Sehabis maghrib Muncak Amat mendatangi rumah guru Sofyan. Dia ingin berbincang-bincang lagi dengan guru itu. Muncak berfirasat ada bahaya yang sedang mengancam kampung. Dan dia ingin menanyakan kemungkinan itu. Guru Sofyan mempersilahkan Muncak Amat naik ke rumahnya. Kedua orang itu langsung terlibat dalam sebuah diskusi.
‘Ada apa engku Muncak? Masih penasaran dengan urusan air di batang air?’ tanya guru Sofyan begitu Muncak Amat duduk.
‘Benar guru. Cobalah guru jelaskan. Tidakkah mengkhawatirkan menurut pendapat guru, ketika air terkumpul di suatu tempat di atas gunung sana? Harusnya tempat terkumpulnya itu bukan tempat yang biasa menampung air. Bagaimana caranya tiba-tiba saja ada kolam tempat menampung air?’ tanya Muncak Amat.
‘Mungkin bukan sekedar kolam engku. Engku bayangkan saja lembah-lembah di punggung gunung itu. Sebuah lembah bisa saja berbentuk cekung menyerupai kuali. Mungkin disana air terkumpul,’ jawab guru Sofyan.
‘Seperti telaga, begitu ?’
‘Ya. Bisa seperti telaga.’
‘Bila terjadinya telaga itu? Karena selama ini air menghilir lancar-lancar saja ?’ tanya Muncak yang sangat kritis.
‘Betul juga. Atau mungkin.........., ini yang lebih masuk di akal, ada cekungan lembah yang tersumbat. Mungkin tersumbat oleh batu-batu, atau pohon-pohon kayu runtuh,’ kata guru Sofyan.
Kali ini dia menerawang ke langit-langit. Mungkin membayangkan yang baru saja dikatakannya.
‘Apakah itu aman guru? Kalau memang ada batu-batu besar atau pokok-pokok kayu rimba yang menahannya?’
‘Mudah-mudahan saja, engku,’ jawab guru Sofyan.
‘Tapi....... Seandainya, penahan air itu runtuh?’
‘Ya... lepaslah air ke bawah. Dihanyutkannya apa yang ada di lembah-lembah, di sepanjang batang air.’
‘Di hanyutkannya segala sampah rimba. Segala macam kayu dan ranting yang menyekat. Tentu begitu guru?’
‘Betul, engku. Apapun yang bisa dihanyutkan air tentu dihanyutkannya.’
‘Itu benar yang saya takutkan. Dan saya sudah memindahkan kerbau-kerbau saya dari kandangnya di tepi batang air itu.’
‘Baik juga itu untuk berjaga-jaga, engku. Itu kan seandainya air yang tertahan di atas sana lepas dan menghantam sekali gus. Boleh juga kita berharap, air itu akan mengalir saja pelan-pelan seperti yang kita lihat di batang air saat ini,’ jawab guru Sofyan.
‘Benar guru. Tapi ini firasat saja. Entah kenapa saya cemas saja. Baiklah guru, sepertinya hari mau hujan lagi. Sudah terdengar lagi guruh. Saya pergi dulu.’
‘Baik kalau begitu, engku.’
***
Tidak ada orang lain yang cemas seperti Muncak Amat. Karena siang tadi udara cerah sesudah seminggu diguyur hujan, mereka yang biasa main koa malam ini berkumpul lagi di dangau tempat mereka biasa main. Menikmati perburuan di atas tikar atau berburu babi di atas tikar. Begitu istilahnya. Begitu kalau hobi.
***
Imran memijit kaki ibu sesudah mereka makan malam. Sambil berbincang-bincang. Seperti biasa, ibu menasihati Imran.
‘Tek Ema tidak mau sama sekali menerima uang harga pisang, Ran?’ tanya ibu.
‘Tidak mau, bu. Awak katakan, inikan barang dagangan, tek. Biarlah awak bayar. Tapi kata etek, sudah etek terima bayarannya dan etek berikan untukmu,’ jawab Imran.
‘Uangnya kau berikan sungguh-sungguh, bukan? Bukan hanya seperti mau membayar?’
‘Sungguh-sungguh, bu. Awak serahkan ke tangan etek. Beliau ambil lalu dimasukkan kembali ke saku baju awak,’ Imran menjelaskan.
‘Dalam perdagangan sebenarnya, tidak ada pemberian seperti itu. Atau, kau memberikan dekat mak etek Nursal barangkali?’
‘Tidak, bu. Mak etek belum pulang dari kantor.’
‘Berarti dia ingin beramal. Karena kau anak yatim,’ kata ibu pula.
Imran teringat kata-kata mak Budin yang juga berbuat baik karena dia anak yatim.
‘Ran, dalam berdagang yang paling penting adalah kejujuran. Kamu harus faham itu,’ ibu menyambung pembicaraan.
‘Awak faham, bu.’
‘Ketika berjanji ditepati. Kalau berhutang jangan ditunda-tunda membayarnya. Begitu dulu petuah ayahmu. Dan ibu selalu memeliharanya.’
Imran terdiam.
‘Ayahmu memang banyak berpetuah. Banyak dia menasihati ibu. Menerangkan masalah agama kepada ibu. Dia berpesan agar ibu mendidikmu untuk bisa mandiri sejak kanak-kanak. Kau masih ingat ayah, kan? Masih ingat bagaimana disiplinnya dia?’
‘Awak masih ingat, bu. Ayah selalu sayang kepada awak. Tapi pernah juga awak dimarahi ayah, kalau awak malas-malas mengaji.’
‘Tentu saja beliau marah. Tapi semarah-marahnya, ayahmu tidak pernah dia memukulmu bukan?’
‘Tidak pernah, bu.’
‘Entah kenapa ibu jadi ingat ayah. Ingin rasanya ibu pergi menziarahi pusaranya. Tapi dimana pula akan mungkin.’
Imran kembali terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.
‘Bagaimana kalau awak mengaji, bu? Dan awak doakan lagi ayah?’
‘Mengajilah. Pergilah berwuduk. Mengajilah, biar ibu dengarkan.’
Imran pergi berwuduk ke belakang. Agak heran dia, kenapa tiba-tiba ibu ingat ayah? Apakah memang seperti itu selalu perasaan beliau? Selalu mengenang ayah? Rupanya beliau benar-benar mencintai ayah. Padahal ayah sudah meninggal sejak lebih dari enam tahun. Beliau masih menyimpan derai-derai cinta.
Sudah sejak tadi terdengar suara guruh di luar. Kadang-kadang terlihat kilat dari sebelah dinding sumur. Sepertinya hari akan hujan lagi.
Imran sudah selesai berwuduk dan kembali ke kamar. Diambilnya kain sarung dan disarungkannya. Dia duduk di samping ibu di tempat tidur dan mulai mengaji. Dibacanya surat Yasiin. Ibu menyimak bacaan Imran.
Setelah selesai membaca surat Yasiin, ibu menyuruh Imran membaca surat ar Rahman, surat ke 55. Imran membacanya. Membaca fabiayyi aa laa irabbikumaa tukatztzibaan berulang-ulang dalam surat itu. Tidak sengaja mata Imran melirik ibu. Dilihatnya ibu menangis. Airmatanya bercucuran. Imran menghentikan bacaannya, tapi ibu menyuruh melanjutkan. Imran kembali mengaji sampai selesai.
‘Fabiayyi aa laa irabbikumaa tukatztzibaan... Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? Itu artinya. Ayahmu dulu menerangkan arti surat ar Rahman itu kepada ibu. Jangan sampai kita mendustakan segala karunia Tuhan. Melupakan segala nikmat yang diberikan Tuhan. Jangan sampai kita mengingkari Nya. Allah menjanjikan surga untuk orang-orang yang beriman, yang senantiasa taat patuh kepada perintah Nya. Kau camkan itu, nak!’ kata ibu.
Tanpa disadarinya, air mata Imran juga mengalir. Diambilnya tafsir al Quran. Dibukanya surat ar Rahman dan dibacanya arti ayat-ayat itu. Imran pun menangis.
Di luar hujan sudah mulai turun. Cukup lebat. Bunyi air hujan jatuh, menderu di atap seng. Terdengar pula suara guruh.
Imran ingat cerita mimpi ibu tentang petir. Dadanya berdebar-debar. Tapi, bukankah beberapa hari yang lalu petir menyambar berkali-kali, tidak terjadi apa-apa? Apakah ini sebuah firasat? Atau terbawa larut oleh ma’na surat ar Rahman?
Ibu sudah tertidur. Dipandanginya wajah ibu. Ibu tersenyum dalam tidurnya. Mungkin ibu tengah bermimpi. Imran berusaha pula untuk tidur.
***** Klik Derai-derai Cinta (5) : Alam Yang Ganjil untuk membaca tulisan sebelumnya
Trackback(0)
|