Pituah |
Adaik iduik tolong manolong Adaik mati janguak manjanguak Adaik lai bari mambari Adaik indak baselang tenggang Janji nan biaso mungkie Titian nan biaso lapuak Pantang di anak minangkabau |
|
Written by DY Endah Kayo (DYEK)
|
Monday, 13 July 2009 |
Selayang mata memandang, masih samar mungkin tertidurlah kiranya, tak terasa kantuk masih merana, mata tak kuat di buka, tapi rasanya tak kuat pula mengalahkan rasa lapar yang telah lama menyerang, mau lelap saja rasanya, tapi yakin tak akan lama, siapa kuat menahan paksaan dahaga. Dalam pada itu, seorang pemuda telah duduk disampingnya, langsung saja menabuh menyuruh bangun.
“Hai, Buyung…, bangunlah, sudah dari pagi tadi kulihat kau tidur dipelataran pasar di jenjang gudang ini, sudah jam 4 sekarang, kau lewati shalat Zhuhur, seperti tak pernah saja kau ini mengaji”, sorak pemuda itu. “Wah ternyata, sahabat teman ceritaku rupanya, ada apa dia jam 4 sudah bertandang ke para-para ku ini”, begitu pikir Buyung “Ah kau, ternyata kau Sul, ada apa, tak pernah kau jam 4 sore begini keluar dari sarang kau, jam sibuk berdagang kau harusnya, kenapa kau tutup cepat, mau pulang rupanya, sudah habis dagangan kau Sul”, sapa Buyung dengan sedikit kesal setelah dibangun paksa “Yah belum lah Yung, kebetulan si Kari lagi ada, kuliahnya libur, jadi dia punya waktu untuk bantu aku”, jawab Samsul. Kari Raman ini memang luar biasa, orang tuanya sudah meninggal, ada tanggungan 2 adik perempuan, tekatnya kuat harus kuliah. Kerja bersama Samsul di kios tepung milik Samsul yang mulai dirintis tiga tahun lalu. Samsul senang saja menerima Kari untuk membantu dia, sewaktu Kari minta ijin kepada Samsul untuk mengambil kuliah sore, tiga kali semiggu Samsul mengijinkannya, bahkan Kari Raman tetap dibayar dengan gaji penuh. Kata Samsul mudah-mudahan jadi orang lebih kau Kari dari pada aku. Samsul sebenarnya bukan pula sembarang orang , kuliah pula dia dulunya, Akhirnya pekerjaan darah daging ini juga dia lanjutkan, berdagang, walaupun Samsul telah menjadi Sarjana. Bukannya berlumut Samsul di bangku kuliah, termasuk 10 besar tercepat dia lulus, 5 tahun. Lulusan Fakultas Hukum, dicoba cari kerja kesana kemari, tapi tak satupun yang menyangkut. Mau jadi pengacara, wah susah, banyak pula syaratnya, maunya Samsul belajar dulu masuk ke kantor pengacara tapi tak ada yang menerima. Apalagi hendak melamar jadi PNS, sudah bertukar masa, takdir tak tega untuk bersama. Samsul telah berusaha menunggu sambil melamar, satu tahun sudah dihabiskan, tahun berikutnya ‘pesaing’ baru dari adik kelas dan teman-teman yang baru menyusul lulus menjadi saingan pula dalam merebut pekerjaan yang kuenya semakin berkurang. Kue pekerjaan itu semakin berkurang saja karena banyak yang melanjutkan ke jenjang strata 2 dan menjadi pesaing berkelebihan sewaktu sama-sama melamar dalam pekerjaan. Semakin banyak saja lawan jadinya, sementara hidup dan kehidupan harus tetap dipertahankan. “Darimana aku mendapatkan air untuk membasahi kerongkongan, mau minta ke orang tua tentu malu pula terasa”, suatu kali gumam Samsul. “Sul…ada apa Sul, kenapa, ada yang kau mau ceritakan, biar kawan kau ini agak goyang-goyang hidupnya, tapi urusan masukan, nasehat sudah kau rasakan buktinya kan, jangan ragu kau pegang kata teman kau ini”, selip BuyungKoboy meyakinkan Samsul dari ketermenungan “Itulah Yung, karena itu Aku datang kepada kau”, sela Samsul “Ada apa cerita lah, Frend”, pinta BuyungKoboy (mana tahu gosip pikir BuyungKoboy) “Begini Yung, si Nur makin hilang saja dia dari pandangan, tak lagi dia mau menyapa, dulu sering dia memberi kabar, sekarang sudah bertanya pun tak ada jawaban”, cerita Samsul “Sibuk mungkin dengan prakteknya, maklum si Nur kan baru habis PTT Sul, sekarang kembali lagi ke Jakarta, mungkin melanjutkan spesialis ya Sul”, sambung BuyungKoboy. “Ah, Kau tahu saja Yung, dari mana kau dapat info, aku dengar begitu beritanya, mau mengambil spesialis kulit katanya, itupun aku dengar dari si Anun, kawan main si Nur waktu di kampung kita ini dulu”, sela Samsul “Sudah kubilang kan Sul, apa yang tak tahu Buyung ini, Buyung Koboy, kalau ada info tentang pasar dan isinya, jangankan orang, gerobak, batu-batu, lapak-lapak, bahkan barang dagangan kau itupun kan membuka mulutnya untuk membisikkan ke aku”, seloroh Buyung “Sudahlah Yung, banyak benar lambungan kata kau, tak bisa jadinya aku mencurah kata kepada kau Yung”, pintas Samsul “Ya-ya sori Lai, aku dengar, ada apa”, sela Buyung “Ya itu tadi Yung, kenapa si Nur ini tidak lagi memberi kabar berita kepada ku, pesan yang kukirim tidak pernah dia balas. Kau ingat kan dari SMA dulu bahkan sampai kuliah, kata Nur dulu, “Aku akan tetap setia ke Uda Samsul walaupun aku kuliah di Tanah Jawa, walaupun Uda melanjutkan Kuliah di Kota ini, aku akan tetap ingat dan menunggu Uda. Sekarang kita kejar dulu cita-cita bersama ya Uda Samsul”, begitu kata indah si Nur sebelum dia kulepas pergi ke tanah Jawa di depan terminal. “Begitu senang dan penuh harapnya Aku sewaktu itu Yung, tahulah Kau si Nur dapat di UI Jakarta dan aku hanya melanjutkan ke Swasta di Padang, si Nur dapat di Kedokteran, aku mengambil kuliah Hukum, temanku mengejek, ah si Samsul mengambil kuliah itu karena malu dengan si Nur yang kuliah di Kedokteran di Jakarta”, cerita Samsul berlanjut “Padahal tak ada niat malu ku sedikitpun, aku murni ingin kuliah karena tak dapat Universitas Negeri, aku ambil kuliah di di Perguruan Tinggi swasta, aku serius, buktinya IPK ku hasilnya sangat memuaskan, diatas 3 IPK ku, tapi sampai sekarang rasanya ditutup saja pintu pekerjaan buat ku. Teman-teman ku ada yang di bawah aku IPK nya tapi sekarang sudah jadi pegawai kejaksaan dia”, sambung Samsul memelas Tiba-tiba dalam perbincangan itu si Upik Leba datang menghinggap, seperti Kaka Tua saja rasanya, dengan mata yang dibulatkan dan penuh gaya si Upik bercerita. “Eh Tuan Buyung, tak tahu Tuan ada berita baru nih, Tuan pasti terperangah, si Datuk itu”, tiba-tiba si Upik Leba menyela “Datuk itu apa, kau ini bagaimana, bersijelas lah kalau bicara”, paksa Buyung dengan suara keras “Datuk…. Datuk Meringgih itu”, Upik mulai gugup “Ya kenapa Datuk Meringgih itu”, bentak Buyung yang tak sabar “Datuk Meringgih mau melamar Siti”, suara Upik Leba pelan “Siti siapa”, tiba-tiba Samsul Bahri menyela.. “Eh, Uda Samsul, disini Uda rupanya”, melayuk lagi alunan Siti “Ah seperti tak melihat saja kau Upik, dari tadi dia duduk disitu., lanjutkan cerita kau“, kata Buyung ”Ma… maaf ya Uda Samsul, maaf karena sudah terlanjur saya ceritakan saja ya”, pinta Upik Leba ”Ya cerita saja, memang kenapa”, perintah Samsul dengan tegang ”Datuk Meringgih, melamar Siti...Uda”, dengan sedikit gugup Upik Leba melepaskan kata ”Siti mana...”, paksa Samsul yang semakin merah padam raut mukanya “Ya Siti Nurbaya, tunangan Uda Samsul”, tanggung basah Upik berseloroh mantap “Kurang ajar, kurang ajar Datuk Meringgih , mentang-mentang dia sekarang sudah anggota dewan, isterinya yang sudah molek satu itu tidak cukup buat dia.. Aku akan kerumahnya buat perhitungan”, celetuk panas Samsul “Tunggu-tunggu dulu Uda”, kata Upik sambil merentangkan tangan “Tunggu kenapa”, potong Samsul “Nah ini lah masalahnya, orangtuanya tidak setuju juga, sama dengan Uda, tapi yang menjadi masalah....”, lanjut Upik Leba ”Apa lagi masalahnya Pik, kenapa kau bercerita sepotong-sepotong”, teriak Samsul yang masih berpanas hati ”Masalahnya di Siti Uda, Siti senang dengan lamaran itu. Sudah sedih orangtuanya, membenar-benar ibunya, tak diindahkannya. Dia menerima rancangan lamaran Datuk itu. Apa masalahnya katanya. Datuk Meringgih orang baik, berpangkat pula, disegani orang sekampung”, kata Upik Leba menyampaikan alasan Siti ”Tapi kan dia sudah berumur, hampir kepala 5, sudah berisiteri pula”, balas Samsul tidak habis pikir ”Hal itu sudah saya tanyakan Uda, namun pandai pula si Siti berkilah, biar Datuk berumur hampir kepala 5, tapi panutan para perempuan kebanyakan , bagi isterinya juga tidak masalah”, cerita Upik berlanjut menjelaskan alasan Siti “Ah, begitu, pantaslah dia tak mau lagi mengirim kabar kepada ku”, Sela Samsul dengan kemarahan ditahan ”Ya begitulah Uda Samsul, cobalah Uda ajak dia bercerita kenapa sampai begini jadinya, kenapa janji dengan Uda dia hapuskan saja, Uda ajak dia bercerita dengan baik-baik, cari waktu yang tepat”, gaya Upik bak penasehat ”Bagaimana caranya Pik, si Nur itu kan sedang di Jakarta sekarang”, tanya Samsul “Tidak Uda, dia disini, kemaren dia datang dari Jakarta”, ulas Upik Leba ”Ah tidak pula memberitahu ku, memang sudah keterlaluan si Nur, ingkar janji, tak patut lagi aku jadikan mimpi masa depanku”, tambah Samsul semakin kesal ”Tapi walau begitu Uda tanya lah baik-baik kepadanya, mana tahu ada sesuatu yang tak disampaikannya”, lanjut Upik “Iya tapi aku malas untuk menghubunginya, sudah terasa sesak dadaku ku”, masih saja Samsul terbawa amar emosi. ”Begini saja Uda Samsul , kebetulan si Siti juga ingin bicara dengan Uda tapi dia tidak enak hati kalau menghubungi Uda secara langsung. Bila Uda berkenan, biar saya sampaikan ke Siti supaya Uda bisa bertemu, tapi si Siti maunya disaksikan oleh orang tua nya dan orang tua Uda, agar tahu duduk persoalannya supaya tidak jadi gunjingan orang kata Siti.”, jelas Upik berpanjang-panjang “Ah sampai begitu, urusan berdua dibawa orang tua, lebih baik aku tidak mau, bila dia mau dengan Datuk Meringgih, pergilah, sudah ingkar buat apa berbaik-baik”, gerutu Samsul Tiba-tiba BuyungKoboy memotong pembicaraan Samsul dan Upik Leba, ”Tenang dulu Sul, justru dengan ada orangtua persoalan menjadi terang, bagaimanapun Orang tua kau Sul dengan orang tua si Nur adalah sahabat lama, dengan tahu keduanya minimal persoalan dapat dibantu dipecahkan oleh kedua orang tua kalian”. ”Baiklah besok saja setelah shalat Ashar, jam 4 kita bertemu di Rumah Makan Roda saja, kalau dirumahnya, tidak enak hati rasanya”, ucap Samsul ”Ah tidak apa-apa Da, saya SMS sekarang”, sela Upik Leba sambil memencet Black Berry-nya. Dalam sekejap sudah dapat balasan dari Siti. ’ok, jam 4 sore di Rumah Makan Roda’. ”Siti minta saya ikut, supaya imbang, Uda Buyung juga dipersilahkan turut serta, sebagai saksi”, tambah Upik Leba “Benar kan Sul, sebagai penasehat , Aku memang diperlukan dimana-dimana’, timpa BuyungKoboy Besoknya, tepat jam 4 sore setelah Shalat Ashar, sudah berkumpul kesemua yang patut hadir di Rumah Makan Roda. Meja, kursi disusun 8, 3 -3 berhadapan, dua kursi satu-satu berhadapan sebagai kepala, si BuyungKoboy dan si Upik Leba duduk di kepala kursi. Kursi yang berbaris tiga kiri kanan diisi oleh si Siti Nurbaya dengan kedua orang tuanya, demikian pula untuk baris kursi disisi lain, si Samsul Bahri dengan kedua orangtuanya pula. Tak ada yang mau memulai, suasana menjadi tegang. Si UpikLeba pun gagap. Melihat keadaaan, BuyungKoboy langsung berlagak dengan perasaan narsisnya sebagai penasehat. Seolah berlagak tenang, Buyung membuka kata,” apak dengan Amak yang ambo hormati, Samsul dan Siti nan Ambo sayangi, bagaimanapun kalian berdua adalah sahabatku sedari kecil, nasib saja yang membedakan”. Di sela si Upik Leba. “Nah saya tak Tuan sebut, Tuan anggap apa aku disini, pada hal kan saya yang memberi tahu kepada Tuan tetnang acara ini, kalau tak karena sedikit saranku, tak mungkin Tuan berada di ruangan ini”. ”Ah Upik, kau pakai namaku supaya kau bisa ikut juga kan”, timpa Buyung ”Sudahlah Yung, Pik Leba, terlalu kalian ini, kami yang bermasalah, malah kalian bikin masalah, kalau tak mau membantu pulang sajalah”, rebut Samsul dengan kesal ”Baik-baik, maaf Sul”, sambut Buyung dengan pelan. Lalu dilanjutkan oleh Upik Leba , ”Saya juga minta maaf juga Uda Samsul, Siti”. ”Baik-baik langsung saja ke Nur, bagaimana ceritanya coba beritakan kepada kami dengan tenang, supaya jelas semuanya”’ terpa BuyungKoboy. Ibu dan Apak Siti kebingungan, apalagi Samsul dengan keputusan Siti yang tidak masuk akal menurut pemikiran Samsul.Orang tua Samsul ikut saja, bagi mereka tidak masalah. Ah kau laki-laki urus saja masa depanmu sendiri Samsul, mungkin begitu pikir mereka “Begini Pak-Mak, BuyungKoboy, Upik Leba dan terutama Uda Samsul Bahri. Saya menerima dengan senang hati, pinangan Datuk itu. Saya tidak merasa salah dengan melakukan itu”, kalimat pembuka Siti dengan telak ”Tidak salah bagaimana Siti, malu kita didepan Samsul dan kedua orangtuanya ini. Dimana letak kincir-kincir kamu Siti, kau kan sudah bertunangan, makin tinggi sekolah kok makin hilang sopan santun kamu nak”, keluh Amak Siti ”Tidak Mak, apa masalahnya. Kalau bertunangan yang Mak katakan, sebenarnya dalam agama yang syar’i tidak ada istilah bertunangan. Baiklah saya singkat saja anggaplah tunangan itu sebuah ikatan, tapi sampai kapan, tidakkah Uda Samsul menjanjikan paling lama dua tahun setelah Bang Samsul tamat kuliah kita menikah, saya tunggu Bang, sekarang sudah tahun ke enam, jawaban Abang, nanti ke nanti saja, tunggulah saya agak mapan, begitu selalu jawaban Abang. Pernah saya minta Abang mapan, baru kita menikah. Abang jadi sopir angkot pun saya siap, pernah kan saya bilang ke Abang begitu. Menurut catatan saya sudah tiga kali janji Abang itu saya tagih, namun tetap tidak ada jawaban jelas” terang Siti panjang lebar Setelah hening sesaat Siti melanjutkan cerita, ”Saya lanjutkan lagi sekolah ini ke jenjang spesialis, sambil menunggu berita dari Uda Samsul yang tak ada ujungnya. Tiba-tiba minggu yang lalu Datuk Meringgih mengirim surat kepada saya melalui email untuk dapat bertemu bersama isterinya. Setelah sampai di Jakarta, Datuk didampingi Isterinya menyampaikan hendak meminangku sebagai isteri keduanya dan tentu atas dukungan isterinya yang sekarang”. ”Setelah saya selidik, alasan untuk menikah lagi itu dikarenakan telah diputuskan oleh Dokter, isterinya tidak akan mungkin mempunyai anak, rahim isterinya telah diangkat karena ada penyakit kanker rahim, hal ini tak pernah diceritakan oleh mereka kepada siapapun juga, operasi dilakukan di Singapura dan tak seorangpun dari pihak keluarga mereka berdua mengetahui saat operasi dilakukan, karena alasan mereka ke Singapura adalah untuk liburan. Singkat cerita, atas kondisi itu Isterinya meminta agar Datuk beristeri lagi supaya dapat mempunyai keturunan, awalnya Datuk menolak namun setelah didesak oleh Uni Radiya, isterinya Datuk, akhirnya Datuk bersedia dengan syarat Uni Radiya tetap menjadi isteri Datuk. Setelah ditimbang oleh mereka berdua untuk calon madu Uni Radiya, akhirnya mereka berdua memilih Siti, alasannya Siti sudah 32 tahun yang belum juga diperisteri orang, mereka khawatir, sekolah Siti semakin tinggi, umur semakin bertambah, makin susah mencari jodoh, karena biasanya laki-laki mencari perempuan yang berada setaraf dibawah atau minimal sama dengannya. Datuk Meringgih merasa pantas karena untuk posisi baik duniawi dan ukuran ukhrawi Datuk merasa lebih mapan dari Siti. Lihatlah Datuk ini, dia Anggota Dewan, Pengusaha, memberi Tausiah pula kemana-man. Isterinya taat, bahkan isterinya ikhlas untuk itu semua.”, jelas Siti panjang lebar ”Siti, mana ada perempuan yang ikhlas dimadu”, sela Amak Sti. ”Mak, kata Isteri Datuk itu, Siti saya mencintai Datuk karena tugas kehidupan dan karena ibadah kepada Allah, artinya harus ikut FirmanNya, di madu itu tidak larangan, dibolehkan dengan persyaratan, persyaratan itu sudah kami terima dan lakukan, baik dari Datuk walaupun saya sebagi isteri nya. Artinya apa yang kami lakukan boleh secara aturan agama”, jelas Siti ”Tapi bagaimana nanti kata orang, Uni Nur”, Upik Leba memotong kata ”Upik, untuk pertanyaan itu Uni Radiya menerangkan, Siti kuatkan hati Siti, yang penting kata orang atau mengikuti tuntunan agama. Secara agama tak ada lagi hambatan, kenapa kita harus ikut mau nya orang,” jelas Siti Nurbaya ”Bagaimana dengan Samsul, Nur, karena kami tahu hubungan Siti dengan Samsul sampai sekarang tidak jelas makanya kami datangi Siti. Kami tidak memaksa tapi pertimbangkanlah dengan matang”, potong BuyuangKoboy seperti juru bicara. Samsul Bahri, hanya diam, mendengarkan penjelasan Siti Nurabya dengan khidmat. Tiba-tiba Siti berkata pelan tapi dengan tekenan suara yang kuat, ”Sekarang saya tanya Uda Samsul, mapan seperti apa yang Uda Samsul maksud, punya rumah, punya pekerjaan tetap?, tapi dengan tega Uda Samsul membiarkan saya menunggu enam tahun lebih tanpa kepastian seperti layangan tak bertali. Pernah Uda mengajarkan Nur mana sebenarnya yang sesuai tuntunan, sehingga tuntutan yang Uda dahulukan. Karean itu saya bulatkan niat, saya putuskan untuk menerima pinangan Datuk Meringgih dan isterinya, dengan suatu syarat.” Semua terdiam, apa yang disampaikan Siti jelas strukturnya, Samsul pun tidak bisa berkata-kata. Samsul merasa bersalah. Kedua orang tua Siti Nurbaya mengangguk-angguk saja karena pemahaman anaknya yang telah bertambah, sudah 32 tahun umur Siti, yang zaman mereka sudah mau tiga itu anaknya, namun anak mereka, Siti Nurbaya, saat ini masih diawang-awang saja, sekolah tinggi, dokter spesialis, untuk perempuan sekarang tentu biasa tapi tentu tidak banyak pula dari perempuan yang bisa sampai ke taraf itu, namun belum ada pembimbing, seorang suami, tidak ada anak-anak yang membuat ceria hari-hari, buat apa. Bukannnya tak mau dengan laki-laki bujang, laki-laki bujang di kampung sudah agak segan dengan Siti karena merasa pekerjaannya rendah derajatnya dari Siti. Padahal Siti tidak pernah mempersalahkan masalah pekerjaan untuk calon suaminya yang penting pekerjaan baik dan halal, dapat membimbingnya dengan anak-anaknya kelak, tapi mana mungkin perempuan yang mendahului untuk melamar. Lain halnya dengan kedua orang tua Samsul Bahri, mereka berdua hanya menunggu saja bagaiamana keputusan akhirnya, bagi mereka anak laki-laki bagaikan permata, makin banyak gosok dan seginya makin mengkilap dan mahal pula harganya, mereka menyerahkan sepenuhnya ke anak semata wayang, Samsul Bahri. ”Sebelum kedua orang tuanya berpikir jauh , Siti menjelaskan bukan nya di tanah Jawa itu tidak ada Mak dan Apak, tapi belum ada sampai sekarang yang sesuai dengan hati”, jelas Siti lirih. Tiba-tiba Samsul membuka suara dengan pelan dan sedikit tertahan tapi dengan runutan kata yang jelas dan padat, ”Adinda Siti Nurbaya peobat hati, pelerai pilu dan susah, Ambo minta maaf sudah hampir tersesat Ambo ternyata. Terimakasih Ambo diingatkan atas semua itu. Ambo menyadari penuh atas salah dan kilaf ini, Ambo menerima apa yang Siti putuskan sebagai bukti hati yang tak pernah lekang kepada Adinda Siti. Bukankah dari Sunnah, kalau kamu mencintai Allah, maka relakanlah yang terbaik dari mu untuk diambil Allah. Bagi Ambo, Adinda Siti adalah yang terbaik yang Ambo rasa miliki, kalau Allah mengambil Siti untuk diberikan ke Datuk Ambo ikhlas”. Mata Siti berkaca mendengar urutan kata orang yang telah dicintainya sepenuh hati, mengisi relung dan lekuk hidupnya dengan pautan kata yang kuat dan mantap mencerminkan pemahaman yang sangat luar biasa, pemahaman tertinggi dari seorang pencinta. Suasana terasa hening, perih rasa hati bagi yang menyaksikannya. BuyungKoboy yang suka menyela tak terdengar suaranya, menunduk haru. UpikLeba walau masih berusaha mencuri pandang tak dapat menyembunyikan air mata keta’juban di ujung pelupuk matanya. Kedua orang tua Siti, tidak kuasa menahan haru menyaksikan buah cinta kedewasaan dua anak manusia. Kedua orang tua Samsul Bahri, tertegun menyaksikan kekuatan hati dan diri anaknya diringi dengan penghayatan nilai hidup yang jelas tonggak sandarannya, dalam hati kedua orangtua Samsul merasa bangga dengan anak harapan masa depan mereka. Tiba-tiba keheningan dikejutkan oleh seorang sosok lelaki gagah dengan seorang perempuan anggun berkerudung, berkulit bersih terpancar dari wajahnya yang bersinar. Assalamualaikum...... ”Waalaikumussalam....Datuk Meringgih, ”sela BuyungKoboy Tiba-tiba Samsul merah, darah mudanya naik, ” Ada apa Datuk kesini katanya, sudah mau Datuk dapatkan......” cerca Samsul agak pelan. ”Astaghfirullah....,”tiba-tiba Samsul diam, langsung lunak riak suaranya. ”Maafkan saya Datuk, silahkan Datuk dan Uni duduk”, ucap Samsul sambil menyorongkan kursi. Jadilah sepuluh kursi menumpuk mengelilingi satu meja. Setelah sedikit berbasa-basi, dilanjutkan dengan kata utama oleh Datuk Meringgih, ”Bagaimana keputusannya Siti, sudah ada”. “Ada apa lagi Siti, rahasia apalagi ini”, sela Upik Leba., Siti langsung bersuara, “Uda Samsul seperti yang Siti sampaikan tadi, saya menerima dengan syarat . Datuk dan Isterinya tidak pernah memaksa, mereka berdua memberikan waktu kepada saya. Saya berjanji dalam enam bulan untuk menjawabnya dan syarat utamanya adalah setelah tahu jawaban dari Uda Samsul Ini baru bulan kedua, saya serahkan ke Uda apakah saya terima lamaran Datuk ini atau tidak”. Tiba-tiba Samsul terperangah, “Jadi.....” “Ya, kami berikan Siti waktu 6 bulan untuk meyakinkan Samsul apakah setuju atau tidak”, sela isteri Datuk Meriggih. “Alhamdulilah...., Siti, hari ini Uda lamar Adinda Siti Nurbaya untuk menjadi Isteri Uda,” kato Samsul mantap dengan wajah yang cerah Siti Nurbaya langsung terperanjat, girang hatinya, segera memeluk Isteri Datuk yang berada disampingya, dan berterimakasih kepada Datuk Meringgih dan Uni Radiya atas jalan yang diberikan Tuhan kepadanya, sehingga sumbat selama ini menjadi terbuka karenanya. Datuk Meringgih dengan senyum yang agak tertahan mengucapkan Terimakasih juga atas kelapangan hati Siti dan segera berpamit Semua penghuni kursi yang depalan terkesima, terenung, terpana, merasa dipermainkan hatinya oleh keadaan Jatiwarna, 18 Mei 2009 -~---
Trackback(0)
|
|
Status Radio |
|
Yayasan Palanta Cimbuak |
Dari Awak, Oleh Awak, Untuak Kampuang Nio berpartisipasi? Silakan klik disiko |
Online Sekarang |
We have 4 guests and 4 members online |
|