Wisran meninggal di usia 66 tahun, meninggalkan seorang istri, Puti Reno Raudha Thaib, serta 5 orang anak, yaitu, Ikhwan Arif, Hafiz Rahman, Sutan Muhammad Riyadh, Sutan Muhammad Ridha (almarhum) dan Sutan Muhammad Thariq, serta menantu, Sherly Amir dan cucu Puti Aisyah Humairah. Dalam pandangan anak-anaknya, Wisran seorang bapak yang sangat mereka teladani.
”Beliau memiliki cara berpikir dan konsistensi sikap yang tidak dimiliki orang lain. Dalam mengerjakan sesuatu kami selalu diingatkan untuk tidak setengah-setengah. Artinya, kerjakan pekerjaan itu sampai selesai,” tutur Sutan Muhammad Thariq.
Tidak hanya dalam keluarga, Wisran juga menjadi teladan bagi masyarakat Sumbar dari berbagai kalangan. Baik budayawan, seniman, pemerintah, politis, ulama, serta kaum adat.
Bahkan, banyak yang menganggapnya sebagai guru, dan sangat disegani, kadang ditakuti. Seperti yang diakui sastrawan asal Sumbar, Darman Moenir. Menurutnya, Wisran patut diteladani karena memiliki integritas dan cara pandang yang luas. Begitu juga dalam berkarya, sangat produktif, bahkan hingga akhir hayatnya masih berkarya; menulis.
”Kalau dihitung naskah dramanya, sudah lebih lima puluhan. Jumlah ini melebihi naskah drama yang pernah ditulis Shakesphiere semasa hidupnya. Betapa kreatifnya beliau. Begitu juga dengan tulisan-tulisannya yang kritis terhadap kebijakan dan fenomena yang sedang terjadi. Kritikan beliau merupakan pelurusan agar kebijakan itu tidak lari dari konsep ideal dan logis,” ungkapnya.
Sastrawan, Taufiq Ismail menyebut Pak Wis sebagai seorang pejuang yang tidak jemu-jemu memperjuangkan sesuatu yang diyakininya benar. Perjuangan itu tergambar dalam karya-karyanya, seperti naskah teater, novel, puisi, cerpen, dan artikel, yang ditulisnya selama 40 tahun lebih itu.
”Beliau bukan hanya menyampaikan nilai-nilai estetika dalam karya-karyanya, tetapi juga nilai-nilai-nilai spiritual dalam apa yang ditulisnya itu. Dalam mempersiapkan pementasan atau latihan teater pun tergambar perilaku dan perjuangannya itu,” katanya.
Seniman tradisi Minangkabau, Musra Darizal Katik jo Mangkuto, sangat sulit mencari sosok seperti Wisran di zaman sekarang. Tokoh yang memiliki wawasan dan cara pandang dari berbagai sudut persoalan. ”Kebanyakan tokoh yang muncul belakangan terfokus pada satu persoalan saja, tidak bisa melihat dari pandangan lain. Tidak demikian adanya dengan Wisran. Ia memiliki sudut pandang yang berbeda,” katanya.
Menanggapi kritikan-kritikannya terhadap pemerintah itu, Wakil Gubernur Sumbar, Muslim Kasim, yang hadir dalam melayat dan melepas almarhum dari rumah duka, mengungkapkan, hal tersebut sebagai bentuk perhatian terhadap jalannya pemerintahan.
Dengan kritikan itu, pemerintah bisa mengambil sikap sesuai yang diharapkan masyarakat. ”Kritikan itu sangat diperlukan. Agar kita tahu di mana salah kita dan apa yang akan kita lakukan selanjutnya,” kata Muslim Kasim.
Rasa kehilangan tidak hanya meliputi para seniman dan budayawan. Para politisi yang kerap dikritik oleh Wisran pun, merasakan hal yang sama. Ketua DPD Golkar Sumbar, Hendra Irwan Rahim, yang datang melayat ke rumah duka, merasa kehilangan sosok pemberani dan tegas ini. Baginya, sulit untuk menemukan Wisran Hadi selanjutnya.
”Beliau banyak memberikan masukan terhadap organisasi dan partai melalui tulisan-tulisannya, meskipun bukan politisi. Begitu juga masukan-masukan yang sangat baik sekali kepada pemegang kekuasaan. Kita merasa kehilangan seorang guru,” tuturnya.
Begitu juga dengan anggota DPRD Sumbar, Rizanto Algamar, menyebut kepergian Wisran seperti kehilangan penjaga gawang. ”Sedang dijaga saja seperti sekarang ada juga kebobolan, apalagi setelah ini tidak ada penjaga gawang sama sekali. Makanya, kita merasa kehilangan sekali,” ujarnya.
Wisran Hadi lahir di Padang pada 27 Juli1945. Ia tumbuh dalam lingkungan agama Islam yang taat. Ayahnya, H Darwis Idris, seorang ulama bergelar imam besar Masjid Muhammadiyah, yang sangat demokrat dengan membebaskan anak-anaknya membaca buku apa saja walau dinilai kiri sekalipun.
Motivasi dan bacaan-bacaan seni dari seniman dunia yang diberikan ayahnya sangat mempengaruhi bakat dan pola pikir Wisran di kemudian hari.
Bakat seni yang dimiliki itu mengantarnya ke jenjang pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang diselesaikan tahun 1969.
Selain menjadi pelukis yang telah berpameran di berbagai kota di Indonesia, ia juga menggeluti dunia teater sejak 1971. Keseriusannya dalam berteater terlihat dengan dibentuknya grup Bumi Teater pada tahun 1976.
Di samping itu, Wisran juga menulis naskah drama, novel, puisi, cerpen, dan artikel. Ketekunan dalam menulis dan berteater mengantarkannya meraih berbagai penghargaan, serta undangan ke berbagai negara, seperti Jepang, Amerika, Malaysia, dan seterusnya.
Wisran pernah mengikuti International Writing Program di Iowa University, Iowa, Amerika Serikat pada 1977. Setahun kemudian melakukan observasi teater modern Amerika dan 1987, juga melakukan observasi teater modern Amerika dan Jepang. Penghargaan tertinggi yang diraih Wisran adalah South East Asia (SEA) Write Award 2000 dari Kerajaan Thailand.
Terakhir, ia memperoleh penghargaan sayembara novel DKJ 2010 untuk novelnya yang berjudul Persiden. Sebelumnya, 26 Desember 2010, Wisran Hadi menerima FTI Award, yang diserahkan langsung oleh panitianya di Padang. Penghargaan untuk dedikasi para teaterawan ini pernah diberikan kepada WS Rendra, Putu Wijaya, Nano Rintiarno, dan Slamet Rahardjo untuk intensitas yang berbeda.
Sebelum meninggal, penulis rubrik Jilatang dan Kabagalau di Padang Ekspres edisi Minggu ini, telah menitipkan kumpulan esainya kepada Redaktur Budaya Padang Ekspres, Yusrizal KW, untuk dibukukan.
Jenazah Wisran Hadi dilepas dari rumah duka menuju pandam pekuburan keluarganya di Kampung Koto, Sawahliek, Padang, oleh Wakil Gubernur Muslim Kasim.
Kepergiannya diantar oleh banyak pelayat dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintah daerah. Di antara yang hadir dalam melayat ke rumah duka, anggota DPR RI, Taslim, Wakil Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, wartawan senior Marthias Pandoe, anggota DPRD Sumbar, Padang, para seniman, akademisi, dan pejabat daerah di Sumbar. (no)