Tahun 1963 Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto tak menyelesaikan pendidikan dasarnya karena tak ada dana. Namun, lelaki yang akrab disapa Mak Katik itu menjadi dosen yang diundang mengajar adat Minangkabau hingga ke University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia.
Di dalam negeri, Mak Katik mengajar di Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas, Padang. Setelah setahun mengajar di Malaysia, mulai semester ini Mak Katik kembali mengajar di Universitas Negeri Padang untuk mata kuliah Etnologi Minangkabau dan Falsafah Adat Minangkabau.
Bukan hanya aktivitas sebagai dosen yang membuat Mak Katik dihormati, perjuangannya menjaga dan mengajarkan adat Minangkabau tanpa letih sejak 1970 adalah dasar hormat untuknya. Dalam pandangannya, adat Minangkabau yang bersendikan syariat (hukum agama) dengan pegangan adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (adat bersendikan hukum agama dan hukum agama bersendikan kitab suci) itu makin luntur pemahamannya di masyarakat.
Akibatnya, berbagai perilaku masyarakat berjalan dalam rel yang menyimpang. Itu tak sesuai lagi dengan adat Minangkabau yang sesungguhnya. “Contohnya soal berpakaian. Masak ada orang datang melayat ke kuburan pakai celana jeans,” kata Mak Katik.
Ia menyebut konsep adat Minangkabau soal berpakaian yang meliputi penutup tubuh, penutup malu, penutup aurat, dan pelindung dari miang (lugut pada batang bambu), telah bergeser jadi sekadar pembungkus tubuh.
Dalam berbagai kesempatan, ia juga melihat betapa pemahaman sebagian besar masyarakat soal adat Minangkabau telah menyimpang jauh. Contohnya, saat Mak Katik memberi kuliah di Institut Teknologi Bandung. Ketika itu ia digugat beberapa pendengarnya soal persepsi kelicikan yang terkandung dalam pantun berbunyi taimpik nak di ate, takurung nak di luar (ketika terimpit ingin berada di atas, ketika sedang terkurung ingin di luar).
Menurut Mak Katik, pantun itu tak dimaksudkan agar orang menjadi licik. ”Ini adalah pemacu agar kita terus berpikir jauh ke depan, dan menjadi lebih baik setiap harinya,” kata Mak Katik.
Pantun itu lantas disambungkan dengan simbol berupa pucuk tanaman rebung yang terdapat pada rumah-rumah adat Minangkabau. Maksudnya, perubahan yang lebih baik itu harus terjadi setiap hari.
”Pucuk rebung kan naik setiap hari. Ini yang namanya alam takambang jadi guru (alam terhampar menjadi guru),” katanya menjelaskan.
Mak Katik belajar adat istiadat Minangkabau secara lengkap sejak 1959. Ia mengingat tiga guru yang mengajarnya pada masa awal itu, dengan cara menyalin naskah paragraf per paragraf di kertas perokok. Ini dilakukannya setiap malam. Ketiga guru itu adalah Rangkai Tuah Kabun, Mak etek Jaka, dan Datuk Tongga. Mak Katik menimba ilmu hingga ketiganya meninggal dunia tahun 1980-an.
Ia belajar seluruh aspek adat istiadat dan budaya dari ketiga guru yang sekampung dengannya itu, di Batipuah Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar (kini termasuk Kota Padang Panjang). Ia belajar membikin pantun, membuat naskah randai (kesenian Minangkabau yang dimainkan berkelompok dalam perpaduan sandiwara dan gerak tari, berasal dari pencak silat), bermain saluang (alat musik tiup), menguasai pencak silat, hingga memainkan talempong (alat musik pukul).
Dari ratusan murid Rangkai Tuah Kabun, Mak Etek Jaka, dan Datuk Tongga, hanya Mak Katik yang diajari dan mendapat ”warisan” seluruh ilmu dan pengetahuan mengenai adat dan budaya Minangkabau.
”Cuma main rebab (alat musik gesek) saja saya tak bisa karena memang tak pernah diajari,” kata Mak Katik, anak kedua dari delapan bersaudara itu.
Tolak jadi stempel
Tahun 1967 Mak Katik pindah ke Kota Padang. Ia bekerja pada usaha percetakan. Siang saya kerja, malamnya berkeliling ke sanggar-sanggar di Kota Padang. Awalnya saya hanya melihat-lihat saja,” katanya.
Dari sekadar melihat-lihat, ia lalu berani memberikan komentar. Akhirnya, ia ikut dalam pusaran aktivitas kebudayaan itu. Lama-kelamaan Mak Katik mulai dikenal. Salah satu yang dikenangnya, saat untuk pertama kali kesenian randai dipentaskan oleh etnis Nias dan keturunan China tahun 1976.
Pementasan itu menandai diresmikannya Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Pentas budaya yang menandai kerukunan antaretnis dan keyakinan itu berlangsung hingga 1985, sebelum berhenti karena regenerasi tidak berjalan.
Tahun 1993 izin usaha percetakan yang ditekuni Mak Katik habis. Namun, ia masih menekuni usaha itu hingga 1996, sebelum fokus menjadi pekerja kebudayaan.
Sebelumnya, tahun 1992 ia ditawari menjadi anggota DPRD Sumatera Barat mewakili kelompok tarekat Satariah. Tawaran itu ditolaknya. ”Waktu itu kan masuknya dari Golkar. Saya tak mau kebudayaan Minangkabau nantinya hanya dijadikan pembenaran segala kebijakan dewan, hanya jadi stempel. Jadi, tawaran itu saya tolak.”
Kemampuan dan dedikasi Mak Katik terkait adat istiadat dan kebudayaan Minangkabau telah menarik perhatian Kirstin Pauka, peneliti dari Universitas Hawaii yang tengah meneliti adat Minangkabau, khususnya randai. Gayung bersambut, dan Mak Katik untuk pertama kali bertandang ke Universitas Hawaii untuk mengajar pada periode 2000-2011.
”Tahun 2011 nanti, jika saya masih sehat dan insya Allah masih ada, saya akan kembali mengajar di sana (Universitas Hawaii),” katanya.
Hal yang diingat Mak Katik dari kunjungan perdananya ke Hawaii adalah tak dikenalnya budaya dari daerah-daerah lain di Indonesia, selain Jawa dan Bali. Bahkan ia berkesimpulan, pemerintah saat itu memang berusaha menghilangkan eksistensi kebudayaan dari daerah lain di Indonesia. Akibatnya, kebanyakan orang di luar negeri menganggap kebudayaan Indonesia hanya diwakili Jawa dan Bali. ”Sampai hari ini itu terjadi,” katanya.
Oleh karena itulah, dalam kelompok kerja kebudayaan bernama Palito Nyalo yang ikut dikelolanya, Mak Katik rajin memberikan pemahaman tentang adat Minangkabau kepada siapa saja. Ia mendatangi sekolah-sekolah, berbagai lembaga, hingga para perantau yang haus pemahaman adat dan budaya Minangkabau. Kepada orang-orang itu, ia memuaskan dahaga mereka dengan menafsirkan bentuk kebudayaan yang masih bisa ditemukan.
Tak ada biaya dikutip secara khusus, tetapi sesuai dengan kesanggupan dan keikhlasan saja. Tujuannya ingin menyebarkan dan meluruskan pemahaman yang selama ini cenderung keliru soal kebudayaan Minangkabau.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/07/20/0234198/mak.katik.pelurus.adat.minang
Trackback(0)
|