.

Bagi suami atau "Rang Sumando" yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka "Rang Sumando" yang demikian itu mendapat gelar "Rang Sumando apak paja", yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi "orang pandie" di rumah istrinya.

Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak.

Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. "Rang Sumando", bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai "Rang Sumando Gadang Malendo", yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.

Â

Â

(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

Â

Â

Â

Â

Â

Trackback(0)
Comments (1)

maksah said:

Topik ini sangat menarik dibicarakan karna di jaman kini situasi dan peranan urang sumando sudah banyak berubah seiring perubahan zaman. Hal yang sama amat dirasakan di lingkungan adat di Negeri Sembilan. Tanah adat tidak boleh dimajukan kerana ia kepunyaan suku tertentu sehingga terbiar begitu sahaja apabila urang sumando (dialek N9: orang mondo) berhijrah membawa keluarganya ke luar lingkungan adat untuk jaminan penghidupan yang lebih baik.

Tanggungjawab mendidik dan memakmurkan keluarga terletak sepenuhnya di bahu suami (asalnya urang sumando). Makanya peranan niniak mamak semakin luntur. Yang diutamakan oleh urang sumando ialah membesarkan anak dalam situasi kondusif supaya nanti anak bisa berdikari dan membahagiakan keluarga.

Wallah hualam
 
report abuse
vote down
vote up
September 22, 2010
Votes: +0

Write comment
You must be logged in to a comment. Please register if you do not have an account yet.

Last Updated ( Monday, 25 July 2005 )
 
< Prev   Next >




Member Area
Status Radio
Radio Online Minang
Yayasan Palanta Cimbuak
Yayasan Palanta Cimbuak
Dari Awak, Oleh Awak, Untuak Kampuang
Nio berpartisipasi? Silakan klik disiko
Cimbuak Features

Cimbuak Chat


Cimbuak Chat


Free Email


Free Email
Yayasan Cimbuak
Situs Terbaik
Online Sekarang
We have 15 guests and 6 members online
Generated in 0.89322 Seconds