Pekan lalu, salah satu mantan web designer terbaik saya di perusahaan lama, tiba2 menyapa via Yahoo Messenger. Setelah Basa-basi, ia ngabari kalau dia sedang di Belanda. Jalan2? Tidak. Ia sedang memberikan web admin training ke perusahaan di Belanda selama tiga pekan.
Menulis (07) Contoh Menulis Oleh : Nukman Lutfie Diposting pada mailing list UGM (Disadur oleh : Dewis Natra)
Seri VII. Contoh tulisan Dari Jogja Menembus Belanda I. Pekan lalu, salah satu mantan web designer terbaik saya di perusahaan lama, tiba2 menyapa via Yahoo Messenger. Setelah basa-basi, ia ngabari kalau dia sedang di Belanda. Jalan2? Tidak. Ia sedang memberikan web admin training ke perusahaan di Belanda selama tiga pekan. Saya jadi ingat dua tahun lalu, ketika ia dan web designer yang lain pamitan mau keluar. Di saat turn out karyawan perusahaan rendah, permintaan keluar mereka agak mengejutkan. Alasan keluarnya sederhana: sudah tidak kuat lagi bekerja di perusahaan orang lain. Mereka berdua ingin buka usaha sendiri. Kecil gak apa-apa. Yang penting bisa mengelola waktunya sesuka hati dan hasilnya dinikmati sendiri. Saya waktu itu masih sok menasehati. Mbok ya dipikir lagi. Nggak gampang lho dapatin proyek. Kalau sekarang kamu sambil kerja masih bisa ngobyek, belum tentu nanti gampang dapat proyek. Nasehat saya waktu itu didasari oleh rasa berat ditinggal web designer terbaik plus karena cara pandang saya masih sempit bahwa paling enak jadi karyawan.
Tapi dua anak yang asli dan lama di Jogja itu tetap mau keluar. Kalau cuma jadi designer terus begini gak kaya-kaya, katanya. Saya Cuma geleng2 kepala saja. Saya waktu itu tidak bisa membayangkan: Bagaimana mungkin hanya berbekal kemampuan desain web plus sedikit programming kelas ecek-ecek (tanpa kemampuan lain2 yang penting untuk merintis usaha spt kemampuan marketing, sales, financing, project management dan pengelolaan sdm) mereka berdua bakal sukses? Rupanya kedua anak itu memanfaatkan rezeki Internet yang tanpa batas ini dengan baik. Mereka mendapat kontrak jangka panjang dari salah satu perusahaan solusi web di Belanda, untuk menjadi "pabrik desain".
Perusahaan di Belanda ini berani pasang harga kompetitif di sana karena seluruh pekerjaanya dilakukan oleh dua mantan anak buah saya di Jogja. Koordinasi proyek seluruhnya dilakukan via Internet, demo lewat web, review projek lewat web, komunikasi by email dan Yahoo! Messenger. Sebuah komunikasi proyek yang super murah meriah. Nyatanya, perusahaan itu berkembang. Kliennya bukan hanya dari Belanda. Yang lokalpun ia garap. Bahkan mereka sudah pinter nembus Istana Jogja bikin proyek bareng Kanjeng Ratu Hemas. Karyawannya sudah 16 orang. Kantornya lumayan bagus, di belakang Gramedia Jogja. Sekarang keduanya sudah punya mobil. Padahal 2 tahun lalu mereka kalau ke kantor boncengan naik sepeda motor. Memang tidak semuanya indah. Tidak jarang setiap akhir bulan mereka empot2an mikir gajian anak buahnya dan cash-flow. (Cash flow ini memang salah satu tantangan terberat pengusaha dengan modal nekat dan dengkul seperti mereka - dan saya. Proyek banyak belum tentu berarti cash flow bagus. Orang sering melihat hidup matinya perusahaan dari rugi laba. Padahal darah sesungguhnya perusahaan adalah cash flow.).
Tapi mereka survive dan kelihatannya bakal terus berkembang.
Waktu saya ke Jogja akhir tahun lalu, ia dengan bangga meminjami saya mobil.. plus sopirnya. Kisah2 seperti ini yang membuat orang seperti saya "gemas", gemelatak, terbakar untuk semakin berkarya semakin berprestasi, semakin serius membangun usaha dan menembus batas-batas yang selama ini secara tidak sadar mengungkung jiwa.
Dari Jogja Menembus Belanda II Ketika nekat keluar sebagai karyawan dan membuka usaha baru, dua mantan anak buah yang kemampuan desain webnya bagus ini menyadari betul keterbatasannya Kalau cuma berdua, apa yang bisa dilakukan? Duit enggak ada (bayangkan saja gaji web designer di Indonesia, meski jago masih belum mampu menyisihkan uang buat tabungan), manajemen nggak ngerti, bikin legal usaha nggak faham. Saya takjub ketika mereka mengibarkan bendera bernama "ThinkNoLimits". Ini bukan badan usaha legal. Ini hanya merek yang menaungi mereka. Di saat awal saya sangat ingat tag line mereka: "Kami memang hanya berdua. Tapi kami bisa menjadi pabrik web Anda tanpa batas". Mereka hanya berdua, tapi bisa memberikan jasa yang biasanya memerlukan jumlah SDM lebih banyak.
Hanya dengan "merek" dan tanpa badan usaha legal, mereka dapat proyek di beberapa tempat. Bayarnya? Langsung saja ke account BCA perorangan mereka. Herannya, ada saja perusahaan percaya dengan services mereka, meski perusahaan yang menuntut legalitas mitra bisnis pasti akan ragu pakai mereka.
Apakah semangat "Think No Limits" itu benar-benar mereka jiwai? Bisa jadi. Nyatanya, usahanya jalan bagus. Coba saja lihat di www.thinknolimits.com <http://www.thinknolimits.com/> . Daftar kliennya berderet-deret dari Belanda.
Satu hal yang saya yakin mengapa mantan desainer web bisa membangun dan membesarkan bisnisnya sendiri adalah keberaniannya melangkah. Orang lain bisa saja melihat peluang yang sama dengan mareka untuk menjadi pabrik web. Tapi seberapa banyak yang berani melangkah drastis dari karyawan menjadi enterprenuer? Rasanya ungkapan Purdie Chandra, pendiri kursus Primagama, betul dalam hal ini. "Untuk jadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu IP tinggi, ijazah, apalagi modal uang. Saat yang tepat itu justru saat kita tidak punya apa-apa. Pakai ilmu street smart saja. Kemampuan otak kanan yang kreatif dan inovatif saja sudah memadai. Banyak orang ragu berbisnis cuma gara-gara terlalu pintar. Sebaliknya, orang yang oleh guru-guru formal dianggap bodoh karena nilainya jelek, justru melejit jadi wirausahawan sukses. Masalahnya jika orang terlalu tahu risikonya, terlalu banyak berhitung, dia malah tidak akan berani buka usaha." ####
Trackback(0)
|