Dari pagi ke pagi, mulut-mulut itu, satu demi satu, bagai beralih-rupa menjadi toa. Bila toa di surau mengumandangkan azan, maka toa-toa segala rupa yang terpancang seperti antena itu begitu kemaruk memancar-luaskan gunjing, asung, dan pitanah, bahkan sekali-dua melepas umpat dan makian. Gema suara mereka bagai gendang irama gambus di musim helat, begitu semarak, begitu menyentak. Ah, betapa lekas, betapa gegas, gunjing itu tersiar, bahkan jauh sebelum pantang dan larang kami langgar. Toa-toa itu bagai beranak-pinak, sambung-menyambung, balik-bertimbal, berteriak di pangkal kuping kami. Perihal beban berat yang bakal ditimpakan di pundak kami, tentang utang yang selekasnya mesti kami lunasi. Diselang-selingi pula dengan peringatan yang kadang terdengar serupa ancaman: ”siapa melompat siapa jatuh.” Sekali lagi, jauh sebelum pantang dan larang yang disebut-sebut itu kami terabasi. Seolah-olah kami telah lengah menimbang dan menakar, bahwa bila ”hidung dicucuk, tentulah mata bakal berair.”
Toa yang terus menyala itu telah menjadi sebab paling absah menghilangnya yang terhormat pengulu kami, Bendara Gemuk. Sudah empat petang tak tampak batang hidungnya di lepau kopi, tidak pula di surau. Di usia kepala tujuh, Gemuk tentu tiada bakal pergi jauh. Sesungguhnya ia tidak pergi, hanya saja tidak pulang, dari ladang gambirnya, di rimba Cempuya. Mengingat, kerabat dekat kami, Julfahri, bersikeras hendak mempersunting Nurhusni, yang tidak lain adalah juga sanak famili kami. Dua sejoli yang sedang mabuk kepayang itu berasal dari rumpun yang sama: Larenjang. ”Kawin sesuku,” demikian leluhur kami menukilkan sebutan bagi pantang dan larang itu. Bila dilanggar, suku kami akan terbuang. Julfahri dan Nurhusni wajib kami hapus dari ranji silsilah dan hak waris. Keduanya diharamkan menginjakkan kaki di tanah Larenjang. Mereka harus angkat kaki dan tidak akan pernah ada tempat berpulang. Sementara itu, dalam beberapa musim, akibat menerabas pantangan, orang-orang Larenjang, tanpa kecuali, akan dikucilkan dari pergaulan antarsuku. Bagi kami, tidak akan berlaku lagi, duduk sama- rendah, apalagi tegak sama-tinggi. Pucuk pimpinan yang membawahi semua wilayah persukuan akan menetapkan denda, dan hukuman yang mesti kami jalani. Pendeknya, sebagaimana Julfahri dan Nurhusni, kami pun bakal merantau, meski bermukim di kampung sendiri. Maka, bagi Bendara Gemuk, daripada hidup berkalang malu, tentulah lebih baik mati berkalang tanah. Ia bertahan di rimba Cempuya, menggelepak di dangau lapuk dengan bekal seadanya. Meski lengang dan hawa dingin menusuk-nusuk tulang tuanya, tetap saja terasa lebih baik ketimbang terus-menerus mendengar desas-desus yang tak kunjung reda. ”Kenapa awak mesti menghamba pada aturan usang itu?” begitu Julfahri berkelit ketika Gemuk mendesaknya untuk membatalkan rencana itu. ”Mentang-mentang bersekolah tinggi, berani kau melanggar pantangan adat?” bentak Gemuk. ”Kami tidak punya hubungan tali-darah, jadi kami bisa menikah! Kami siap dibuang dari Larenjang!” ”Tapi, bagaimana dengan kami yang akan menanggung malu seumur- umur?” ”Bila tidak berbuat salah, kenapa harus malu?” ”Kau tidak takut akibat dari melanggar pantangan itu?” ”Awak hanya takut melanggar ajaran Tuhan!” ”Jaga mulutmu, Julfahri. Bisa kualat kau nanti!” Kami tidak menutup mata, bahwa tiga dari lima pengulu di setiap suku di kampung ini lebih kerap beroleh celaan ketimbang menerima pujian. Alih-alih mencurahkan perhatian pada kemenakan, mereka lebih kerap menjadi benalu dalam suku. Betapa tidak? Tengoklah para pengulu itu, bagai berlomba-lomba mengeruk kekayaan suku, lalu hasilnya diboyong ke rumah anak-bini. Mentang-mentang berkuasa, tak segan-segan mereka menggadai- melego tanah suku, guna membangun rumah batu, untuk istri dan anak-anaknya, sementara banyak kemenakannya putus sekolah lantaran tidak ada biaya. Maka jangan heran, kalau ada pengulu yang sudah dibawa-lalu, tidak lagi diperlakukan sebagaimana pengulu. Sekali waktu, ada pengulu yang sampai babak belur setelah dihajar-digebuk oleh kemenakannya sendiri. Namun, yang terhormat Bendara Gemuk, selalu dapat kami kecualikan. Sejak dulu, belum sekali pun ia mengecewakan kami. Nyaris separuh umurnya telah habis oleh segala macam urusan kemenakan. Tak jarang ia mesti bersitegang urat leher dengan istrinya, lantaran perhatiannya lebih tercurah pada kemenakan dalam suku Larenjang. Perkara seremeh apa pun yang menimpa kami, Gemuk selalu menjadi orang yang pertama kali turun-tangan menyelesaikannya. Bahkan bila terjadi kegentingan, ia tidak gamang ”pasang-badan” demi membela kami, para kemenakannya. Suatu hari, ketika judi sabung merajalela di kampung ini, kami tertangkap tangan dan beberapa hari harus meringkuk di sel kantor polisi. Bendara Gemuk kasak-kusuk, berupaya mencarikan jalan, agar secepatnya kami terbebas dari kurungan. Begitu pun ketika kerabat kami Julfahri bertekad hendak menjadi sarjana, meski ibu-bapaknya melarat. Gemuk pula orang yang tak bisa dilupakan jasanya. Betapa tidak? Waktu itu, di kota provinsi, ia mencarikan induk-semang bagi Julfahri. Dari sanalah ia dapat membiayai kuliah hingga tercapai juga cita-citanya. Dan, ketika tiba masanya kami menerima pembagian jatah lahan untuk berladang, Gemuk melakukan pembagian dengan cara seadil-adilnya hingga tak seorang pun dari kami yang merasa kurang, apalagi mencurigai ada yang curang. Bila ada keluarga kami yang jatuh sakit, Gemuk yang pertama kali tahu kabar itu. Apalagi bila ada di antara kami yang merasa sudah patut menikah, Gemuk mengurusnya hingga tuntas. Pokoknya, bagi kami orang-orang Larenjang yang tak sempat mengecap sekolah tinggi ini, Bendara Gemuk lebih dari sekadar pengulu. Kami menghormatinya, sebagaimana kami menghormati ayah kami. Ajaran dan nasihatnya kami patuhi sebagaimana kami menuruti ajaran ibu-bapak kami. Maka, membuat lelaki sepuh itu terluka, sama dengan melukai perasaan kami. Merendahkan martabat Gemuk berarti juga menghina kami. Melangkahi Gemuk adalah juga menampar muka kami. Oleh karena itu, siapa pun yang mendukung rencana pernikahan terlarang antara Julfahri dan Nurhusni akan berhadapan dengan kami. ”Bila ajal Gemuk lebih lekas lantaran menanggung malu akibat perangai gilamu itu, kau tak bakal selamat!” begitu kami menggertak Julfahri. ”Lantaran kami tidak berpendidikan sepertimu, kami tidak pandai menyelesaikan kusut ini dengan cara berunding.” ”Lalu dengan cara apa kalian akan menyelesaikannya?” tanya Julfahri, pongah. ”Dengan kerat kayu. Paham kau, keparat busuk?” ”Atau mulut besarmu itu kami sumpal dengan ketupat bengkulu!” Di usia sepetang ini, hidup sebatangkara di tanah rantau pula tentu akan menjadi tahun-tahun penghujung yang sulit bagi lelaki ringkih itu. Selepas kematian Yanuar, ia mengira musibah bakal bersudah. Namun, suratan nasib berkata lain, tak lama berselang, Imelda, anak perempuan yang dibangga-banggakannya, mengidap kanker otak stadium puncak. Berbagai cara telah ditempuh Julfahri dan Nurhusni guna menyelamatkan satu-satunya keturunan mereka yang tersisa. Selepas menjalani operasi dengan pertaruhan hidup-mati, kondisi Imelda kian memburuk. Julfahri dan Nurhusni mulai dihantui rasa gamang pada kehilangan yang kedua. Mereka begitu waswas, begitu cemas, bilamana hidup Imelda berakhir seperti saudaranya, Yanuar. Itu berarti mereka tidak akan punya siapa-siapa lagi, selain harta-benda yang melimpah-ruah itu. Apa guna kekayaan yang bertahun-tahun ia kumpulkan, bila akhirnya ia hidup seorang diri? Sementara itu, dalam kecemasan bakal kehilangan Imelda, istrinya perlahan-lahan menunjukkan tanda-tanda orang yang kurang sehat. Badannya kurus, sorot matanya begitu sayu, tak bergairah sebagaimana dulu. Kerisauan Julfahri kian bertambah-tambah. Dan, setelah berkali-kali diperiksa, Nurhusni divonis menderita diabetes, yang akhirnya berujung pada kehilangan daya penglihatannya. Buta permanen. Hanya berselang satu tahun selepas kepergian Imelda untuk selamanya, Nurhusni, perempuan yang diperjuangkan Julfahri dengan cara melanggar pantang dan larangan adat, mengembuskan napas penghabisan. Ah, betapa lekas, betapa gegas, orang-orang dekat Julfahri pergi. Musibah yang bagai sambung-menyambung itu mengingatkan ia pada mulut orang-orang kampungnya puluhan tahun silam, yang dari pagi ke pagi, bagai bersalin-rupa menjadi toa. Memaklumatkan gunjing dan pitanah perihal orang-orang Larenjang yang bakal terbuang, bahkan sebelum pantang dan larang itu dilanggar. Kenangan usang itu pula yang membangkitkan ingatannya pada Bendara Gemuk, yang di masa itu terpaksa menyingkir dari kampung, lantaran tak sanggup menanggung malu. Kini, setelah puluhan tahun perantauannya di tanah seberang, tajam sorot mata pengulu yang separuh usianya telah terkuras oleh urusan orang-orang Larenjang itu, kerap muncul dalam lamunannya. Ia sukar melupakan jasa Bendara Gemuk yang telah mencarikan induk-semang di kota provinsi, hingga ia bisa bekerja dan membiayai kuliah, meraih cita-cita sarjananya. Dan, yang paling menghantui kesendiriannya saat ini adalah perseteruan hebatnya dengan Bendara Gemuk sebelum ia nekat melanggar pantang. Ia menyadari, betapa perbuatannya di masa lalu telah melukai hati pengulu, dan menistai keluarga besar suku Larenjang. Hingga bumi jungkir-balik pun, kesalahan fatal itu tiada bakal terampuni. Tanah orang-orang Larenjang sudah mustahil menjadi tempat ia berpulang. Dalam kesepian yang terasa semakin ganjil, kadang lelaki renta itu berangan- angan, kelak bila waktunya tiba, ia ingin dimakamkan di tanah pemakaman suku Larenjang. Pulang ke pangkal jalan. Namun, tiba-tiba saja ada yang mendenging di kupingnya, dan lekas ia batalkan niat itu. Bila menimbang pantang dan larang yang telah ia langkahi, apalagi menakar arang yang tercoreng di kening Bendara Gemuk, dan amarah orang-orang Larenjang, tanah pemakaman itu tiada bakal sudi menerima bangkainya. Tanah Baru, 2011 Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/17/03565016/orang-orang.larenjang
Trackback(0)
|