Randai adalah keindahan. Adalah derai air mata. Adalah harapan dan adalah keagungan cinta. Tapi juga kekejaman. Randai adalah simpul khalayan anak Minangkabau yang bisa mewakili generasi ke generasi. Paut memaut rasa cinta, paut memaut kebencian, kekerasan, yang kuat mengalahkan yang lemah. Namun, pada akhirnya yang benar juga yang akan menang.
Randai adalah pesan. Pesan bertutur dalam dendang yang disampaikan lewat kesenian tradisional Minangkabau. Jika ada pertunjukan yang paling mengagumkan sepanjang sejarah tradisional Minangkabau, maka itu pastilah randai. Usianya membentang panjang berabad-abad.
Menurut informasi, randai pada awalnya dimainkan di halaman surau, sebagai perintang-rintang waktu bagi para pemuda. Pemuda yang sesungguhnya sudah punya rasa cinta, memendamnya dalam-dalam di dada, tapi mereka tuangkan dalam kesenian berupa randai.
Dulu, di surau itu, habis mengaji, usai belajar adat, pemuda-pemuda belajar silat. Waktu rehat, mereka memperagakan gerakannya. Kemudian, karena mereka senang bergaul sesamanya, lantas mereka membuat gerakan `rantai' -- satu pesilat dan pesilat lain tidak putus. Karena tak putus, otomatis gerakannya menjadi melingkar. Begitulah, akhirnya, randai sampai sekarang dimainkan dalam gerakan melingkar. Teater Minangkabau ini lantas tak lagi dimainkan di surau tapi di tempat-tempat keramaian.
Randai adalah perpaduan dari sastra, musik, seni suara, seni tari, teater dan pencak silat. Selain itu, juga memuat komedi, dan seni dekorasi. Dalam pesan cerita pastilah ada sejarah, ada kisah dalam Tambo.
Pada umumnya lakon randai dipungut dari cerita rakyat Minangkabau. Rambun pamenan, sebuah randai dari Sungayang, Tanah Datar, misalnya, berkisah tentang seorang anak muda yang mencari ibundanya. Sang ibu ditawan oleh Harimau Tambun Tulang, tukang samun paling kesohor di Bukit Tambun Tulang. Harimau Tambun Tulang, perampok yang makan masak mentah, jatuh cinta pada seorang wanita. Itulah ibu Rambun Pamenan. Kisah akhirnya dapat ditebak, si anak menemukan ibunya dalam penjara batu dengan tangan dirantai. Tidak saja bisa membawa ibunya pulang, tapi ia berhasil membunuh Harimau Tambun Tulang.
Di Padang sendiri, misalnya di Pauh, ada grup randai Tungku Tigo Sajarangan yang diasuh oleh Rusydi Pandeka Sutan. Sebuah kisah bertajuk Kasiah Putuih Dandam Tak Sudah, misalnya. Cerita bergulir, mengisahkan anak gadis (Sari Banilai) menolak keinginan orang tuanya (Datuk Tumanggung Tuo) yang hendak menikahkannya dengan bako -- kemenakan Datuk Tumanggung Tuo -- bernama Malendo Alam. Terjadi konflik hebat di situ. Konflik memang senantiasa tersangkut pada kisah cinta, sesuatu yang memang mengasyikkan untuk ditonton, sebab dituturkan dalam bahasa Minang sehari-hari.
Di Padang saja hari ini, menurut Sekretaris Dewan Kesenian Padang (DKP), Ery Mefri, terdapat 70 grup randai. Sejak 2001, randai telah menjadi agenda khusus DKP. Malah seluruh SLTP di Padang diwajibkan memiliki satu cerita randai dan satu grup randai. Sementara di Sumbar, menurut Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, salah seorang ahli dan pelestari randai, sedikitnya terdapat 300 grup kesenian randai.
Beberapa di antara grup randai tersebut sudah tampil di luar negeri. Misalnya, Grup Palito Nyalo, tampil dalam Pesta Gendang Nusantara di Malaka, Malaysia, 11-16 April 2002. Ada pula tawaran dari Brunei Darussalam untuk menampilkan kesenian randai.
Musra yang akrab disapa Mak Katik, malah mendapat kehormatan diundang sebagai dosen tamu di University of Manoa, Hawaii, selama enam bulan dan bersama mahasiswa mementaskan randai dengan cerita Umbuik Mudo yang dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Profesor di sana menilai kesenian randai tak kalah hebat dan mengagumkan. "Kekagumannya sama besar dengan kekagumam pada karya Williams Shakespeare," kata Mak Katik, mengutip Dr Christine Pauka, yang tesisnya tentang randai.
Pertunjukan randai dibawakan dengan durasi satu sampai tiga jam. Bahkan ada yang lima jam. Pola permainannya, para pemain akan membentuk gerakan melingkar. Mereka bergerak dalam ayunan silat yang indah. Semua pemain laki-laki. Namun, di antara mereka ada yang didandani seperti wanita. Ia akan menyanyi dan berdendang, sekaligus berperan sebagai pemain wanita.
Namun, kemudian pemain wanita tidak lagi diambilalih laki-laki, tapi diserahkan pada wanita. Irama dalam dendang tidak lagi didominasi oleh irama tradisi, tapi banyak yang mencomot irama lagu-lagu dangdut, melayu bahkan pop. "Randai memodernisir dirinya sendiri," kata sastrawan Yusrizal KW.
Dalam sebuah randai ada pemain galombang. Pemain ini melakukan gerak-gerak gelombang yang bersumber dari bunga-bunga silat. Menurut Rusydi N, penilik kebudayaan di Padang, biasanya pemain galombang dipilih tubuhnya yang atletis.
Selain pemain galombang, juga ada pemain naskah. Andalan pemain ini adalah vokalnya yang rancak, karena ia akan berbicara lantang menyampaikan narasi demi narasi yang menjadi ruh cerita randai. Berikut juga ada pemain musik/dendang. Menurut Rusydi, pemain musik memang harus orang yang berbakat, sebab merekalah yang akan memainkan talempong, gendang, serunai, saluang, puput batang padi, bansi, rabab dan lainnya.
Selain itu, keberhasilan sebuah randai juga ditentukan oleh tukang dendang. Tukang dendang (penyanyi) yang tidak piawai, otomatis akan membuat randai kehilangan darah, sebagus apapun cerita yang dibawakannya. Sebaiknya tukang dendang punya suara yang bergetar, beranak dan mendayu panjang.
Ada juga pemain pasambahan, orang yang akan bertindak berbicara atau berdialog dalam petatah-petitih Minangkabau. Pemain ini akan memberi bobot dan pesan moral lewat kiasan yang ia sampaikan. Biasanya, randai memang sarat dengan pesan-pesan seperti itu. Randai juga hadir ke pentas dengan pemain silat. Bukan saja diperlukan dalam gerakan bersama yang membuat lingkaran di pentas, tapi akan ada perkelahian antara jagoan pada suatu tempat. Dan itu memerlukan silat.
Tapi pada posisi pemain manapun seseorang dipercaya, biasanya pemain randai akan berperan sebagai raja, permaisuri, putri raja, anak muda, dubalang, hulubalang, serta dilengkapi peran lainnya. Siapa akan memerankan apa, diantur oleh sutradara atau tuo randai.
Jika hari ini kita menontotn randai, maka hal itu, menurut sastrawan Yusrizal KW, merupakan hasil dari suatu proses akulturasi yang panjang antara tradisi kesenian Minangkabau dengan bentuk-bentuk sandiwara modern seperti tonil, yang mulai dikenal masyarakat Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Yusrisal menambahkan, randai hari ini sudah berkembang sangat pesat sehingga unsur-unsur baru juga masuk. "Anak-anak randai sekarang sangat kreatif," kata sekretaris DKP Ery Mefri.
Sumber : http://www.republika.co.id/
Trackback(0)
|