Menembus Batas-Batas Semu I. Ke Jerman Mengisi Bahan Bakar. Kisah-kisah orang biasa yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan situasi tidak berkembang, stagnan, tidak maju-maju, sungguh menarik. Apalagi menyaksikan langsung prosesnya. Rasanya jauh lebih nikmat ketimbang membaca kisah pengusaha kelas kakap a atau B yang berhasil mencetak laba sekian miliar tahun ini.
Menulis (09) Contoh
Oleh : Nukman Lutfie Diposting pada mailing list UGM (Disadur oleh : Dewis Natra)
Seri IX. Contoh :
Menembus Batas-Batas Semu I. Ke Jerman Mengisi Bahan Bakar. Kisah-kisah orang biasa yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan situasi tidak berkembang, stagnan, tidak maju-maju, sungguh menarik. Apalagi menyaksikan langsung prosesnya. Rasanya jauh lebih nikmat ketimbang membaca kisah pengusaha kelas kakap A atau B yang berhasil mencetak laba sekian miliar tahun ini. Saya pernah mengisahkan mantan web designer yang lompat kuadran menjadi enterprenuer. Kini saya akan menceritakan kisah nyata lain. Kebetulan ia juga seorang web designer yang cukup lama bekerja dengan saya. Tahun lalu, ia mengirim email, ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan meminta semacam surat rekomendasi. Kabar ini sangat mengherankan saya, karena ia sangat menikmati pekerjaannya. Gajinya memang tidak besar. Tapi ia puas. Ia merasa bekerja pada lingkungan yang ia senangi. Jarak kantor dari rumah juga begitu dekatnya, sehingga ia cukup naik sepeda dan lima menit sampai kantor. Ketika begitu banyak profesional di Jakarta hidupnya digerogoti oleh macetnya perjalanan kantor-rumah (bisa 2 jam sehari), jarak tempuh 5 menit sungguh sebuah kemewahan yang sulit dicari. Apalagi, ia bisa bekerja tanpa aturan jam kerja yang kaku. Boleh datang jam 10 pagi, boleh pulang jam 11 malam. Yang penting target pekerjaan terpenuhi. Dengan kemewahan seperti itu, apa lagi yang dicari? "Saya sudah mentok pak. Saya harus melakukan sesuatu. Saya mesti mengisi bahan bakar. Saya ingin belajar lagi, untuk modal pekerjaan ke depan," katanya. Saya lega mendengarnya. Itu artinya dia bukan pindah ke perusahaan lain dengan pekerjaan yang sama. "Kalau pindah ke tempat lain dan tetap menjadi web designer, tidak ada gunanya, karena di sinilah tempat terbaik sebagai web designer," katanya. Saya terpekur. Memang kalau dia terus bekerja seperti sekarang, pertumbuhan gajinya ya segitu saja, paling beberapa persen di atas inflasi. Sungguh mengharukan mendengar dia berani mengambil keputusan berhenti, kemudian mengisi bahan bakar baru, untuk suatu ketika berlari lebih kencang lagi. Apa yang dia lakukan sungguh tak saya bayangkan: Ia melamar beasiswa ke Jerman untuk mengambil kuliah Digital Media. Setelah menempuh proses yang mendebarkan dia, akhirnya dia mendapat 50% beasiswa belajar. Sisanya harus ia tanggung sendiri. Nekad, ia jual mobil tua dan kamera kesayangannya sebagai modal. Berbekal laptop dan seperangkat pakaian dingin, ia berangkat ke Lubeck, Jerman, tahun lalu. Ia tidak tahu ketika pulang nanti ia akan bekerja di mana. Tapi ia tampak tidak khawatir. Ia yakin, pekerjaan akan mudah ia dapatkan dengan tambahan ilmu barunya dan semangat barunya. Saya masih takjub, apa yang mendorong dia melakukan lompatan luar biasa itu? Mungkinkah karena ia punya mimpi yang tinggi? Ia memang menyebut dirinya sebagai pemimpi. Coba lihat apa deskripsi dirinya sendiri websitenya di http://home.avianto.com/. "Avianto is a dreamer. He is currently pursuing one of his many dream by being a digital media graduate student at <http://www.isnm.de/> ISNM in <http://www.luebeck.de> Lübeck, Germany". Ya, dia memang pemimpi. Tapi dia bukan pemimpi biasa. Dia orang yang berusaha meraih mimpinya. Saya yakin, jalan ke Jerman hanya salah satu langkah yang ditempuh untuk terus meningkatkan kemampuan diri. Ia tak mau terkungkung oleh rasa nikmat, stabil, tidak maju terlalu lama. Si orang biasa yang sedikit bicara dan santun ini berhasil menghancurkan belenggu semu berupa kestabilan yang banyak membatasi kemampuan banyak orang. Sehari sebelum berangkat ke Jerman, saya sempatkan mengajak ia ngobrol di sebuah coffe shop di Pondok Indah. Saya memang tidak mengantarnya ke bandara. Namun saya berdoa semoga dia berhasil.
Trackback(0)
|