Page 2 of 3
Bagian (2)
Kami mendapat kamar di lantai empat di mana ngarai Sianok yang sering juga disebut Grand Canyon of Indonesia itu dengan latar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang di kiri kanan terlihat menghampar seperti sebuah lukisan panorama yang sangat indah. Bukit Tinggi yang dingin (900 m di atas permukaan laut) memang terlhat sangat cantik, bahkan dari jendela kamar. Superior yang biasa saya gunakan. Kabut kadang-kadang terlihat menyaput pucuk-pucuk pohon. Sementara Ngarai Sianok di kejauhan dengan desir anak sungai yang mengalir di bawahnya seperti menyimpan misteri masa silam dengan bunyi genta pedati menyisir jalan di dasar ngarai menyisir malam. Novotel letaknya memang sangat strategis. Karena anak-anak, sudah mengeluh lapar, setelah menaruh koper-koper di kamar kami diantar Inof ke warung Nasi Kapau Uni Lis di Pasar Wisata, Pasar Atas dekat gerbang tangga yang menghubungkan Pasar Atas dengan kawasan Pasar Bawah yang lazim disebut sebagai jenjang empat puluh, sesuai dengan jumlah anak tangganya. Kenikmatan Nasi Kapau Uni Lis dan nasi kapau warung tenda lainnya di Bukit Tinggi cukup berbeda dengan masakan kapau di warung-tenda di Jalan Kramat Raya Jakarta. Selain kualitas bahan, yang lebih baik, masakan kapau di warung-warung tenda di Bukit Tinggi umumnya masih dimasak dengan kayu bakar. Saya makan dengan gulai tunjang dan gulai rebung, sedangkan Kur dengan dendeng belado. Anak-anak saya lihat makan dengan lahap sekali. Dari sana kami langsung ke Padang Panjang menemui beberapa keluarga dekat saya yang masih ada. Dan sebelum kembali ke Bukit Tinggi kami mampir ke SMS atawa Sate Mak Syukur di Padang Panjang yang tersohor itu. Bagi Anda yang punya bayi dan belum pernah mencicipi Sate Padang, mungkin “tidak tega†memakan sate daging sapi yang berkuah kuning setengah kental itu. Tetapi sekali mencoba pasti ingin mencoba lagi. Malamnya di Bukit Tinggi kami makan di restoran “cubadak Gaya Baru†di Pasar Bawah. Berebeda dengan rumah-rumah makan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya yang di setiap piring disajiakan dua potong ikan, di restoran ini di setiap piring hanya disajikan satu potong. Beda lainnya, ada sejumlah masakan khas serta bumbunya rata-rata lebih terasa. Hawa dingin dan perasaan letih karena perjalan yang cukup panjang hari itu menyebabkan kami cepat tertidur. Walaupun tidak jauh dari Novotel ada 2 buah masjid besar, azan subuh hanya terdengar hanya lamat-lamat saja, lebih pelan dari pada suara azan yang saya dengar di hotel tempat saya menginap di Sanur, Bali sepekan sebelumnya. Hari itu kami merencanakan akan ke Harau yang terletak di Kab Limapuluh Kota sekitar 25 km sebelah timur Payakumbuh arah ke Pekanbaru, atau sekitar 50 km dari Bukit Tinggi, kemudian ke Pagaruyung di dekat Batusangkar, ibukota Kab Tanahdatar lalu ke pinggir Danau Singkarak, dan dari sini kembali ke Bukit Tinggi lewat Padang Panjang dan akan start dari hotel jam 10 pagi. Karena hanya punya 3 kupon breakfast, dan kalau sarapan di hotel harus bayar Rp 45 rb, saya memilih sarapan di luar saja dan pergi ke sebuah “Bufet†di Pasar Wisata untuk makan Amping Dadih [1] dan minum teh telor khas Minang, habis hanya Rp 9 rb. Sehabis sarapan Kur dan anak-anak sempat berjalan-jalan ke Pasar Atas. Perjalanan ke Harau memamakan waktu kurang dari satu jam. Harau adalah adalah sebuah hutan lindung yang asri, berupa sebuah ngalau memanjang yang berpagar bukit yang curam berupa patahan dan ujung pada sebuah air terjun. Karena hari itu hari Jumat pengunjung tidak terlalu ramai. Sesudah berfoto-foto kami segera cabut, kembali ke arah semula dan setelah beberapa meliwati Payakumbuh, berbelok ke kiri, ke arah selatan menuju ke Batusangkar dan terus ke Istana Pagaruyung. Karena waktu salat Jumat sudah tiba, saya dan Nofi salat di sebuah masjid yang tidak jauh dari sana, sebuah Masjid berukuran sedang yang cukup bagus yang merupakan wakaf dari seorang dermawan bersebelahan dengan kantor Bupati Tanahdatar, salah satu dari 4 kabupaten/kota yang menurut evaluasi LIPI yang paling berhasil melaksanakan otonomi daerah di Indonesia. Kantor Bupati tersebut terlihat sangat sederhana. Seusai salat jumat, saya bergabung dengan Kur dan anak-anak yang sudah lebih dulu masuk kompleks Istana Pagaruyung. Kami berfoto-foto berpakaian adat Minangkabau di dalam bangunan istana---tepatnya replika dari istana asli yang habis terbakar yang terletak tidak jauh dari sana. Kemudian kami makan siang di restoran “Ambun Pagi†yang terletak di arah jalan ke Sawahlunto. Kur saya lihat mendelik menyaksikan saya menyambar piring gulai gajeboh (daging yang sangat berlemak) yang dimasak asam padeh (tanpa santan) yang sangat jarang ditemukan di rumah-rumah makan Padang di luar Sumatra Barat (kecuali di Resto Simpang Raya Bogor). Kami kemudian juga mencicipi gulai jarieng (jengkol) yang agak berbeda dengan jengkol yang ada di jawa, lebih empuk, lebih legit dan tidak terlalu berbau. Selesai makan kami meneruskan perjalanan ke arah selatan ke Ombilin di pinggir Danau Singkarak, di mana kami bertemu dengan jalan raya yang menghubungkan Padang Panjang dengan Solok yang menyusur pinggir danau terbesar di Sumatra Barat dengan panjang 20 km dan sangat indah itu, lalu berbelok ke arah Solok dan berhenti di sebuah restoran dan tempat rekreasi, tempat saya dan rekan-rekan saya dari Kantor Regional beristirhat dan makan rujak kalau bertugas ke Solok. Puas beristirhat dan makan rujak sembari di belai angin danau, kami berbalik arah menuju Padang Panjang dan terus ke Bukit Tinggi. Kur berhenti di sebuah kios penjualan ikan di pinggir danau untuk membeli ikan bilis yang sangat disukai Kur untuk oleh-oleh dan untuk kami sendiri. Ikan bilis adalah sejenis ikan purba berukuran kecil khas Danau Singkarak yang populasinya semakin menyusut mengikuti menurunan permukakan air danau Singkarak, khususnya sejak PLTA yang menggunakan air Danau tersebut beroperasi.
[1] Amping terbuat dari beras ketan yang diolah dan ditumbuk sampai tipis dan kemudian dikeringkan, diguyur dengan air panas supaya lembek. lalu dtaburi kelapa parut, dadih (kepala susu kerbau yang dibekukan di dalam tabung bambu) dan kemudian diguyur dengan tengguli gula merah.
|