Pengertian istilah kesusasteraan seperti yang kita pahami sekarang tidak bersua dalam kehidupan Minangkabau, oleh karena Minangkabau tidak mempunyai aksara.
Oleh sebab itu penggunaan istilah kesusasteraan didalam pembicaraan kita sekarang, hendaklah disesuaikan dengan pola kebudayaan Minangkabau yang tidak mempunyai aksara itu. Sebagaimana yang kita pahamkan, bahwa alat kesusasteraan itu adalah bahasa. Bahasa menurut pengertian orang Minangkabau adalah dua. Pertama adalah sebagai alat komunikasi antara sesama manusia sedangkan kedua adalah sebagai tatakerama didalam kehidupannya. Terhadap istilah bahasa menurut pendapat yang pertama umumnya orang Minangkabau menyebutnya dengan istilah "kato". Sedang menurut penertian yang kedua adalah "baso", yang diiringi dengan "basi" hingga menjadi "baso-basi". Menurut baso basi (Basa basi) orang Minangkabau didalam berkato kato (berkata kata) ditemui 4 gaya bahasanya. Yakni : 1. Kato mandata 2. kato malereang 3. kato manurun 4. kato mandaki Dari cara berbahasa demikian, lahirlah bahasa yang mempunyai nilai-nilai kesusasteraan dalam bentuk kata atau perumpamaan yang plastis. Bahkan dalam percakapan pendek sehari-hari orang Minangkabau sudah sangat terbiasa menggunakan ungkapan-ungkapan yang plastis itu. Sebagai contoh : # Dua orang perempuan bertemu, yang seorang mengabarkan bahwa teman mereka melahirkan anak dan timbullah tanya jawab : T : Ba'a anaknyo J : Amainyo T : Lai gapuak J : kundua T : Lai putiah J : Ganiah Maksudnya adalah hendak menerangkan bahwa bayi itu perempuan seperti ibunya, gemuk seperti buah kundur dan kulitnya putih seperti kain kapas. # Dua orang pemuka masyarakat bertemu yang seorang menceritakan bahwa ia baru datang dari menghadiri suatu pertemuan yang diadakan oleh pejabat. Timbullah tanya jawab seperti berikut : T : Ba'a pidato apaktu ? J : Sapanjang tali baruak T : Ba'a isinyo ? J : aia matah sajo Maksudnya ialah hendak menerangkan bahwa pidato bapak pejabat itu bertele tele dan isinya tidak ada apa apa. # Seorang pedagang bertemu, yang seorang menceritakan bahwa ia baru kembali dari pasar. Timbullah tanya jawab : T : Lai rami pakan tadi ? J : Dapek balari kudo hilia mudiak T : baa jua bali ? J : pai hampok pulang aban Maksud jawaban ialah pasar sepi kuda dapat berlari didalamnya, dan jual beli tidak membawa untung. Penggunaan bahasa yang plastis ini termasuk gaya bahasa kato mandata. Konon pula didalamnya menggunakan kato malereang, yakni bahasa yang digunakan kepada orang yang disegani, seperti bahasa antara menantu dan mertua, antara ipar dan besan, maka penuhlah bahasa yang diucapkan itu dengan kiasan, sindiran, ibarat atau perumpaan sebagainya. Karena demikian mesranya hubungan manusia dengan bahasanya yang penuh dengan kata-kata dan kalimat kalimat plastis itu. Maka tidaklah heran para ahli bahasa berkecendrungan untuk mengatakan kalimat dan kata-kata Minangkabau itu sebagai peribahasa. Sehingga dalam buku pribahasa yang disusun oleh K. St. Pamuncak cs terdapat banyak sekali ungkapan-ungkapan bahasa Minangkabau dimasukkan. Dari 1000 peribahasa ditemui 294 peribahasa berasal dari Minangkabau. Orang Minangkabau sangat ahli dalam menggunakan peribahasa oleh karena kehendak-kehendak peradabannya, sebuah peribahasa berbunyi : Manusia tahan kias, Kerbau tahan Palu Dapatlah membayangkan betapa bentuk ajaran dalam berkata kata. Orang yang tidak mampu memahami kiasan atau sindiran akan dipandang sebagai seorang bebal, tidak berperasaan. Oleh karena itu perbendaharaan peribahasa orang Minangkabau sangatlah kaya. Kekayaan itu tidak hanya didalam percakapan yang berkenaan dengan rundingan, mupakat ataupun musyawarah, maka gaya bahasa yang dipakainya tersusun dalam gaya bahasa yang liriknya dengan tekanan-tekanan kata yang teratur sehingga seolah-olah dapat diiringi musik yang bertempo 4/4, seperti irama pantun. Berpantun bukanlah karya seorang sastrawan, berpantun adalah satu kelaziman umum di Minangkabau sebgaimana lazimnya orang berjalan kaki. Sehingga setiap orang akan memahami apa makna dari kalimat sampiran pantun jika diucapkan. Bahkan bukan jarang tersua didalam kehidupan sehari-hari orang mengucapkan sepatah dua sampiran sebuah pantun. Umpanya orang berkata : "alah lompong sagu awak den" Maka lawan bicara sudah mengetahui bahwa yang dimaksudkannya adalah "alah malapeh hao aden". Ucapan itu ditemukan didalam pantun yang berbunyi sebagai berikut : Lompong sagu bagulo lawang Di tangah tangah bakarambia mudo nan katuju diambiak urang Awak juo malapeh hao. Berperibahasa, berpantun bagi orang Minangkabau terutama bagi Ninik Mamak sama dengan berayat dan berhadist bagi ulama Islam. Bahkan kemahiran berperibahasa itu dipandang sebagai lambang tertinggi dari kecendikiawanan seseorang. Demikian melekat dengan mesranya kesusasteraan itu didalam kehidupan sehari-hari orang seorang dan didalam kebudayaan Minangkabau. Kesusasteraan Minangkabau adalah kesusasteraan lidah, karena Minangkabau tidak mempunyai aksara. Kesusasteraan tanpa aksara ini menyebabkan tumbuhnya permainan kata yang turun-temurun secara beranting dari generasi ke generasi berikutnya, dari ninik turun kemamak, dari mamak turun ke kemenakan. Permainan kata ini dibentuk oleh satu acuan yang tetap, sehingga kalimatnya disambut dan diteruskan oleh generasi tanpa merobah-robahnya, agar tidak merobah arti. Bisa jadi permainan kata, yang biasa disebutkan orang sekarang dengan peribahasa itu, tidak mungkin berkembang karena telah dibentuk oleh suatu acuan yang tetap. Namun kejadiannya tidaklah demikian. Karena generasi berikutnya masih dapat menyumbangkan kekayaan fantasinya dengan kata-kata atau kalimat kalimat sinonim baru untuk memperkaya kesusasteraan Minagkabau itu. Lain halnya dengan kesusasteraan yang mempunyai aksara, yang diciptakan oleh individu atas namanya sendiri, maka kesusasteraan Minangkabau yang ano... dan tampa aksara itu menjadi intim didalam kehidupan masyarakat umum sebagai karya kolektif. Ia menjadi lebih menyebar dan menyelusup keseluruh liku-liku penghidupan, baik di lapau, surau, tepian, gelanggang, pematang, buaian anak hingga kerumah gadang dan balairung adat. Dapatlah dikatakan bahwa pembinaan kesusasteraan Minangkabau menjadi lebih padu dengan pembawaan bangsanya. Atau dapat juga dikatakan bahwa oleh pembawaan bangsa yang dicetak oleh kebudayaan Minangkabau, maka fungsi kesusasteraan menjadi lebih berarti. Berpantun, berkias, berumpama, adalah bahasa percakapan yang sopan didalam kehidupan Minangkabau. Sehingga orang orang sekarang yang berpikir eksat karena memperoleh pendidikan kebudayaan lain, menjadi sulit berkomunikasi dengan orang Minangkabau. "Angguak anggak, geleang amuah" Yang menjadi sebagai ciri-ciri orang Minangkabau, dipandang sebagai suatu sikap negatif oleh orang-orang sekarang. Pandangan yang demikian pada dasarnya adalah pandangan yang keliru, yang tumbuh dari pikiran-pikiran yang hendak menguasai. Orang Minangkabau yang dipanggil atau diajak mengikuti rapat yang tidak disukainya, akan menyetujui segala yang disodorkan sesegeranya, artinya ia menganggukkan segala ucapan dan putusan yang diambil. Tetapi tidak berarti ia menyetujui melainkan ia menghendaki rapat cepat selesai. Tapi kalau ia menyetujui rapat itu kepalanya akan menggeleng geleng sebagai tanda bahwa apa yang diperkatakan didalam rapat itu menarik hatinya. Terutama kalau sudah banyak pertanyaan dan debat diajukan itu artinya rapat berhasil dengan baik. Orang Minangkabau tidak lazim berkata terus terang secara blak-blakan, karena ucapan demikian dianggap kurang beradab, tidak sopan dan tidak tahu di adat. Mereka lebih suka berbicara hereng gendeng dengan memakai ungkapan ungkapan yang plastis bergaya lirik. Adalah karena orang Minangkabau berpembawaan demikian, sangat mahir bermain kata, tahu memilih kalimat-kalimat yang mengena, memungkinkan dia jadi ahli pidato yang pintar. Kesusasteraan orang Minangkabau yang terkemuka adalah : kata, umpama, pantun dan Tambo. Kata menurut bahasa Minangkabau ialah "kato" dengan bagiannya seperti pepatah, petitih, mamangan yang telah kita bahas terlebih dahulu. Sindiran, kiasan, ibarat dan pameo dijumpai didalam perkataan sehari hari, sedang pantun dan tanbo adalah hasil kesusasteraan dalam pengertian kita dewasa ini.
Sumber : Buletin Sungai Puar No 44 Oktober 1993 Disadur Oleh : Dewis Natra
Trackback(0)
|