Indra Utama adalah koreografer, dosen STSI Padangpanjang, kini belajar di Universiti Malaya
Ada hal menarik di Nagari Pasar Baru, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan. Tepatnya di Kampung Pasie. Masyarakat Pasar Baru menyebutnya Kampuang Subarang (seberang). Mungkin karena letaknya dibatasi oleh sebuah sungai. Padahal berjarak beberapa meter saja dari pasar. Untuk sampai ke sana harus melewati sebuah jembatan gantung yang lantainya sudah banyak lapuk dan berlobang.
Sebelum sampai di jembatan gantung itu, kita akan melewati samping kantor wali nagari yang satu sisi gonjongnya dipotong untuk keperluan perluasan jalan ke Kampuang Pasie. Hal demikian menyebabkan bentuk gonjongnya terlihat timpang dan tidak simetris. Sebab gonjong sebelah kanan masih ada dua, sementara yang sebelah kiri tinggal satu. Mungkin satu-satunya di Sumatra Barat, ada kantor wali nagari yang memiliki gonjong seperti itu.
Kampuang Pasie memiliki 36 rumah yang berdiri di antara pohon-pohon kelapa. Keadaan itu menunjukkan bahwa di sana terdapat 36 kepala keluarga. Posisi rumahnya berhadap-hadapan mengikut sebuah jalan kecil di tengahnya. Rumah-rumah itu terletak memanjang mengikut tepi pantai.
Umumnya kondisi rumah berdinding kayu beratapkan seng dan daun kelapa (atap rumbia). Lantainya pun terdiri dari papan, dan di antaranya ada yang masih berlantaikan tanah. Rumah-rumah tersebut semuanya tidak mempunyai penerangan listrik sekalipun pemerintah sudah memasukkan aliran listrik ke daerah itu. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk biaya pasang baru listrik, apalagi untuk bayar bulanannya. Konon, listrik bisa masuk ke kampung itu adalah karena adanya aktivitas kesenian tradisional. Mungkin disebabkan itu pula, pada setiap pintu rumahnya terdapat tulisan ”RUMAHTANGGA MISKIN” yang sengaja “distempel” untuk koordininasi bantuan pemerintah.
Entah suka ataupun tidak, tulisan itu kekal berada di sana, dan masyarakatnya pun terlihat tidak peduli dengan tulisan itu. Mereka menganggap sama saja antara tulisan itu ada ataupun tidak, karena memang kehidupan mereka tidak pernah berubah sekalipun ada ”stempel” yang menyatakan mereka adalah keluarga miskin.
Umumnya pekerjaan kaum lelakinya adalah nelayan. Mereka melaut setiap hari ketika laut tenang. Berangkat sesudah shallat subuh dan kembali menjelang tengah hari. Siangnya, pekerjaan dilanjutkan dengan mengojek yang menggunakan sepeda motor kredit.
Untuk kaum perempuannya, mereka tinggal di rumah. Beberapanya melakukan usaha tambahan dengan cara berjualan makanan kecil ataupun warung minuman. Pada sore hari, kaum perempuan itu terlihat berkumpul di depan rumah, ngobrol wira-wiri sambil memperhatikan anak-anaknya bermain. Umumnya anak laki-laki bermain dengan bertelanjang dada, namun terlihat sehat. Tawanya renyah dan polos, sepolos jiwa yang belum tersentuh kehidupan di luar sana. Permainan anak laki-laki umumnya adalah layang-layang, dan anak perempuan bermain congkak. Ada juga di antaranya bermain sepakbola di antara pohon-pohon kelapa, menyatu dengan binatang ternak itik dan ayam yang berkeliaran.
Di Kampuang Pasie banyak terdapat anak-anak usia sekolah. Umumnya mereka ada bersekolah sekalipun hanya sampai tamat Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Setelah putus sekolah, mereka umumnya bekerja mengikut tradisinya. Atau bagi anak-anak perempuan menunggu nasip dipinang lelaki.
Selintas kehidupan mereka terlihat damai, seolah tidak ada beban. Hubungan kekeluargaan yang dibina antar penduduknya pun terlihat harmonis. Kepala kampungnya nampak bersahaja, sehari-hari terlihat akrab bersama masyarakatnya. Sebuah cerminan kehidupan homogen yang tidak terpengaruh dengan hiruk-pikuk politik dan berbagai kepentingan di luar daerah itu.
Uniknya, di daerah ini kesenian tradisi hidup dengan baik. Masyarakatnya dengan senanghati terus memelihara seni tradisi mereka dengan cara melibatkan anak-anaknya berkesenian. Ada rasa bangga bagi masyarakatnya ketika anak-anak mereka pandai memainkan kesenian tradisi. Sama halnya dengan beberapa orang ibu muda yang ikut menari dan bermain talempong, sekalipun itu dilakukan sambil menggendong anaknya yang masih balita.
Ternyata, aktivitas kesenian tradisi tidak selalu berkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi. Tidak seperti umumnya kesenian tradisi yang saat ini ada di banyak tempat, baru mau bergerak apabila dananya mencukupi. Buktinya ada di Kampuang Pasie. Mereka berkesenian dengan prinsip suka-suka, untuk tujuan membina rasa kebersamaan, sambil melepaskan lelah setelah seharian bekerja.
Untuk menampung aktivitas tersebut secara lebih baik, maka di Kampuang Pasie didirikan sebuah perkumpulan seni yang diberi nama ”Sanggar Tradisional Riak Maampeh”. Barangkali pengertian kata ”sanggar” hanya dimaksudkan sebagai perkumpulan saja, karena memang ianya tidak memiliki sistem menejemen yang baku. Semuanya boleh jadi ketua sanggar, tergantung apa keperluannya. Sanggar itu dibina dengan semangat kebersamaan, baik bagi orang-orang yang sudah berumur lanjut maupun bagi anak-anak mudanya. Mereka pun telah pernah memenangkan pertandingan randai se-Kabupaten Pesisir Selatan. Sebuah kebanggaan yang selalu mereka sebut dalam setiap pertemuan.
”Sanggar Tradisional Riak Maampeh” memiliki enam buah tari tradisi, seperangkat telempong pacik dan gendang, dabuih, dan randai. Keenam tari tradisi itu adalah Tari Buai, Tari Rantak Kudo, Tari Galombang 12, Tari Kain, Tari Ilau, dan Tari Benten. Semua tari tradisi itu, gerakannya bersumberkan kepada Silek Angpanglimo, yaitu sejenis Silek Harimau yang berasal dari Silek Kumango di Luhak nan Tigo. Akan tetapi aktivitas ilmu beladiri ini secara kolektif tidak dilakukan lagi. Sasarannya sudah mati. Kalaupun masih ada aktivitas silat, hal tersebut dilakukan secara privat saja, orang per orang.
Para pemainnya adalah para nelayan, para ibu rumahtangga, dan anak-anak. Mereka melakukan latihan rutin dua kali dalam seminggu, bertempat di halaman sanggar yang berpasir di bawah penerangan lampu jalan.
Adalah Darlis gelar Rang Tuo, 64 tahun, yang bertindak sebagai motivatornya. Beliau juga berperan sebagai pengarang naskah randai. Selain itu, kumpulan ini dibantu oleh Pak Kamardin Rajo Magek, 66 tahun, suku Chaniago, dan pak Ali Amat, 54 tahun, suku Melayu. Kedua orang ini dikenal sebagai seniman tradisi Nagari Pasar Baru, tapi tidak termasuk warga Kampuang Pasie. Sekalipun demikian mereka berdua ikut bergabung dengan ”Sanggar Tradisional Riak Maampeh” karena memiliki virtuositas yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Pak Kamardin memiliki hampir semua kepandaian seni tradisi, mulai dari meniup pupuik batang padi, berdendang khas Pasisie, main gendang dan talempong, serta pencaksilat dan tari. Sedangkan pak Ali Amat adalah salah seorang murid beliau yang selalu tekun memainkan seni tradisi di nagari itu. Dulunya, mereka berdua adalah pemain dari kumpulan seni ”Pantai Bayang” yang terdapat di kampung lain. Namun kumpulan seni itu sekarang sudah mati.
Sebagaimana umumnya kesenian tradisi Minangkabau, utamanya dalam bentuk tarian, struktur penampilannya selalu dimulai dengan sambah pembuka dan diakhiri dengan sambah penutup. Di antara kedua sambah itu terdapat rangkaian gerakan yang mencerminkan tata kehidupan masyarakat Minangkabau yang demoktaris, santun, beretika, dan berestetika. Kesenian itu juga mengungkapkan kehidupan masyarakatnya yang mengutamakan raso jo pareso dalam bertindak, memiliki rasa kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, barek samo dipikua ringan samo dijinjiang. Cerita-cerita yang dimainkan pada Randainya pun mengungkapkan hal yang sama.
Di Kampuang Pasie, dengan kehidupan masyarakatnya yang diberi ”stempel” RUMAHTANGGA MISKIN, terdapat kehidupan kesenian yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya yang bersahaja. Melihat keadaan demikian, barangkali tepat apa yang disampaikan Umar Khayam (1981:38-39), menyatakan bahwa seni tradisi, adalah ekspresi budaya yang tidak berdiri lepas dari masyarakatnya. Kesenian itu lahir sebagai wujud daripada kegelisahan kreatif masyarakatnya, kemudian menjadi kebanggaan pelakunya, menjadi simbol yang menunjukkan identitas diri, dan dapat mewakili keberadaan masyarakat pendukungnya secara kolektif.*
Kuala Lumpur, 15 Mei 2008
Trackback(0)
|