Kesuksesan orang Minang di kancah kehidupan, tak terlepas dari budaya merantau yang telah melembaga dalam kehidupannya. Tsuyoshi Kato dalam penelitiannya mencatat bahwa, dari 8 juta orang Minang separuh berada di perantauan. Ukuran tersebut telah menjadikan etnis Minang sebagai etnis perantau terbesar di Nusantara. Mereka sering dinyatakan sebagai manusia yang kakinya tak pernah tinggal diam, senantiasa aktif berpindah serta meneruka wilayah-wilayah baru. Masyarakat Minang telah merantau sejak ratusan tahun lalu. Dari luhak nan tigo, mereka bermigrasi ke pesisr barat dan timur Sumatera.
Kemajuan perekonomian di daerah pedalaman Minangkabau, yang umumnya ditopang oleh perkebunan lada, telah mendorong orang-orang Minang untuk mengekspor hasil produksinya ke negara lain. Kegiatan ekspor ini umumnya dilakukan melalui pantai barat Sumatra. Hal ini telah mendorong masyarakat Minang untuk menetap di wilayah pesisir ini. Sehingga tak heran, jika banyak dijumpai perkampungan-perkampungan Minang yang terbentang mulai dari Meulaboh, Barus, Natal, Tiku, Pariaman, Painan, hingga Bengkulu. Kemajuan perdagangan ini, mengalami kemunduran ketika Aceh dibawah kuasa Sultan Iskandar Muda mengambil alih pelabuhan-pelabuhan ini dari tangan orang-orang Minang. Pada abad ke-15, daerah rantau Minang meluas hingga ke timur. Mereka membentuk koloni di tepian sungai Siak hingga pesisir timur Sumatra. Laju perantauan Minang tidak berhenti sampai disini, mereka terus melanjutkan pengembaraannya hingga Negeri Sembilan di semenanjung Malaysia. Di Negeri Sembilan inilah, koloni terbesar pertama orang Minang terbentuk. Kini, seperti halnya Sumatera Barat, Negeri Sembilan juga merupakan penganut adat matrilineal yang kokoh, hidup bersuku-suku, dan berpenghulu. Sifat perantau Minang yang praktis, terbuka, dan cenderung antusias dalam menghadapi semua tantangan, menjadikan orang Minang tampil kemuka, memainkan perannya, hingga mencapai kesuksesan. Majalah Tempo edisi milenium yang terbit pada awal tahun 2000, mencatat bahwa 6 dari 10 orang Indonesia yang paling berpengaruh di abad ke-20 merupakan orang Minang. Di tanah air, pencapaian mereka melebihi proporsi jumlah penduduknya yang hanya berkisar 3% dari seluruh populasi. Orang Minang, meraih pencapaian tertinggi hampir di semua arena kehidupan. Mereka sukses sebagai penulis, wartawan, politikus, ulama, pengusaha, dan seniman. Menulis, merupakan kegandrungan dan menjadi modal bagi sebagian besar orang Minang. Mereka menguasai dengan baik dialektika dan didaktika berbahasa. Sehingga tak heran jika banyak orang Minang yang memilih profesi sebagai jurnalis. Sebagai pemilik dan redaktur beberapa media massa terkemuka, wartawan-wartawan Minang kerap mempengaruhi opini dan pandangan masyarakat. Dengan kekhasan bertutur kata, tulisan-tulisan mereka turut memperkaya khasanah kosa kata bahasa. Djamaludin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus merupakan sosok sukses wartawan Minang. Di bidang sastra, penulis-penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Di tangan mereka, bahasa Indonesia menjadi lebih hidup dan dinamis. Beberapa sastrawan Minang, seperti Abdul Muis, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, Chairil Anwar, Hamka, Ali Akbar Navis, dan Taufik Ismail, lahir sebagai pelopor kebangkitan sastra Indonesia. Lewat karya tulisnya, mereka banyak mengkritik budaya dan adat istiadat yang usang. Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan Robohnya Surau Kami, beberapa karya mereka yang cukup terkenal dan sering diulas dalam pembelajaran di sekolah-sekolah. Puisi-puisi Chairil, seperti Krawang-Bekasi dan Aku, menjadi karya yang bertenaga sekaligus simbol perlawanan rakyat terhadap penjajahan asing. Di bidang politik, dominasi Minang tak terbantahkan lagi. Sepanjang periode 1920-1960, politisi asal Minang banyak berperan dan sangat menentukan. Pasca kemerdekaan, empat orang Minang duduk sebagai perdana menteri (Sutan Sjahrir, Muhammad Hatta, Abdoel Halim, Muhammad Natsir), seorang menjadi wakil presiden (Hatta), seorang sebagai presiden RI di bawah negara Indonesia Serikat (Asaat), seorang menjadi pemimpin parlemen (Chairul Saleh), dan puluhan orang duduk sebagai menteri. Pada masa demokrasi liberal, politisi Minanglah yang paling vokal di parlemen. Mereka berafiliasi hampir di semua partai politik, walaupun melalui Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI)-lah mereka banyak berkarya. Dominasi politsi Minang dipaksa untuk berakhir, ketika kepemimpinan otoriter Soekarno menyatakan Masyumi dan PSI sebagai partai terlarang. Kedua partai ini dituduh terlibat dalam usaha separatis, PRRI. Di mancanegara, partisipasi dan prestasi orang-orang Minang di bidang politik tak kalah hebatnya. Pada tahun 1390, Raja Bagindo pergi merantau dan mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Di Kesultanan Johor, persaingan dengan para perantau Bugis dalam memperebutkan pengaruh, telah mendorong orang-orang Minang untuk ikut memainkan perannya. Pada masa revolusi, perantau-perantau Minang aktif terlibat dalam pergerakan kemerdekaan Malaysia, sebut saja misalnya Ibrahim Yaacob, Sutan Jenain, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D, Shamsiah Fakeh, Khatijah Sidek, dan masih banyak lagi. Setelah kemerdekaan-pun, orang-orang Minang juga aktif berpolitik. Tuanku Abdul Rahman diangkat sebagai Yang dipertuan Agung, dan beberapa orang Minang seperti Aziz Ishak, Dato Shaziman Abu Mansor, Tan Sri Samad Idris, dan Rais Yatim duduk sebagai menteri. Di Singapura, politisi-politisi asal Minang cukup mewarnai. Ketika negeri tersebut lepas dari Malaysia, Yusof Ishak terpilih menjadi presiden pertama. Disana, beberapa orang Minang juga terjun di kepartaian, diantaranya Sha’ari Tadin, yang menjadi anggota parlemen Singapura selama 12 tahun. Di negeri Belanda, politisi Minang juga ikut berkiprah. Diantaranya Rustam Effendi, yang duduk menjadi anggota parlemen sebagai perwakilan Hindia-Belanda. Dari semua politikus yang pernah dilahirkan ranah Minang, mungkin Tan Malaka yang paling fenomenal. Menjalani pengembaraan sejauh 89.000 km, hidup berpindah-pindah sekurangnya di delapan negara, Tan berhasil mendirikan partai politik di Bangkok, menjadi calon legislatif di Belanda, dan ditunjuk menjadi ketua Komintern (komunis internasional) untuk wilayah Asia. Tan paling produktif dalam menulis. Di samping buku Madilog yang menjadi magnum opus, artikelnya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia merupakan karya Tan yang cukup brilian. Atas karyanya inilah, Tan dijuluki sebagai bapak republik. Dalam kehidupan beragama, ulama-ulama Minang sangat aktif terlibat. Di abad ke-17, ulama-ulama Minang pimpinan Dato ri Bandang dan Dato ri Tiro, pergi merantau ke Sulawesi dan Kalimantan. Misi mereka menyebarkan ajaran Islam yang masih menjadi hal baru bagi masyarakat disana. Berebut pengaruh dengan misionaris-misionaris Belanda, ulama-ulama Minang berhasil mengajak raja-raja Makassar untuk memeluk Islam. Revolusi agama oleh kaum Paderi di tahun 1800-1840, menjadi babak baru bagi kehidupan beragama orang Minang serta sebagian masyarakat Tapanuli. Sejak revolusi tersebut, di ranah Minang banyak berdiri sekolah-sekolah agama, yang pada gilirannya akan melahirkan ulama-ulama yang puritan. Di penghujung abad ke-19, ulama Minang yang legendaris Ahmad Khatib al-Minangkabawi diangkat sebagai imam besar di Masjidil Haram Mekkah. Beliaulah satu-satunya orang non-Arab yang berhasil menduduki posisi tersebut. Mukimnya Ahmad Khatib di Mekkah, telah mendorong anak-anak muda Minang yang hendak melanjutkan studi Islam untuk pergi kesana. Di tanah Hejaz, Ahmad Khatib menjadi tempat berguru bagi banyak ulama-ulama Nusantara, diantara mereka adalah Haji Rasul, Ahmad Dahlan, dan Hasyim Ashari. Di era 1950-1980, Natsir dan Hamka sering menjadi rujukan umat. Selain sebagai dai, politisi, dan penulis, mereka pulalah yang membidani kelahiran organisasi Dewan Dakwah Islamiyah dan Majelis Ulama Indonesia. Diantara berbagai organisasi besar massa Islam di tanah air, Muhammadiyah menjadi afiliasi mayoritas orang Minang. Bahkan keterlibatan orang Minang dalam organisasi ini cukup besar. Selain dua orang Minang pernah menjadi ketua umum (a.R Sutan Mansur dan Syafii Maarif), melalui pedagang-pedagang Minang-lah Muhammadiyah menjadi besar dan tersebar ke seluruh tanah air. Di Indonesia dan Malaysia, di samping orang Tionghoa, orang-orang Minang terkenal sebagai saudagar yang ulet. Selain sukses sebagai pedagang tekstil, mereka juga memiliki jaringan perhotelan dan mendominasi jaringan rumah makan. Restoran Minang yang terkenal itu, telah menjadikan orang Minang sebagai pengusaha kuliner paling sukses di Asia Tenggara. Dalam acara Pertemuan Saudagar Minang beberapa waktu lalu, terlihat banyak perusahaan-perusahaan Minang yang eksis hingga mancanegara. Melewar Corporation di Malaysia dan Latief Corporation di Indonesia, merupakan salah satu bentuk sukses orang Minang dalam berbisnis. Sebagai profesional, dewasa inipun banyak orang-orang Minang yang duduk sebagai direktur utama BUMN dan perusahaan besar tanah air. Sebutlah, Emirsyah Sattar (Garuda Indonesia), Rinaldi Firmansyah (Telkom), Fazwar Bujang (Krakatau Steel), Johny Suwandy Syam (Indosat), Arwin Rasyid (Bank CIMB-Niaga) dan Erry Firmansyah (Bursa Efek Indonesia). Di dunia hiburan, banyak pula yang menoreh kesuksesan. Berprofesi sebagai produser dan sutradara, mereka banyak mewarnai perfilman Indonesia. Karya-karya Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal, telah mewarnai alur perfilman tanah air. Diantara artis keturunan Minang, Soekarno M. Noer-lah yang paling mengkilap. Dia sukses sebagai aktor sekaligus produser film lewat perusahaan keluarganya, Karno’s Film. Raja kuis Ani Sumadi tak kalah hebatnya. Beliaulah yang telah merintis acara kuis di layar-layar televisi nasional. Dan mungkin tak banyak yang tahu, kalau perantau Minanglah pencipta lagu kebangsaan Singapura, Majulah Singapura. Dia adalah Zubir Said, warga Singapura kelahiran Bukittinggi. Demikian selintas prestasi orang Minang di kancah kehidupan. Karya-karya mereka akan tetap abadi dan akan selalu di kenang. Seperti halnya mereka yang tampil ke pentas dunia, yang lahir dari kesederhanaan, kecerdikan, dan kerja keras, sudah saatnya pula kini kita tampil mengikuti jejak mereka.
Trackback(0)
|