Home
Daftar Anggota
Galleri
Resep
Restoran Minang
Games
Download
Kamus Minang
Chat
Bursa Iklan
Radio Online
Weblink
SPTT Cimbuak
Cimbuak Toolbar
Menu Situs
Berita
Artikel
Prosa
Tokoh Minang
Adat Budaya
Agama
Kolom Khusus
Pariwisata
Berita Keluarga
Giring2 Perak
Berita Yayasan
Pituah

Nan babarih nan dipahek
Nan baukua nan di kabuang
Jalan luruih nan ditampuah
Labuah Pasa nan dituruik
Milis Minang
Rantaunet
Surau
Aktivis Minang
Media Padang
PosMetro Padang
Advertisement
Gumarang, Teruna Ria, dan Kumbang Tjari
Written by Theodore KS/Kompas   
Friday, 01 April 2005

IRAMA musik Latin sudah masuk dalam ramuan aransemen musik lagu-lagu Indonesia sejak pertengahan tahun 1955. Pelakunya adalah seorang yang bernama Asbon Majid, pemimpin orkes Gumarang. Dengan maksud memberi alternatif lain dari seriosa, keroncong, dan hiburan, Asbon memasuki unsur-unsur musik Latin yang pada masa itu memang sedang populer di Indonesia.

SEMENTARA itu, orkes Kumbang Tjari dipimpin oleh Nuskan Syarif, Teruna Ria oleh Oslan Husein, dan Zaenal Combo oleh Zaenal Arifin. Tiga orkes ini memasukkan rock’n’roll pada lagu-lagu Minang dan non-Minang, seperti Kampung nan Jauh Di Mato, Tirtonadi, dan Bengawan Solo.

Menjelang akhir tahun 1953 dan awal 1954, ada beberapa anak muda asal Sumatera Barat yang, antara lain, bernama Alidir, Anwar Anif, Dhira Suhud, Joeswar Khairudin, Taufik, Syaiful Nawas, dan Awaludin yang di kemudian hari menjadi Kepala Polri. Bersama beberapa orang lainnya mereka berkumpul di rumah Yus Bahri di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka sepakat mendirikan sebuah grup musik untuk meneruskan kiprah orkes Penghibur Hati yang mendendangkan lagu-lagu Minang.

Mereka menamakan grupnya orkes Gumarang. Nama itu diambil dari cerita legendaris Minang, Cindue Mato, yang tokoh utamanya memiliki tiga binatang kesayangan. Tiga binatang itu adalah Kinantan si ayam jantan yang piawai, Binuang si banteng yang gagah perkasa, dan Gumarang si kuda sembrani berbulu putih yang larinya bagaikan kilat sehingga menurut legenda tersebut bisa keliling dunia dalam sekejap. Anwar Anif pun didaulat menjadi pemimpin.

Mula-mula yang dibicarakan adalah bagaimana konsep musik yang akan dibawakan untuk lagu-lagu Minang yang sudah dipopulerkan oleh Penghibur Hati melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lagu-lagu Penghibur Hati yang disiarkan radio itu, antara lain, Kaparinyo, Dayung Palinggam, Nasib Sawahlunto, dan Sempaya.

Pengaruh lagu-lagu Latin (seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas) yang sedang digemari tak mampu mereka tepis. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur baru dalam aransemen musik Gumarang.

Pada masa itu tidaklah mudah bagi seorang penyanyi atau sebuah grup untuk tampil di RRI. Mereka harus lulus tes di depan sejumlah juri, sebagaimana layaknya peserta sebuah lomba.

Walaupun Anwar Anif hanya memimpin selama sembilan bulan, ia berhasil membawa Gumarang lulus tes RRI. Alidir yang menggantikannya ternyata bertahan lebih singkat lagi dan kemudian menyerahkan pimpinan Gumarang kepada Asbon, bulan Mei 1955.

Asbon tidak hanya mempertegas dominasi musik Latin dalam lagu-lagu yang sudah biasa dibawakan Gumarang, tetapi juga pada lagu-lagu baru ciptaannya maupun ciptaan personel Gumarang lainnya. Pada masa Asbon inilah bergabung pianis yang memiliki sentuhan Latin, Januar Arifin, serta penyanyi Hasmanan (kemudian menjadi sutradara), Nurseha, dan Anas Yusuf.

Kebesaran Gumarang tidak bisa disangkal berkat seringnya grup ini tampil di RRI dan memeriahkan acara Panggung Gembira. Sukses Gumarang merebut hati masyarakat menyebabkan penampilan orkes itu berlanjut di tempat-tempat lainnya, seperti Istana Negara, Gedung Kesenian, dan Istora Senayan.

Pada masa kepemimpinan Alidir, Gumarang sempat merekam sejumlah lagu di bawah naungan perusahaan negara, Lokananta, di Solo. Rekaman dilakukan di Studio RRI Jakarta dan hasilnya dibawa ke Lokananta untuk dicetak dalam bentuk piringan hitam (PH).

Dalam rekamannya yang pertama ini Gumarang bermain dengan gendang, bongo, maracas, piano, gitar, dan bas betot. Mereka tetap mempertahankan rentak gamat dan joget sambil memadukannya dengan beguine, rumba, dan cha-cha.

Bunyi alat musik Minang, seperti talempong, memang memberikan asosiasi pada irama Latin, demikian juga saluang. Itulah sebabnya irama Latin mudah dipadukan dengan lagu-lagu Minang.

Suyoso Karsono yang memimpin perusahaan rekaman Irama di Jakarta ternyata diam-diam tertarik pada Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, orang yang dikenal dengan nama Mas Yos itu tahu bahwa irama yang dibawakan Gumarang bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.

"Sebenarnya irama Latin itu hanya dalam tempo, supaya lagu-lagu Minang bisa diterima juga oleh masyarakat di luar Minang," kata Asbon ketika menerima tawaran Irama untuk merekam sejumlah lagu. Gumarang merekam Ayam Den Lapeh ciptaan a Hamid, Jiko Bapisoh dan laruik Sanjo ciptaan Asbon, Yobaitu ciptaan Syaiful Nawas, takana Adiak ciptaan Januar Arifin, Baju Karuang, Ko Upiek Lah Gadang, Titian Nan Lapuak, Nasib Sawahlunto, dan lagu lain-lain yang jelas sekali dipadukan dengan irama cha-cha yang dikenal sebagai pengiring tarian di Amerika Selatan.

"Cha-cha memang sedang menjadi favorit masyarakat waktu itu, sebagaimana kami senang naik becak dari tempat indekos menuju Studio Irama. Kalau selesai rekaman, Nurseha diantar Asbon dengan becak ke rumahnya di Grogol. Soalnya, rekaman yang dimulai pukul delapan malam biasanya selesai pukul dua dini hari," ujar salah seorang penyanyi Gumarang, Syaiful Nawas, yang sempat menjadi wartawan harian Waspada, Pedoman, Purnama, Trio, Aneka, Sinar Harapan, Abadi, Suara Pembaruan, dan majalah Selecta.

"Sayalah yang bertugas menulis semua kejadian karena ikut di dalam proses rekaman. Mas Yos memberikan bahan-bahannya dan saya tulis di berbagai surat kabar serta majalah Selecta dan Varia. Bahkan, harian Pedoman menulis Gumarang dalam tajuk rencananya. Sementara Asbon langsung memberikan PH yang baru dari pabrik ke RRI," ungkap Syaiful Nawas, kakek dari lima cucu yang sekarang setiap hari berkantor di rumah makan miliknya, Padang Raya.

Hasilnya, Laruik Sanjo dan Ayam Den Lapeh berkumandang tidak hanya di RRI, namun juga di toko-toko yang khusus menjual PH di Jakarta dan luar kota. Pemutaran lagu-lagu Gumarang itu adalah atas permintaan masyarakat yang mendatangi toko-toko itu dan membeli PH mereka. Laruik Sanjo yang berarti larut senja dan Ayam Den Lapeh sebagai analogi kehilangan kekasih, menjadi lagu-lagu populer secara nasional.

Sedemikian populernya kedua lagu itu, Laruik Sanjo dilayarputihkan oleh Perfini tahun 1960 dengan sutradara kondang Usmar Ismail serta aktor Bambang Irawan dan aktris Farida Oetojo sebagai pemeran utama. Sementara Stupa Film memproduksi Ayam Den Lapeh pada tahun yang sama dengan sutradara H Asby dan Gondosubroto, sementara Asbon dan Gumarang dipercaya mengisi ilustrasi musik film ini.

Ceritanya diambil dari lirik lagunya. Si kucapang si kucapai/ saikua tapang saikua lapeh/Tabanglah juo nan ka rimbo/Oi lah malang juo. Artinya, yang dikejar luput, yang dimiliki terlepas.

Kumbang Tjari

Sementara itu, di Padang tersebutlah seorang pemuda yang gila musik bernama Nuskan Syarif. Saking besar keinginannya bermusik dan memiliki gitar, uang untuk membeli baju Lebaran dibelikannya gitar bekas di tukang loak.

Nuskan, yang bangga dengan popularitas Gumarang, pada tahun 1954 sempat berlibur ke Jakarta. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan selama berada di Ibu Kota dan menawarkan lagu ciptaannya, Kok Upiak Lah Gadang, ke Gumarang. Ternyata lagunya diterima dan dimainkan dalam acara Panggung Gembira di RRI.

"Lagu itu saya tulis notasi dan liriknya karena tape recorder belum memasyarakat seperti sekarang. Saya kembali ke Padang dan meneruskan karier sebagai penyanyi amatir sambil memperdalam pengetahuan saya bermain gitar," kata Nuskan yang juga dikenal sebagai guru Pendidikan Jasmani di SMP Negeri I Padang hingga tahun 1960.

Pindah ke Jakarta, Nuskan meneruskan karier sebagai guru olahraga, sementara kemampuannya bermain gitar dan mencipta lagu semakin meningkat. Atas saran Anas Yusuf, Nuskan memutuskan bergabung dengan Gumarang. Tetapi, Asbon yang sudah tahu kemampuan anak muda itu justru menyarankannya membentuk grup musik sendiri.

"Itulah awal lahirnya orkes Kumbang Tjari pada tahun 1961. Meskipun saya mengagumi Gumarang, saya berusaha membuat musik yang berbeda. Kalau Gumarang dominan dengan pianonya, Kumbang Tjari mengedepankan melodi gitar," lanjut Nuskan, ayah dari sembilan anak dan kakek dari 10 cucu.

Di sinilah Nuskan menunjukkan keperkasaannya sebagai pemain gitar, bukan hanya dalam soal teknik, namun juga dalam soal eksplorasi bunyi. Petikan gitarnya mengingatkan pendengarnya akan suara saluang, seruling bambu khas Minang. Ciri khas ini belum ada duanya sampai sekarang. Hal ini diperjelas Hasmanan, salah seorang penyanyi Gumarang yang menulis kesan-kesannya di sampul depan PH.

"Sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpatik dan popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan ’Kumbang Tjari’ terhadap lagu-lagunja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli Minang seperti talempong, rebab, dan saluang," demikian tulisan di sampul depan PH itu.

PH Kumbang Tjari yang pertama ini berisi lagu-lagu Asmara Dara yang dinyanyikan oleh Elly Kasim, Randang Darek dinyanyikan Nuskan Syarif, Taraatak Tangga (Elly Kasim dan kawan-kawan), Mak Tatji (Nuskan Syarif), Apo Dajo (Elly Kasim dan kawan-kawan), Tjita Bahagia (Elly Kasim dan Nuskan Syarif), Cha Cha Mari Cha (Nuskan Syarif), Gadis Tuladan (Nuskan Syarif), Kumbang Djanti (Elly Kasim), Langkisau (Nuskan Syarif dan kawan kawan), Kureta Solok (Nusikan Syarif dan kawan-kawan), dan Oi, Bulan (Elly Kasim dan kawan-kawan).

Bersama Kumbang Tjari inilah Elly Kasim menjadi penyanyi lagu-lagu Minang yang belum tergantikan sampai sekarang. Perempuan kelahiran Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tanggal 27 September 1942, itu terkenal dengan lagu-lagu seperti Kaparinyo, Dayung Palinggam, Kelok Sembilan, Barek Solok, Lamang Tapai, Sala-lauak, Si Nona, Lansek manih, Main Kim, Mudiak Arau, dan masih banyak lagi. Lagu-lagu itu telah dimuat dalam puluhan PH, kaset, maupun VCD selama lebih dari 40 tahun.

Namun, Kumbang Tjari kemudian terpaksa vakum ketika Nuskan sebagai guru olahraga menerima untuk ditempatkan di Sukarnapura (sekarang Jayapura), Papua, pada bulan Juli 1963. "Saya sangat menikmati profesi sebagai guru olahraga. Dikirim ke Irian Barat saya anggap sebagai amanat yang harus dilaksanakan. Setelah saya pergi, sayang teman-teman tidak bersedia meneruskan Kumbang Tjari," ujar Nuskan.

Selama di Jayapura, ia sempat juga membina bibit-bibit penyanyi dan menciptakan sejumlah lagu. Lahir di Tebing Tinggi tanggal 4 Januari 1935, dalam usia menjelang 70 tahun sekarang ini, Nuskan masih rajin joging di pagi hari dan tetap siap tampil bersama Kumbang Tjari-nya.

Walaupun hanya dua tahun (1961-1963) di belantika musik, Kumbang Tjari menjadi grup pertama yang tampil di TVRI ketika stasiun televisi pemerintah itu diresmikan tahun 1962. Orkes ini juga mengisi acara pembukaan Bali Room, Hotel Indonesia, dan kemudian tampil bersama Gumarang serta Taruna Ria dalam pertunjukan bertajuk "Tiga Raksasa" di Istora Senayan.

Nuskan kembali ke Jakarta 29 November dan Januari 1969 Kumbang Tjari dibentuk lagi dengan personel yang berbeda dan tidak pakai embel-embel "orkes" lagi. Kumbang Tjari pun kembali dipimpin Nuskan dan seperti sebelumnya mulai masuk studio rekaman dan mengisi berbagai acara panggung hingga tur ke Malaysia bersama Elly Kasim, Benyamin S, Ida Royani, serta Ellya Khadam.

Di samping Gumarang dan Kumbang Tjari, juga tidak bisa dilupakan orkes Teruna Ria yang mempertegas irama rock’n’roll dalam lagu-lagu Minang. Bubarnya Teruna Ria menyebabkan penyanyi utamanya, Oslan Husein, mendirikan Osria. Sementara personel lainnya, Zaenal Arifin, mendirikan Zaenal Combo, yang merajai penataan musik rekaman hampir semua penyanyi pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an.

Penyanyi-penyanyi yang diiringi Zaenal Combo, yaitu Lilies Suryani, Ernie Djohan, Alfian, duet Tuty Subarjo/Onny Suryono, Retno, Patti Sisters, Tetty Kadi, Anna Mathovani, Emilia Contessa, Titi Qadarsih, Angle Paff, atau Lily Marlene.

Zaenal Arifin, pencipta lagu Teluk Bayur, meninggal 31 Maret 2002. Asbon tutup usia pada 16 Maret 2004, sedangkan Oslan Husein dan Nurseha mendahului keduanya beberapa tahun sebelumnya.

Mereka memang sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak berupa musik Minang dan Indonesia modern. Gumarang dengan irama Latin dan Teruna Ria me-rock’n’roll-kan lagu serta musiknya. Sementara gitar bersuara saluang ala Nuskan Syarif masih bisa dinikmati sampai sekarang bersama Kumbang Tjari-nya.

Theodore KS Penulis Masalah Industri Musik

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/14/Musik/1023225.htm

Trackback(0)
Comments (0)

Write comment
You must be logged in to a comment. Please register if you do not have an account yet.

Last Updated ( Friday, 01 April 2005 )
 
< Prev   Next >




Member Area
Status Radio
Radio Online Minang
Yayasan Palanta Cimbuak
Yayasan Palanta Cimbuak
Dari Awak, Oleh Awak, Untuak Kampuang
Nio berpartisipasi? Silakan klik disiko
Cimbuak Features

Cimbuak Chat


Cimbuak Chat


Free Email


Free Email
Yayasan Cimbuak
Situs Terbaik
Online Sekarang
We have 9 guests and 4 members online
Powered By PageCache
Generated in 1.54938 Seconds