Didalam kesusasteraan para ahli bahasa ataupun ahli adat juga tidak dapat menetapkan secara pasti tentang kalimat kalimat pepatah, petitih, pituah dan mamangan. Lain orang lain pendapatnya dan lagi kalimat kalimat yang dikatakan pepatah atau petitih, pituah atau mamangan. Apa yang dikatakan pepatah, petitih, pituah atau mamangan bertolak dari pengenalan adat Minangkabau.
Pada suatu massa dahulu Minangkabau adalah suatu nagari dari suatu bangsa yang mempunyai falsafah hidup sendiri sebagai pegangan dalam menjalankan hidupnya. Kebudayaan Minangkabau diamalkan oleh bangsanya, lebih dari pengamalannya terhadap agama dan falsafat negara yang dianutnya dewasa ini. Setiap orang Minangkabau lebih mahir mengucapkan pepatah daripada mengucapkan hadis dan agamanya. Penggunaan istilah pepatah, petitih, pituah dan mamangan ditemui dalam pidato pidato adat, baik oleh penghulu didalam kerapatan Nagari ataupun oleh janang didalam berbagai seremoni adat Minangkabau. Orang awampun bisa juga mengucapkan istilah pepatah pepatah itu dalam saat ia akan menggunakan peribahasa. Apabila kita hendak meninjau status penghulu dalam nagari masing masing jelaslah statusnya sama dengan "Staatment" didalam suatu negara. Dan memanglah status nagari nagari di Minangkabau tak obahnya dengan status negara negara dimanapun juga. Apa yang diucapkan para "staatment" dalam parlement ataupun sidang sidang pemerintahan negaranya, demikian juga apa yang diucapkan oleh para penghulu dalam kerapatan adat. Para staatment mengemukakan argument dengan memakai undang undang falsafah negara didalam pembicaraannya, maka didalam nagari undang undang serta falsafah disebut cupak. Cupak menurut hukum minangkabau adalah dua yakni cupak usali dan cupak buatan. Cupak usali dan cupak buatan ini mengandung segala unsur hukum yang menguasai dan dikuasai. Seperti hukum alam, hukum manusia dengan alam, hukum manusia dengan manusia, hukum manusia dengan masyarakat. Berdasarkan kenyataan bahwa filsafat adat minangkabau bersumber dengan falsafat alam, seperti yang diungkapkan oleh pantun : Panakiak pisau sirauik Patungkek batang lintabuang Salodong ambia ka Niru Satitiak jadikan lauik Sakapa jadkan gunuang Alam takambang jadikan guru. Didalam menyebutkan kekuatan adat Minangkabau selalu diungkapkan dengan : adaik nan sabana adaik Indak lapuak dek hujan Indak lakang dek paneh Macam adat yang sekekal itu diungkapkan dengan : Adaik api mahanguihkan Adaik aia mambasahi. Jadi jelaslah bahwa menurut alam pikiran minangkabau yang berguru kepada alam itu, hukum alam itulah adat yang sebenarnya, yang boleh diartikan hukum yang sebenarnya. Prof. Kuntjaraningrat didalam kongres bahasa Indonesia pada tahun 1954 di Medan pernah mengatakan, bahwa pepatah petitih minangkabau adalah "levende rechtstaal" yakni bahasa hukum yang hidup. Maka kian jelaslah bahwa pepatah, petitih, petuah dan mamangan yang juga disebut sebagai cupak usali dan cupak buatan itu adalah undang undang hukum alam minangkabau. Cupak usali diartikan dalam bahasa Indonesia dengan takaran asli atau hukum asli. Hukum yang asli adalah hukum alam dan hukum manusia dengan alamnya. Hukum mana tidak dapat dibuat oleh manusia. Didalam menelaah berbagai ungkapan pribahasa yang diucapkan para penghulu didalam kerapatannya, ditemukan berbagai kalimat yang melukiskan hukum hukum alam dan hukum hukum manusia dengan alamnya itu. Kalimat hukum alam itu ialah : Kuniang kunyik, putiah kapua Merah sago, kuriak kundi Manciok ayam, badanciang basi Bulek manggolong, picak malayang Hinggok mancakam, tabang manumpu Dan lain lain . Sedang kalimat yang berbentuk hukum manusia dengan alamnya atau hukum alam dengan manusianya dapat pula ditemui seperti : Kabukik mandaki, kalurah manurun Kalam disigi, lakuang ditinjau Panjang dipunta, singkek diuleh tatungkuik makan tanah Tatilantang minum aia Padiah disuahkan, sakik diharangkan Dan lain lain Kedua macam jenis kalimat ini, sebagai cupak usali yang kebenaran tak tertanding, inilah jenis kalimat yang dinamakan pepatah petitih.
Pepatah adalah jenis kalimat yang melukiskan hukum alam, sedang petitih ialah jenis kalimat yang melukiskan hukum manusia dengan alamnya. Kata adat tantang kato usali ini adalah : barih baukua jo pepatah balabeh bajangko jo patitih Barih baukua jo pepatah itu disebutkan ANGGO (Pakaian) sadang balabeh bajangko jo petitih disebutkan ANGGA (tangga) artinya dapat ditafsirkan untuk mencapai inggo diperlukan tanggo. Dan barih baukua jo pepatah dapat ditafsirkan sebagai kebenaran baris yang berbanjar dinilai hukum alam. Sedang balabeh dijangko jo petitih dapat ditafsirkan panjangnya sebuah ukuran kemampuan manusia dinilai dengan kemampuan hidupnya dengan alam. Cupak buatan sesuai dengan namanya hukum yang diciptakan oleh manusia untuk keperluan mereka bersama, yang tercakup kedalam 2 pola, yakni hukum manusia dengan sesamanya, dan hukum manusia dengan masyarakatnya. Jadi hukum ini dapat berobah menurut situasi dan kemampuan manusia yang memakainya. Didalam menelaah berbagai ungkapan peribahasa yang diucapkanoleh para penghulu didalam kerapatannya, ditemani berbagai kalimat yang melukiskan hukum manusia dengan sesamanya dan hukum manusia dengan masyarakat itu. Kalimat yang melukiskan hukum dengan sesamanya itu adalah, Mandapek balabo, hilang marugi Mancancang mamampeh, mambunuah, Mambangun, barutang mambayia Bapiutang manarimo. Elok dipakai, cabuah dibuang Janji bakarang, padan baukua Dan lain lain Kalimat ini melukiskan hukum manusia dengan masyarakatnya, yang senantiasa disebutkan dalam pidato adat terdapat kalimat2 seperti : Anak dipangku, kamanakan dibimbiang Luhak bapanghulu, rantau barajo Kampuang batuo, rumah batungganai Tagak panghulu sakato kaum Tagak andiko sakato nagari Pusako ditolong, warih dijawek Cupak buatan yang melukiskan hukum sesama manusia disebut "pituah", sedang hukum manusia dengan masyarakatnya disebut "mamangan"
Bentuk Dan Variasi Kalimat. Bentuk kalimat pepatah, petitih, pituah dan mamangan sangatlah sederhana dan isinya yang lumrah. Kalimat kalimat itu dibangun berpasangan dalam dua bagian. Umumn setiap bagian terdiri dari dua buah kata. Umpamanya setiap bagian terdiri dari dua buah kata. Barisan pertama bersinonim (persamaan arti) yang sejajar atau melintang dengan bagian kedua, hingga merupakan empat kata seperti lazimnya dengan gaya pantun. Didalam pidato adat kalimat kalimat itu diberi berbagai variasi dengan macam kata lainnya dan diucapkan beruntun dengan kalimat sinonim lainnya. Pemakaian kalimat pepatah boleh bercampur baur dengan kalimat petitih, mamangan atau dengan pituah, berdasarkan keperluan. Demikian juga kalimat kalimat tersebut dapat diolah sedemikian rupa, tapi dalam pengucapannya haruslah menurut ritme kalimat yang mendahuluinya. Contoh kalimat asli berbunnyi : Kareh ditakiak, lunak disudu Dapat diolah menjadi : · Kok kareh buliah ditakiak, kok lunak buliah disudu · Kok kareh indak tatakiak, kok lunak indak tasudu · inyo nan kamanakiak yang kareh, inyo nan kamanyudu nan lunak · Indak ado kareh nan indak ditakiaknyo, indak ado nan lunak nan indak disudunyo Dapat lagi diolah jadi kalimat sebaliknya : · Kok kareh buliah ditakiak, kok lunak indak tasudu · Kok kareh indak ditakiaknyo, kok lunak disudunyo · Inyo indak manakiak nan kareh, tapi inyo manyudu nan lunak · Indak ditakiaknyo nan kareh, indak disudunyo nan lunak
Contoh bagian kedua bukan lagi semacam ucapan ucapan yang bernilai yang dapat diucapkan penghulu didalam kerapatan. Bagian kedua ini adalah selera orang orang banyak belaka. Contoh lain kalimat kalimat pepatah, petitih, pituah dan mamangan diucapkan didalam pidato-pidato adat dengan berurutan sekalimat demi sekalimat yang sinonim artinya. Tambah banyak kalimat kalimat sinonim itu dapat dikemukakannya tambah menonjollah kecendikiawanannya. Umpama : Lah bulek aia dek pambuluah Lah bulek kato dek mupakaik
Kok bulek alah buliah digolongkan Kok picak alah buliah dilayangkan
Lah saciok bak ayam Alah sadanciak bak basi
Kok tarapuang alah samo hanyuik Kok tarandam alah samo basah
Ka bukik samo mandaki Ka lurah samo manurun
Barek samo dipikua Ringan samo dijinjiang
Tatungkuik samo basah Tatilandang samo minum aia.
Dan lain lain
Sumber : Buletin sungai Pua No. 46 April 1994 Disadur oleh : Dewis Natra
Trackback(0)
|