Ketika jalur lintas Sumatera dibuka pada akhir tahun 1976 – berita ini tidak terkesan apa-apa bagi aku. Kemudian jalur baru itu, diuji coba oleh pamanku dengan membawa keluarganya pulang ke Kota Padang menggunakan kendaraan pribadi.. Konon, jalan itu sangat lurus yang berawal dari Lubuk Linggau hingga memasuki Sungai Dareh di daerah Darmasraya sekarang ini. Ketika rombongan pamanku itu kembali ke tanah Jawa, ternyata anak-anaknya tidak ada yang sanggup lagi untuk melintasi jalur itu. Mereka bercerita, bahwa suasana perjalanannya sangat menyeramkan dan benar-benar hutan. Saudara sepupu aku itu, akhirnya pulang naik kapal laut yang ternyata mengundang hikmah dalam perjalanan pulangnya karena ia bertemu jodoh dengan seorang perwira Akabri.
Lain lagi dengan kisahku, seputar 30 tahun yang lalu. Ketika menjadi mahasiswa, aku mengikuti kunjungan antar kampus ke Universitas Sriwijaya – Palembang. Singkat cerita, setelah melakukan anjangsana dan acara persahabatan, maka kami merealisasikan niat kami untuk melanjutkan perjalanan ke kampong halaman. Sebelumnya telah minta izin kepada kedua orang tua. Beruntunglah kami berdua orang bersaudara dengan diteman1 1 orang teman cowok (bukan pacar lho - sekarang ia telah menjadi Pejabat Eselon II di Deplu), dibantu oleh suatu keluarga yang begitu perhatian pada kami bernama pak Ridwan Talu – Kadiv Transportasi PT Pusri, melengkapi kami dengan berbagai kebutuhan perjalanan kami pulang kekampung halaman itu. Sesungguhnya bagi kami berdua benar-benar tidak tahu kondisi jalanan waktu itu. Yang terpikir hanyalah… pulang… dan pulang, karena kota kelahiran itu telah kami tinggalkan selama 10 tahun..!!
Berangkatlah kami dengan menggunakan bus – sebesar Metro Mini – dari bawah Jembatan Jembatan Ampera – Kota Palembang. Bus telah dipenuhi oleh para penumpang ke berbagai tujuan. Setelah melewati kota kecil Prabumulih – terasa suasana desa yang kami lalui kian mencekam… jalan yang kami lalui bukanlah jalan yang mulus melainkan jalan kecil yang terbuat dari bebatuan. Badan terombang ambing. Begitu masuk Kota Lahat – walaupun disebut kota – terasa bagi aku kota ini gelap – dipengaruhi oleh suasana hati yang tercekam rasa takut. Aku teringat akan kisah "Perawan di sarang penyamun” – yang pernah aku baca - seakan aku adalah sang perawan di Sarang Penyamun pula. Diam-diam aku mengamati para penumpang, kawatir ada sikap penumpang - yang aneh-aneh atau tidak.
Bus melaju selepas sholat Isya bergerak menembus kegelapan malam. Aku selalu menjawil kakak perempuanku agar – dia tidak tidur lelap. Mataku mengawasi perjalanan dan siap siaga – kalau kalau ada bahaya yang menghadang..
Ternyata kantuk yang bersarang dimata ini – lebih menguasai emosi dan perasaan – menjadikan bayang-bayang malam semakin sirna. Aku tak sadar bahwa akhirnya mataku terlelap. Aku tersentak ketika stokar Bus yang kami tumpangi berteriak penuh ketakjuban
“ hoi….. sanak, jagolah…. Liek tu ha…inyiak awak mancogok….. Ondeh iyo matonyo tajam….!!
Deru mesin bus itu semakin berat nafasnya. Lonjakan bus dan bantingan stir yang dikemudikan pengemudi menambah suasana bathinku dan nafas semakin seru. Ketika itu aku bisa menafsirkan ciloteh pengemudi kepada stokar, agar ia tidak mengganggu para penumpang yang tidur lelap. Akan tetapi ia – stokar - tetap bersuara sambil menyatakan bahwa apabila semua penumpang tidur – bisa bisa penumpang tidak dibawang ke ranah Minang tetapi ke Ranah Liang. Iko… Lahat ko mah… yuang….!!
“Asytagfirullah…. , jantungku berdegu kencang. Jika kupalingkan kepala kejendela, yang terlihat adalah keadaan gelap gulita. Memang ada satu persatu kerlipan cahaya dari rumah penduduk. Namun itu jarang sekali. Menembus gelap malam – lampu bus serasa cahaya matahari yang bersinar terang. Karena pepohonan yang kami lalui itu saling berpelukan diantara badan jalan yang kami lalui. Tahukah itu…? Pertanda betapa lebatnya hutan Pulau Sumatera ketika itu………..
Pada jam 04.30, bus berhenti disebuah desa. Tak jelas posisi kami ada dimana. Namun masih di wilayah Sumsel. Ditempat pemberhentian itu terdapat beberapa kedai nasi. Disana sudah berderet beberapa truk-truk besar. Pengemudi dan kneknya juga bermaksud untuk makan. Ada beberapa kedai nasi yang melayani penumpang untuk makan dan sholat di shubuh hari itu. Setelah melaksanakan sholat shubuh, para penumpang ada yang beristirahat pada balai balai yang disediakan oleh pemilik kedai. Ada yang melepaskan pegal-pegal (rangkik-rangkik) tubuh dengan berselonjor dan ada yang sambil tiduran. Ada yang memesan makanan. Demikian pula kami ikut makan bersama penumpang dan para sopir truk itu. Semula kami tidak mengerti, mengapa begitu banyak panci kosong ikut dhidangkan dan disertai sebuah botol kaca yang penuh berisi air, disetiap meja makan di Kedai nasi itu. Semula aku kira, ini adalah botol minuman. Oooh… ternyata tidak. Ia adalah bagian dari peralatan untuk makan, yang digunakan sebagai wadah pencuci tangan. Suasana terasa akrab – ketika bapak – bapak, mande-mande serta Uni uni yang sepantaran ibu dan ayah serta kakak saya – awaktu itu - menyapa kami dengan ramah. Mereka begitu perhatian dan menganggap kami seperti anak anak mereka. Tak kurang pula perhatian sopir bus : “ makan banyak piek..…. Jan di imaik bana pitih tuh. Sebagai remaja yang hidup di kota Jakarta – waktu itu - suasana Adventurir ini sungguh mengasyikkan.
Masih diwilayah Sumatera Selatan, perjalanan kami dilanjutkan. Sebelum mencapai kota Lubuk Linggau, pada saat mentari mulai menampakkan wajahnya, aku dikagetkan bahwa kami tidak melintasi jembatan sebagaimana layaknya apabila kita menyeberangi sungai. Kami naik “pelayangan”. Pelayangan adalah rakit yang terbuat dari susunan bambu-bambu, kemudian diikat menjadi sebuah sampan yang datar dan memiliki kemampuan untuk menyeberangkan bus kami. Para penumpang disuruh turun dari bus, kemudian penumpangpun menyeberang dengan menggunakan rakit itu. Sebenarnya suasana ini sungguh mengasyikkan. Akan tetapi aku sudah mulai merasakan gangguan kesehatan mata yang tidak disangka-sangka sebelum keberangkatan kami dari kota Palembang . konco palangkin kami dikampus, yang sering kami panggil dikalangan teman dan sahabat Mr. Ramli – sudah tidak diragukan lagi kondisi matanya. Istilah kami dirantau Betawi – matanya sudah bele’ an alias ciri’ mato. Mengapa kami mengalami gangguan sakit mata ini…?? Ceritanya begini :
Di kota Palembang kala itu, kami diinapkan di Asrama Haji yang terletak di Jalan Kapten Rifai. Asrama ini banyak diinapi oleh rombongan mahasiswa – mahasiswa dari pulau Jawa untuk berbagai keperluan, semisal study excursi, KKN dll. Diantara rombongan mahasiswa itu – tersebutlah issue bahwa rombongan mahasiswa IPB – jurusan Fakultas Kehutanan, membawa virus mata. Hal ini dapat dibuktikan – diantara teman-temanku yang ketularan, justru berasal dari gedung yang sama dengan rombongan mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB itu. Cara penularannya adalah melalui air dikamar mandi yang mereka gunakan beramai-ramai. Aku dan kakakku semula agak sedikit mengkawatirkan Mr. Ramli, jika ia ikut serta bersama kami. Namun Mr Ramli justru mengkawatirkan kami, jika ia melepas kami berdua. Iapun sebenarnya juga sudah dipercaya untuk menjadi teman kami seperjalanan pulang kampung ini. Iapun ingin pula melihat kampung halaman ayah dan ibunya. Ayahnya orang keling dari Pariaman yang telah lama hijrah ke Jakarta . Demikianlah, sejak stokar bus berteriak-teriak adanya seekor raja hutan – alias inyiak – pada malam gelap itu, aku sudah merasakan betapa beratnya kelopak mata ini untuk dibuka. Mata terasa gatal.
Ketika aku menyebarang sungai dengan pelayangan itu –selain mata terasa semakin gatal – juga badan mulai terasa demam. Mr. Ramli – teman kami itu, matanya semakin parah. Tidak ada kaca mata hitam yang dapat menangkal – wujud matanya – yang semakin bele’an itu. Tidak ada penahan rasa perih dari angin dan debu. Untunglah penumpang bus – masih berbaik sangka dengan kami, dengan tetap memberi bantuan kepada kami bertiga atas kondisi kesehatan kami ini. Suasana kekompakan diantara para penumpang dan pengemudi serta knek bus itu terjalin baik. Walaupun hati belum menyatu dengan lagu-lagu yang dibawakan Elly Kasim dan Tiar Ramon, kala itu serasa perjalanan ini begitu mempesona bagi anak remaja yang pulang kampung. Yang kuingat-ingat lagu yang menyentuh diriku adalah lagu “Rantau Batuah“.
Memasuki wilayah Jambi pada siang hari itu, ketika menyeberangi sungai, bus kami kembali naik pelayangan. Kali ini, sungainya sangat lebar dan terkesan dalam. Aku tak ingat – sungai apakah itu dan didaerah mana saja, namun kami para penumpang sempat berdebar-debar. Kata orang di kampung itu, aliran airnya cukup deras. Dengan cekatan sang sopir mengemudikan busnya naik pelayangan. Pelayangan itu agak terendam – karena rakitnya kurang bagus. Apa kata para penumpang ? …. Ondeh…. Karam oto iko baa. .yo… Masih jauh rantau awak mah….celetuk mereka. Aku menyikut kakakku : If… Gimana kalau busnya karam. Duuh… ngeri… kataku. Kakakku diam. Ramli juga diam. Terus terang untuk melihat apakah bus itu akan karam atau tidak, yang jelas mata kami pada buram – karena tidak mampu memandang secara utuh – suasana yang mendebarkan itu. Akhirnya…. Dengan perasaan yang mencekam diantara para penumpang, pelayangan itu mampu menyeberangkan bus itu. Kami bertepuk tangan. .. Iyo hebat angku mah.. kata penumpang kepada sopir yang ramah itu. Bagaimana suasana keakraban kami pada bus yang kecil ini..? Marilah kita simak cerita ini, karena ada yang lucu yang aku harus ceritakan.
Di Bus kami ada seorang nenek – kira-kira berusia 75 tahun. Ia ditemani seorang familinya – yang terkesan tidak mengacuhkannya. Si Nenek ini kami panggil “Ande” – dan agak nyinyir kepada familinya itu. Aku menyebutnya famili – karena orang itu bukan anak/kemenakan, tetapi adalah kerabat jauh dari “ Ande” ini. Si Uni ini, ditugaskan mengantarkan Ande untuk pulang kampung. Para penumpang termasuk kami bertiga iba dengan Ande. Ia selalu kami bujuk dan kami ajak bercakap-cakap. Karena diperhatikan ia juga semakin dekat pada kami. Lebih-lebih dengan Mr. Ramli. Ia sangat dekat – bahkan melebihi kewajaran seorang nenek memandang seorang cucu. Para penumpang tersenyum malu melihat tingkah sang nenek. Untung saja banyak yang berfikir positif :…. Haa… iyo tu mah… indak sabagai juo doh… Anak mudo iko.. kan cucu dek inyo. Bagiku bukan hanya masalah sayang ka cucu… tapi tingkahnya yang memeluk-meluk Ramli ini yang terasa janggal...bukan?. apak-apak pada berkata : " jadikan minantu sen lah… anak tuh .. Mak…..,katanya pada sang Nenek. Si Nenek tersenyum senang. Tapi si Uni yang menemani Nenek itu benar-benar malu. Akhirnya kakakku – untuk mencegah keributan – ia mengambil posisi Mr. Ramli dan duduk disamping Nenek. Menjelang memasuki kabupaten Sarolangun, bus kami menyeberangi sungai dengan menaiki pelayangan untuk yang ketiga kalinya. Hari mulai gelap karena magribpun datang menjelang. Ketika menyeberangi sungai yang ketiga kalinya ini. Ande – tidak mau menyeberang bersama rombongan. Dia berbalik kebelakang bahkan terkesan ia pergi masuk hutan. Suasana jangkrik dan binatang malam mulai terdengar, menyebabkan kami segera menarik “ Ande” untuk menyeberang bersama kami. Lagi-lagi ia tidak mau dan bahkan meronta-ronta.
Katanya : “ Waang bao kama den ko… indak… indak.. teriaknya. Mungkin ia terasa terasing diantara para penumpang, ketika posisinya digantikan kakakku itu. Mungkin juga karena – ia merasa tidak ada anggota keluarga, semisal anak atau cucu yang mendampinginya. Mungkin ia lelah. Jangankan ia merasa lelah – kami para penumpang juga mulai terasa lelah. Selama perjalanan kami tidak mandi-mandi. Mencuci muka – hanya ketika saat berwudhu saja. Melihat gelagat yang aneh – dan si Nenek terkesan tidak sadar diri. Bahkan ia berciloteh pada diri sendiri, mengakibatkan semua penumpang dan awak bus cepat-cepat membujuk nenek agar ikut menyeberang. Kata pak sopir :.. Ondeh… barek.. komah… daerah iko indak aman.. Kalau awak ndak capek sampai di Sarolangun.. ambo indak bisa menjamin ke amanan doh. Demikian penjelasannya pada kami. Akhirnya secara paksa si Nenek, dinaikkan ke atas bus. Ia meronta-ronta dan menangis. Sopir bus sudah mulai hilang kesabaran dan ia menyuruh stokar mengunci pintu.
Dalam perjalanan yang gelap malam itu, sementara bus yang kami naiki disinari cahaya lampu, yang sedikit redup, menimbulkan bayang-bayang manusia pada dinding kaca mobil. Si Nenek merasa menemukan seorang temannya – seorang nenek yang juga seusia dengan dirinya. Padahal gambar itu adalah pantulan bayangan diri si Nenek bukan..?? . Ia bercakap-cakap dengan bayangannya sendiri. Istilah orang sekarang, ia curhat kepada dirinya sendiri…Isi percakapan si Nenek kepada bayangannya dapat kutafsirkan, bahwa ia sedang dalam keadaan bahaya. Dirinya terkurung,.. begitulah kata-kata yang kuingat. Mungkin kira-kira beliau berkata : "Inyo panjarokan wakden ko mah…. Antara tertawa dan sedih, terasa meliputi hati ini. Para penumpang tetawa geli (gelak takisiek-kisiek, istilah minangnya), namun para penumpang sebenarnya tidak tega melihat kejadian itu. Akhirnya, perhatian beralih kepada Mr. Ramli _ sahabat kami ini, agar si Nenek dialihkan dari percakapan antara diri dan bayangannya. Tanpa waktu berlama-lama, Sahabat kami ini pun berhasil membujuk “Ande“. Ande kemudian dipasangkan kembali dengan Ramli.
Kami semua penumpang menyalahkan Uni – famili Ande – yang cuek mengurusi si Ande. Ternyata dari cerita si Uni itu, akhirnya kami mengetahui bahwa sebenarnya Ande ini – sudah sejak dua bulan yang lalu ingin pulang ke Silungkang – sebagai kampung kampung halamannya. Akan tetapi, airline yang melayani – Palembang – Padang , pada saat itu sedang tidak ada pelayanan. Akhirnya sang anak mengutus orang lain yang mengantarkan sang Nenek. Hari semakin malam, bus masih melaju memasuki Sarolangun – Bangko – Muarobungo. Ketika memasuki wilayah Sumbar –daerah Sitiung - barulah kami merasakan perjalanan mulus. Perjalanan malam itu diterangi oleh cahaya bulan purnama, terasa sayang bagiku untuk tidak menikmatinya. Pada penghujung malam itu, akhirnya aku terlelap seperti penumpang lainnya.
Sesampai di Silungkang, kami para penumpang terjaga lagi, Terdengar lagi kegaduhan, karena “ Ande” tidak mau turun dari Bus. “ Ande… alah sampai di Rumah Gadang awak kini…Sopir bus membujuk. Si Uni – familinya juga membujuk. Bahkan anak cucunya yang bersorak kegirangan menyambut datangnya sang Nenek tidak digubrisnya. Beliau tetap bersidekap di tempat duduknya. “ Mak .. capek Mak.. turunlah .. oto ka bajalan baliek… Akhirnya, lagi-agi konco kami - Mr Ramli - membujuk Nenek – agar beliau bersedia turun. Dengan sangat mudah Ande .. turun dari mobil. Kami melihatnya, keluarga Nenek itu menangis terharu menyambut Ande. Drama perjalanan ini selesai dengan suasana keharuan. Mr. Ramli kehilangan teman perjalanan yang menakjubkan diri dan tidak disangka-sangka dengan kondisi mata yang sakit parah. Penumpang kembali melanjutkan tidurnya.
Beberapa jam kemudian, ketika waktu shubuh datang menjelang, kembali sopir bus menghentikan busnya. Ia mempersilahkan penumpang turun. Ia berkata ; Silahkan turun.. awak bisa sholat subuh disiko.. nan ka raie …. ado dibelakang surau….!! Kami perempuan pergi mengelompok untuk mengeluarkan hajad. Tidak jauh dari posisi kami, aku melihat orang-orang turun ke air sambil mencuci muka sambil bermain-main air. Aku berpikir bahwa air itu adalah sebuah sungai belaka. Kami meniru apa yang dilakukan kaum perempuan – teman seperjalanan kami. Semakin aku memandang di kegelapan malam – semakin mataku dibuka lebar-lebar, aku rasakan bahwa tempat kami berdiri adalah sebuah perairan yang luas. Mataku sangat perih untuk mengfokuskan apa yang sedang aku pandang. Penyebabnya adalah karena sakit mata ini . Fajar mulai menyinsing. Cahaya dari kejauhan itu mulai dapat mempengaruhi mataku agar menyatu, ketika melihat perairan itu semakin luas. Aku benar-benar takjub melihat suasana itu. Dimanakah kita ini..??? Seketika aku bertanya kepada mande-mande yang ikut membasuh mukanya bersama kami. Ia berkata : “ Awak alah sampai di danau Singkarak mah piek….!! “Danau Singkarak….????? Subhanallah….Benar-benar menakjubkan….keindahan alam ciptaan Tuhan ini. Tidak terbersit sedikitpun bagi kami, ketika disaat sedang berpenyakit mata – dibalik bukit yang cukup jauh dari tempat kami berdiri, sang surya seakan malu-malu menyambut kehadiran kami ditepian “Danau Singkarak” itu. Aku melonjak-lonjak kegirangan. Kami bertiga membasuh muka terus menerus. Berharap – kotoran mata – ikut sirna dengan air danau yang bening itu. Para penumpang lainnya – yang seakan keluarga bagiku – menyeru kepada kami :
“Iyolah tuh Piek… Banyak-banyak lah basuah muko disinan“ . Baeko aie danau tuh nan kama imbau imbau baliek pulang. Benarkah………???? Sementara kakakku dan konco kami – Ramli - telah kembali ketempat sesama penumpang. Lagi – lagi aku basuh mukaku – tanganku – dan kaki celana panjang yang setengahnya basah, tidak aku perdulikan.
“Alah tumah piek…. Tambah sakik pulo.. jadinyo. Entah siapa yang berkata, akhirnya baru aku sadar, bahwa memang perjalanan panjang ini belum sampai ke kota kelahiranku di kota Padang.
Perjalanan selanjutnya, tinggallah pengemudi bus melaksanakan tugasnya melanjutkan perjalanan ini ke kota tujuan, diiringi selingan dan ciloteh stokar alias kenek dengan bahasa “ Minang “ banget bagiku – kala itu. Pun - ketika kami sampai dirumah keluargaku, kami datang tidak membawa oleh-oleh apapun dari rantau untuk keluarga yang akan kami inapi. Namun kami menghadiahi mereka dengan penularan penyakit mata kepada mereka. Ada enam orang yang tertular oleh virus itu. Sementara - Tuan rumah tak bisa berkata apa apa kepada kami …melainkan ia terpaksa mengobati matanya nya sesegera mungkin agar tidak meluas penularannya pada yang lain.
edited from : My Diary… on august 1977
Trackback(0)
|