Home
Daftar Anggota
Galleri
Resep
Restoran Minang
Games
Download
Kamus Minang
Chat
Bursa Iklan
Radio Online
Weblink
SPTT Cimbuak
Cimbuak Toolbar
Menu Situs
Berita
Artikel
Prosa
Tokoh Minang
Adat Budaya
Agama
Kolom Khusus
Pariwisata
Berita Keluarga
Giring2 Perak
Berita Yayasan
Pituah

Nak Urang koto ilalang
Nak lalu ka pakan Baso
Malu jo sopan kok lah ilang
Habihlah raso jo pareso
Milis Minang
Rantaunet
Surau
Aktivis Minang
Media Padang
PosMetro Padang

Memancing Ikan Gariang (Sebuah pengalaman di Hutan Solok Selatan Sumbar)
Written by Andi Jupardi (Jepe)   
Tuesday, 16 September 2008

Tahun 1992 disaat saya  berada disebuah kawasan hutan tepatnya di Lubuk Gadang, Solok Selatan  (setelah Muaro Labuah), tepatnya persimpangan jalan ke Kabupaten Kerinci menuju Sei Penuh-Jambi. Hari Kamis adalah hari  Pasar (Minang : Pakan atau Balai), setiap pagi didepan camp saya selalu  ada saja penduduk yang turun gunung sambil membawa ikan-ikan hasil pancingan mereka untuk dijual di Pekan yang ramai setiap hari Kamis tersebut. Biasanya mereka mampir dulu di camp kami untuk menawarkan ikan hasil pancingan mereka. Ikan Gariang begitu nama ikannya, berat dan ukurannya bervariasi mulai dari yang kecil sekitar 50 Gram sampai yang besarnya bisa mencapai berat 6-8 Kg lebih.

Ikan gariang ini seperti ikan tawes, sisiknya keperakan dan berkilau, daging ikan ini berduri halus rasanya gurih dengan serpihan daging yang renyah jika digoreng. Saya selalu membayangkan penduduk ini memancing ikan garing, betapa asyiknya ketika pancing mereka ditarik ikan garing ini saat mereka pergi ke hutan perawan yang merupakan hulu sungai Batang Hari. Tidak perlu berlama-lama saya berakrab ria dengan mereka saat berbincang-bincang di camp,  sambil membeli ikan hasil tangkapan mereka saya menawarkan diri untuk ikut pergi mandah bersama mereka memancing ikan gariang.

 

Mmmmm..Yummynya Ikan Gariang di Bakar, Harga satu renten Ikan Gariang di Jalan Lintas Lembah Anai di Jual Rp 30.000/jarek

Awalnya mereka menyangsikan saya, mereka berpikir sekedar Basa basi saya saja dalam menyapa mereka, tapi saya tanpa tedeng aling menyampaikan niat dan kemauan keras saya untuk ikut bersama mereka, tapi nampaknya mereka masih ragu dan  berkata “Yang benar nih..Yuang mau ikut kami kedalam hutan sana, tinggal di pondok dengan kondisi yang serba terbatas disamping itu cuaca yang dingin di tengah hutan rimba sana” atas pernyataan mereka yang meragukan keseriusan saya tersebut, saya meyakin mereka “Pak, saya ini kalau bercerita masalah memancing dialam bebas bukan hal yang aneh lagi dan saya siap dengan situasi serta kondisi di hutan sana, mandah (berkemah) didalam hutan akan selalu saya rindukan” lalu saya menceritakan seputar pengalaman saya berakrab ria dengan hutan dan segala jenis ikan yang pernah saya pancing di sungai-sungai yang mengalir didalam hutan.

Mereka cukup larut mendengar ocehan saya seputar  pengetahuan serta wawasan saya memancing di alam bebas, disamping itu untuk meyakin mereka saya perlihatkan segala alat pancing  yang memang selalu saya bawa dimanapun  saya bekerja, lalu saya tunjukan “aksi” bagaimana memasang mata pancing, keseimbangan antara mata pancing dengan nilon serta menjelaskan teknik jika pancing kita ditarik oleh ikan yang cukup besar sementara tali nilonnya halus.

Mereka hanya manggut-manggut dan berkata “Jika anda  mau ikut kami setiap hari Selasa  masuk ke hutan menuju hulu sungai Batang Hari serta sungai-sungai kecil lainnya (anak sungai), kami mandah sampai subuh Kamis lalu turun sambil membawa ikan untuk dijual di Pekan  Lubuk Gadang” Atas tawaran yang bersahabat ini saya kembali meyakin mereka “Terima kasih Pak Insya Allah saya ikut, pokoknya beres rokok, gula dan kopi serta mie instant tanggung jawab saya, jam berapa saya tunggu di camp  pada hari Selasa tersebut untuk berangkat ke dalam hutan”. Tanya saya. Mereka memastikan janji pada saya  kapan bersama-sama  masuk hutan “Bapak tunggu kami di camp ini sekitar jam 7 pagi. Deal..!!! sambil saya salaman dengan mereka dan menyerahkan uang Rp 20.000 untuk 3 Kg lebih ikan garing, harga ikan tersebut pada saat itu dipasaran sekitar Rp 5.000/Kg.


Akhirnya waktu yang ditunggu datang juga, dari jam 6 pagi saya sudah menunggu mereka di depan camp sambil mengopi, peralatan pancing telah saya kemas  rapi, sebuah tas ransel yang berisi beberapa helai pakaian dan celana serta “sembako” untuk kebutuhan mandah dihutan sana, tidak lupa jaket parasut yang cukup tebal dan mumpuni untuk melindungi diri dari hawa dingin dan hujan saat memancing dan tidur nantinya didalam pondok mereka.  Desa Lubuk Gadang yang terletak dikaki pegunungan Bukit Barisan didaerah Solok Selatan cuacanya sangat dingin diwaktu subuh  saat kita menyentuh air dinginnya serasa memegang Es yang mencair, Ini ditandai juga minyak goreng di dapur camp saya selalu dalam keaadan membeku (mengental warna kuning keputihan) perlu dipanaskan sejenak botol minyak goreng tersebut didekat bara tungku yang sedang menyala agar mencair dan siap digunakan.

 

Ikan Gariang banyak terdapat di Sungai2 Lembah Anai, foto ini Ikan Gariang yang Dijual oleh Penduduk Lembah Anai disepanjang jalan Lintas Lembah Anai

Pada hari selasa minggu depannya sejak pertemuan dengan mereka , menjelang jam 7 dari camp  saya lemparkan pandangan  kearah jalan, “itu mereka..! telah datang “ beriringan berjalan 3 orang sambil menyandang tas ransel lengkap dengan bahan makanan untuk kebutuhan hidup selama mandah, alat-alat pancing mereka ditinggal di pondok  didalam hutan, biasanya mereka membawa umpan pancing untuk ikan garing yaitu ubi rambat (Minang : Ubi Jala Merah) yang dipotong-potong seukuran dadu, ini salah satu alternative umpan, tapi  menurut mereka ikan gariang sangat ganas memakan umpan udang-udang hidup yang mereka dapatkan di anak-anak sungai seputar pondok mereka dengan cara memakai  jaring nilon bermata kecil yang dililitkan pada rotan membentuk lingkaran (Minang : Tangguak).

Sesampai di camp saya mereka istirahat sejenak dan mereka cukup terkesan atas segala keseriusan saya ikut  memancing dan mandah, saya tawarkan kepada mereka  sebelum kaki melangkah menuju hutan  minum kopi sambil menikmati biscuit yang memang telah saya siapkan. Selesai minum kopi kami segera menuju pondok ditengah lebatnya hutan bukit barisan Solak Selatan, perjalanan dari camp saya menuju pondok tersebut ditempuh selama 3 jam lebih  berjalan kaki menelerusi jalan-jalan HPH (Logging Road) dengan medan yang cukup menguras tenaga dan napas saya,  mendaki bukit, menuruni lembah, menyusuri punggung bukit (kontur)  sampai  berakhir jalan HPH,  perjalanan dilanjutkan  menempuh jalan setapak diantara lebatnya hutan yang lantainya  selalu basah dengan lapisan serasah  empuk dari bekas daun-daun pepohan yang gugur.

Menjelang sampai di pondok sayup-sayup terdengar deru air sungai yang mengalir, akhirnya kami sampai di pondok yang terletak disebuah dataran pinggir sungai.
Woowww ,,!! sebuah pemandangan yang menakjubkan khas hutan perawan pegunungan, kiri kanan pondok hutan tropis yang basah dengan aneka pohon-pohon berdiameter besar dengan tajuknya (canopy)  yang rimbun sehingga cahaya matahari tengah hari sayup-sayup sampai menyentuh lantai hutan, udara yang sejuk bahkan cukup dingin disaat matahari bergerak diatas puncak puncak kepala.

Sungai yang cukup lebar  dengan air yang jernih bening mengalir diantara bebatuan dan cadas, tebing dikiri kanan badan sungai. Anak-anak sungai berlomba-lomba mengalir memenuhi Hulu Sungai Batang Hari, sungguh sebuah pemandangan yang memesona dan ini selalu saya rindukan sebagai salah seorang yang berlatar belakang pendidikan di dunia kehutanan.

Kami istirahat sejenak di Pondok berupa panggung dengan atap plastik biru berukuran 3 kali 4 meter beralaskan kayu diameter 6-8 Cm yang disusun rapat dan  diikat rotan lalu dialas dengan tikar pandan. Dibelakang pondok terdapat sebuah emperen dengan dua buah tungku untuk memasak serta peralatan sederhana rumah tangga yang tergantung seperti periuk, kuali, jerek dan beberapa piring plastik, sendok makan dan sendok gorengan yang disusun disebuah rak kayu. Diatas tungku tersusun kayu yang dibelah serta ranting-ranting kayu sebagai bahan bakar untuk memasak.

Selesai kami menarok barang bawaan masing-masing didalam pondok, lalu kami membagi tugas  saya menawarkan diri membantu memasak dengan salah satu dari mereka, sementara dua orang lagi pergi mencari udang di anak-anak sungai untuk umpan memancing ikan gariang. Memasak  dihutan saat survey dan mandah bukan hal yang asing lagi bagi saya, boleh dikatakan saya cukup cekatan yang membuat “kawan-kawan baru” saya ini terkagum-kagum malah saya mengatur menu siang itu. Sederhana saja ikan asin goreng yang ditumis dengan cabe giling, sambil menunggu udang kecil yang didapat menjelang makan saya akan tumis mie instant dengan udang-udang tersebut, tidak lupa saya berpesan dan memang mereka sudah tahu agar nanti dicari pakis (Minang : Paku) yang biasanya banyak tumbuh dipinggir anak-anak sungai seputar pondok kita . Rencananya nanti malam saya akan hadirkan menu cah pakis dengan udang serta ikan bakar gariang…waaaa..membayangkannya saja membuat perut saya semakin “menggigil” lapar disiang hari ini.

Kami kembali berkumpul di Pondok sesuai rencana, umpan udang telah didapat  dimasukan dalam kantong yang berbentuk jaring lalu ditenggelamkan ke anak sungai dengan mengikatnya kesebuah batang kayu yang tumbuh dipinggir anak sungai. Udang-udang sebesar ibu jari saya ambil beberapa ekor lalu saya kupas…mmmm..harumnya udang ini saya tumis dengan bawang merah dan bawang putih yang diiris tipis, setengah matang saya tuangkan air dalam kuali menjelang mendidih saya rendamkan 3 kantong mie instant lengkap dengan bumbu yang telah tersedia.

Ikan asin goreng balado, Mie kuah tumis udang yang masih panas, nasi didalam periuk yang tak kalahnya ikut-ikutan mengepulkan asap, cuaca tengah hari yang sejuk, perut yang menggigil kelaparan inilah sebuah kenikmatan yang tiada tara ditengah hutan walau dengan cara-cara yang sangat sederhana serta menu yang boleh dikatakan jika tinggal dikota bisa jadi dilirik sebelah mata. Betapa lahapnya kami menyantap hidangan ini, silahkan ambil tempat duduk dimana saja, nikmati makan siang ini dengan memandang alam sekitarnya serta dihibur simpony deru dan gemericik air sungai yang mengalir lalu ketika nasi disuap nikmati juga permainan solo suara kicau burung yang bergerak lincah diantara dahan ke dahan. Suara burung yang sedang dimabuk cinta, penuh gaya untuk memikat sang pujaan hati untuk segera bercengkrama memadu kasih, melayang-layang indah di alam bebas…mmm…apa yang anda pikirkan ?

Selesai sudah makan siang yang fantastis ini, sambil menunggu makanan yang telah masuk ke lambung kami dicerna dengan sempurna sambil mengisap sabatang dua batang rokok ditambah hirupan kopi panas, kami menyusun rencana memancing yang akan dimulai sekitar jam 2.30 an menjelang magrib. Tiba waktunya untuk berangkat memancing, dari pondok kami menuju sungai yang arusnya cukup tenang atau mereka istilahkan “lubuk” (Minang : Lubuak Ikan)  dimana mempunyai kedalaman tertentu dan biasanya disanalah komunitas ikan gariang berkumpul bersama jenis-jenis ikan lainnya khas sungai di pegunungan hutan tropis.

Kami telah berada di lubuak ikan lalu masing-masing mengambil posisi dan membagi umpan udang dan potongan dadu ubi rambat secukupnya. Ada dua cara dalam memancing ikan gariang ini, pertama dengan melempar pancing secara lansung ke lubuk tersebut  yang kedua dengan menautkan tali pancing di pinggir sungai lalu dilemparkan ke lubuk tanpa di tunggu. Biasana ikan garing belum terlalu ganas memakan umpan pada jam 3 sampai menjelang pukul 5, tapi selepas jam lima menjelang Magrib baru ikan-ikan ini aktif dan ganas memakan umpan. Tapi menurut mereka jika udang hidup “nggak ada matinya” jika berhadapan  “head to head” dengan garing di dalam lubuk sana, lansung mereka santap. Ikan garing kata mereka akan selalu hatinya “terbakar dan panas” jika didepan mereka berseliweran udang-udang hidup.

Faktanya begitu tidak lama menunggu diantara kami sudah mengangkat beberapa ikan gariang rata-rata berat 1 kiloaan. Ikan yang baru didapat dalam keaadan hidup segera kami masukan dalam keramba berbentuk kotak persegi yang terbuat dari kayu-kayu berdiameter kecil dengan pintu kecil diatasnya yang bisa ditutup buka. Ikan-ikan ini dimasukan dalam keramba tersebut lalu dibenamkan dipinggir sungai dengan menimpanya dengan beberapa batu ukuran sedang. Keramba ini diikat dengan tali nilon jemuran dibatang-batang kayu yang tumbuh dipinggir sungai.

“Pak kapan kita dapatkan “mbahnya” ikan gariang” begitu Tanya saya kepada salah seorang dari mereka yang boleh dikatakan paling ahli (baca: rada-rada punya ilmu atau biasa disebut juga pawang ikan). Dijawab oleh pawang ini “ntar sore menjelang magrib dan subuh-subuh besok menjelang jam 10 pagi, mau ikut subuh-subuh asal tahan dingin yang menusuk tulang saja”. Insya Allah ikut Pak…kalau keenakan tidur dipondok subuh-subuh apaboleh buat tinggalin saja saya Pak, tapi saya ingin sekali ikut merasakan tarikan “mbah” ikan garing.

Menjelang magrib kami telah mendapatkan banyak ikan garing berbagai ukuran dan berat serta jenis ikan lain seperti ikan panjang  (Moa). Pada umumnya yang menjadi incaran mereka memang Ikan Gariang ini sebagai sumber mata pencaharian. Kami pulang ke pondok dengan membawa beberapa ikan gariang untuk santap malam,  terlebih dahulu ikan tersebut telah kami bersihkan disungai dan nantinya di pondok  siap untuk di bakar. Sampai di pondok kembali saya beraksi menunjukan kecekatan tangan saya dalam membakar ikan serta meramu saosnya., tidak lupa saya membuat cah pakis yang lezat dan mengundang selera dengan campuran potongan daging udang sisa umpan. Selepas shalat magrib cuaca semakin dingin semakin terasa menghantam tubuh walau saya telah memakai jaket dan topi sebo rep. Kami berkumpul dipondok dengan penerangan lampu teplok  siap menyantap hidangan yang luar biasa ini. Mereka hanya bisa tersenyum puas dan merasakan lain dari suasana yang selama ini mereka alami tanpa saya. Biasanya mereka makan yang praktis dan  asal jadi saja yang penting nasi serta sambal tersedia. Tapi kali ini saya menghadirkan menu yang menurut mereka tertata baik dari segi rasa maupun tampilan.

“Ondee..Ndi..yo babeda bana..rasonyo..makan kami. Biasonyo kami sanduak nasi di pariuak tu mancongkong  ditungku sambia mambaka Ikan Gariang nan dibaka asa jadi sajo, lah ado lado lah jadi tu dek kami, kini ko sayua pakih batumih-tumih bagai pakai udang..yo santiang rasonyo” kata pawang ikan “ ( Walah…Ndi..sangat beda rasanya makan kami, biasanya kami nongkrong di tungku membakar ikan gariang asal  masak saja, yang penting sambal lado tersedia cukup sudah, tapi kali ini kami makan pakai tumis pakis sama udang, mmm..memang enak  sekali rasanya)

Kenyang sudah “Los Lambung”, sambil bersandar menikmati kepulan asap rokok kami larut dengan pikiran masing-masing tanpa banyak berkata-kata lagi. Setelah shalat Isya kami mengobrol sejenak  untuk lebih mengenal apa  dan bagaimana diri masing-masing serta cerita menarik lainnya seputar “penghuni hutan”. Jam 10 kami telah “mengukur” panjang pondok dengan badan masing-masing, tapi nampaknya panjang lantai pondok ini semakin pendek rasanya karena badan kami melengkung (Minang : Mancingkuak) tidur menahan dingin yang menusuk tulang.

Subuh sekitar jam 4.30 Mak Pawang Ikan telah bangun dan merebus air, sementara saya masih tertidur lelap dikedingin subuh, berat rasanya untuk bergerak memulai aktivitas dipagi buta dalam kegelapan hutan yang lebat. Tapi jika terngiang cerita Mak Pawang tarikan ikan garing yang ganas  pada pagi hari saya memaksakan diri untuk bangun jam 5 pagi.Dinginnya cuaca diluar pondok luar biasa sangat berat langkah bahkan untuk mengambil wudhuk shalat subuh, setiap tetesan air di parit kecil  disamping pondok kami begitu menghujam menusuk tulang dinginnya saat menyentuh kaki, tangan, muka dan telinga..brrrrrr…rrrrrrrrr.!!!!

Selesai shalat subuh saya berdiang dipanasnya api tungku, inilah kerja yang efektif seperti kata pepatah Minang “Sambia badiang, nasi masak” (Sambil memanaskan diri di tungku, nasi masak), setiap teguk kopi panas yang dibikin Mak Pawang begitu nikmat terasa. Jam  5.30 kami semua telah sarapan kali ini praktis saja menu kami, mie instant rebus berkuah plus sisa ikan bakar semalam yang kami panaskan sejenak di atas tungku yang masih membara. Selesai makan kami berangkat ke “Lubuk Ikan Gariang”, diperjalanan kami mencari udang disekitar anak-anak sungai untuk umpan nantinya.

Jam 6 an kami telah sampai di lubuk sungai, sebelum pancing dilempar kami memeriksa pancing yang ditahan (ditautkan) di pinggir sungai dengan umpan ubi merah. Waw…cukup lumayan dapat ikan garing dengan berat yang bervariasi antar 500 gram sampai 3 kilogram. Ikan-ikan yang masih hidup kami masukan dalam keramba bergabung dengan hasil pancingan yang lain. Kami  masing-masing mencari posisi  diatas tebing-tebing yang landai dengan ketinggian dari permukaan sungai sekitar 2 meter. Saya menggunakan joran berbentuk antene dengan  panjang 4 meter serta kotrol dengan tali nilon ukuran kecil tapi berkualitas buatan Amerika (Barcley ?). Begitu juga joran dan katrol bermerek Shimano sudah 2 tahun saya gunakan sejak pertama dibeli dan tidak pernah bermasalah.

Tali nilon bersama pancing dengan pemberat timah telah saya lempar ke lubuk  ikan gariang, memang “nggak ada matinya” jika memancing kesarang ikan,   tanpa berlama-lama pancing saya ditarik..syuttttttt…ujung joran saya melengkung, dengan sentakan ringan mulut ikan sudah terkait dimata pancing saya didalam lubuk sana. Ikan garing melakukan perlawanan yang tangguh, semakin saya tarik,  si garing semakin memberikan akselerasi dengan gerakan yang semakin liar membuat ujung joran saya melengkung tajam. Mmmmm disinilah candu memancing tersebut, inilah “orgasme”: yang membuat jantung berdebar, ingin segera tahu ketika ikan muncul dipermuaan air “seberapa besar ikan ini ku dapat.

Kemungkinan ada dua saja, lepas karena bisa jadi mata pancing terkait tipis saja diujung ikan sehingga ketika dia mengadakan perlawanan bisa jadi selaput tipis yang terdapat diujung bibir ikan robek sehingga mata pancing terlepas. Lain halnya jika mata pancing terkait sempurna misalnya diantara katup insang atau umpan ditelan  dikerongkongannya maka mata pancing dengan ujungnya terdapat hook yang tajam membuat ikan tidak bisa “berkata apa-apa lagi”, lagu dang dut yang paling cocok didendangkan bagi si gariang adalah “Pasrah”.
 
Bunyi gear katrol  semakin merdu ketika digulung, saya tidak perlu kwatir akan putus tali pancingan akibat tarikan ikan garing yang luar biasa ini karena tali nilon yang saya miliki adalah produk impor yang berkualitas tinggi. Putaran katrol saya  .terhenti  dan berakhir disaat ikan gariang  tergeletak diluar habitatnya yaitu daratan, menggelepar dengan delik  dan sorotan mata yang tajam. Asyik memang jika sebuah hobi  berujung pada sebuah  kepuasan. Ikan gariang yang paling besar saya dapatkan dengan berat sekitar 2 Kg, sementara mbah Gariang yang beratnya 6-8 Kg  kami tidak mendapatkannya, ikan yang paling besar di dapat mak Pawang  dengan ukuran berat sekitar 3 Kg lebih.  Ikan-ikan yang kami dapat segera dimasukan kedalam keramba agar nantinya jika dibawa turun gunung masih dalam keaadaan hidup dan segar sesampainya di Pekan.

 Sekitar jam 11 kami kembali ke pondok untuk istirahat, setelah makan siang  sejenak saya merebahkan  diri diatas tikar dalam pondok,  sementara mak Pawang bersama kawannya kehutan disamping pondok mencari rotan ukuran kecil yang nantinya digunakan untuk mengikat ikan gariang (Minang; Manjerek Ikan) dalam keramba untuk dibawa ke pekan. Disamping itu mereka juga mencari banir  dari pohon yang berkualitas (salah satu jenis pohon meranti) nantinya dirumah dibentuk menjadi gagang parang  lalu dijual di pekan atau sama pengumpul yang akan dibawa ke Kerinci (Sie Penuh) daerah yang juga terkenal dengan “home industri” (pandai besi) pembuatan peralatan  pertanian sederhana seperti cangkul, parang, golok, pisau,  sabit, garu  dan lain sebagainya.


Kami kembali ke sungai memancing sekitar jam 4 sore  kali ini kami mencari lokasi yang berbeda  saat memancing tadi pagi tapi masih diseputar lubuk ikan gariang. Teriakan-teriakan kecil saat  kami mendapatkan ikan  meramaikan suasana memancing sore itu. Jam 6 kami kembali ke Pondok setelah mandi disungai dan membawa beberapa ikan gariang yang telah dibersihkan untuk menu makan malam kami. Malam kemaren ikan  bakar,  nah malam terakhir ini saya  membuat asam padeh ikan gariang,  sederhana saja tuangkan air dikuali larutkan dengan cabe giling tambahkan bumbu-bumbu seperti daun kunyit , untuk memberikan sentuhan asam saya peraskan jeruk nipis sebagai pengganti asam kandis. Rasa asam pedas ini biasa saja “tertolong rasanya” karena ikan gariang yang masih segar, dan  menjadi luar biasa rasanya ketika dinikmati ditengah hutan dengan suhu udara yang dingin.

Kamis subuh setelah sarapan  kami ke Sungai  untuk mengikat ikan hasil pancingan yang berada dalam keramba dengan rotan-rotan kecil, satu rangkaian  biasanya sekitar 10-15 ekor ikan tergantung besar kecil ikan yang didapat. . Didalam keramba disamping ikan yang masih hidup, banyak juga ikan yang “satu-satu” napasnya, tapi tentunya masih segar dan layak dikonsumsi. Jam 6 pagi kami turun dari pondok menuju ke Pekan  yang berada sepanjang jalan raya Desa Lubuk Gadang menuju Sei Penuh-Kerinci..

Kami kembali menempuh jalan yang sama mendaki  bukit, menyusuri lereng bukit dan menuruni lembah disepanjang lorong hutan yang memang telah dirintis dan  membentuk jalan setapak yang ujungnya  berakhir di jalan utama HPH  (Logging Road . Minang : Jalan Balak Kayu). Sekitar jam 9 kami telah sampai di Pekan  yang ramai dengan segala hiruk pikuk pasar ala desa dengan berbagai dagangan hasil bumi serta barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sementara mak Pawang menjual ikan gariang hasil pancingan kami di sebuah lapak ikut bergabung dengan temannya yang lain menjual ikan hasil budi daya seperi Nila, Gurami dan Lele,  saya  santai sejenak di kedai sambil menikmati jajanan kue-kue khas orang desa dan secangkir kopi panas.

Jam 12 siang setelah semua ikan gariang terjual habis, mak Pawang dan kawannya mengajak saya makan disebuah lapau nasi yang  memang selama saya bekerja  di HPH yang ditempatkan dilokasi (Camp),  sudah menjadi langganan saya makan disana pada hari Pekan. Ayam kampung goreng baladonya memang luar biasa enaknya ini yang menjadi andalan lapau nasi yang terletak dipersimpangan jalan menuju  Sei Penuh, (seingat saya nama simpangnya letter W). Padanan ayam goreng ini adalah kukus (minang: Uok)  pucuk daun singkong, kacang pancang dan terung ungu. Sebuah kombinasi menu yang pas  apalagi nasinya berasal dari beras desa Lubuk Gadang yang harum dan pulen (Beras Muaro Labuah cukup terkenal  baik dari segi rasa dan penampilan fisik, beras ini juga berasal dari Lubuak Gadang, biasanya jika sampai di pasar-pasar kota Padang dikenal dengan satu sebutan saja beras Muaro Labuah)

Kami menikmati makan siang dengan lahapnya,  sambal balado  dengan genangan minyak goreng  beserta uok sayur-sayuran  ditambah empuk dan gurihnya ayam kampung muda (balah ampek) yang membuat lambung “terkapar” menahan kenyang.

Entahlah selagi sehat apalagi masih muda saya saat itu  didukung cuaca pegunungan yang sejuk bahkan dingin membuat selera makan  susah dikendalikan kalaupun tidak dikatakan “gila-gilaan”  Selesai  makan mak Pawang membuat “perhitungan” dengan saya tentang  hasil penjualan ikan gariang pancingan kami, mak Pawang menawarkan saya sejumlah uang, tapi saya menolaknya sebab dari awal sudah saya sampaikan pada mak Pawang dan kawan-kawannya,  saya ikut serta dengan mereka mandah memancing gariang hanya sebatas hobi saja (Minang : Malapehkan candu mamanciang)  dan ingin menikmati suasana hutan dan  pegunungan diatas desa Lubuk Gadang. Saya juga menjelaskan pada mereka bahwa saya salah satu karyawan HPH di bagian teknis (kala itu Surveyor) pengalaman mandah bersama mereka sangat bermanfaat bagi saya minimal secara umum mengetahui kondisi hutan yang masuk dalam kawasan HPH, dan nantinya tentu memudahkan   saya menjalan tugas sebagai surveyor.

Mak Pawang merasa tidak enak hati terhadap penolakan saya, begitulah  orang desa selalu menghargai jerih payah seseorang seperti kata pepatah minang “Jariah manantang buliah” (setiap pekerjaan ada imbalannya)  ada hak saya didalam setiap ikan gariang yang terjual. Jikapun uang yang mereka sodorkan pada saya ditolak, ada cara lain mereka menghargai jerih payah saya tersebut yaitu mak Pawang sebelum kami beranjak di lapau nasi keluar  mampir disebuah warung, lalu ketika kembali ke meja makan mak Pawang telah menyodorkan pada saya 4 bungkus rokok kretek filter, tidak ada alasan saya untuk menolaknya  lagi. Akhirnya saya terima rokok tersebut sebagai bentuk penghargaan yang tulus dari mak Pawang terhadap “Jariah manantang buliah”.

Kebersamaan kami selama 3 hari telah telah terjalin sebuah persahabatan dan hubungan silahturrahmi (Ikhwanul Muslimin), pada suatu kesempatan saya sangat bermohon sekali sama mak Pawang dan kawan-kawan untuk ikut menjadi anggota tim survey potensi kayu dan mereka dengan senang hati menerima tawaran saya ini. Pekerjaan saya menjadi lebih ringan dan terasa mudah  terutama dengan mak Pawang  saya merasa aman disampingnya ketika masuk hutan. Mak pawang tahu persis seluk beluk kondisi hutan dengan segala “penghuninya” dan begitu juga dalam mengenal nama jenis-jenis pohon komersil dalam bahasa lokal.

“Sambia badiang ditungku, nasi masak” itu adalah saat survey melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan perusahaan pada saya,  sore hari saat istirahat mandah dihutan kami menyempatkan diri memancing atau sekedar mencari udang dan ikan-ikan kecil di anak sungai buat teman  makan nasi kami, secara becanda saya bilang sama mak Pawang “Iko namonyo Mak,  candu lapeh, karajo salasai dapek lo gaji”, (Hobi tersalurkan, kerja beres dapat upah lagi) mak Pawang hanya tertawa kecil dengan deretan giginya yang kuning kecoklatan  karena candu rokok yang diisapnya.

Setiap saya melakukan perjalanan pulang kerumah orang tua di Padang dari Pekanbaru, saat saya istirahat sejenak di Lembah Anai yang sejuk, hijau dengan pepohonan yang lebat dengan sungai airnya yang bening  mengalir berkelok-kelok didasar lembah, sementara dipinggir jalan utama penduduk menjajakan ikan gariang, membuat saya akan selalu  terkenang masa-masa bersama Mak Pawang dan kawannya  memancing ikan gariang di pegunungan bukit barisan di Desa Lubuk Gadang. yang indah, sejuk dan subur

Sungguh indah kebersamaan saat itu

Pekanbaru,  8 Ramadhan 1429 H/8 Agustus 2008
Catatan :

Photos taken by Jepe, Lembah Anai, August, 20 th, 2008

Panasonix Lumix-DMC-FX12

 

 

Trackback(0)
Comments (6)

hifni hfd said:

Assalamualaikum, wr,wb

Setiap perjalanan dapat dipastikan menghasilkan pengalaman dan pembelajaran. Itulah yang selalu disajikan oleh seorang Andi jupardi, dimana aku menyebutnya sebagai "orang hutan". Ia mampu mengkisahkan setiap detail perjalanannya, sehingga menjadi begitu berarti. Walaupun rekaman masa lalu, namun dapat diinspirasikan menjadi kisah yang baru.
Uni berharap...Selalu dan selalu menulis Andi.. mudahan juga membuka hati dan akal pikiran bagi generasi muda yang lain untuk juga menuliskan pengalamannya.

Semangat.. semangat.. bangkit dan bangkit agar rakyat semakin badarai...

wassalam,

http://bundokanduang.wordpress.com
 
report abuse
vote down
vote up
September 16, 2008 | url
Votes: +0

Syafrizal Katik Batuah said:

Ondeeeeeh.......Mandeeeee......

Manggarik-garik tangan ambo raso maelo panciang..................sabab baa dek baitu, tabayang bana tarikan gariang tu, sabana sero, babade jo ikan-ikan lain..........

Alah tu jepe.......jan carito mamanciang juo lai............lamo raso bulan puaso ko deknyo, kalau di kampuang bulan puaso bisa di tapi sungai awak duduak, tapi kalau di kota ko.........manitiak salero deknyo. Mantaaappp.....


Katik Batuah
 
report abuse
vote down
vote up
September 16, 2008
Votes: +0

andijupardi said:

Uni Evy yang baik, terima kasih atas dukungan semangatnya dan faktanya semenjak kita kenal banyak juga inspirasi menulis andi dapat di blog-blog Uni. Dan buat Mak Katik Batuah..iyo serokan jujuik gariang..jujuik ikan ko indak ado urang manjuanyo Mak..Ikan bara juo banyaknyo bisa awak bali...batuakan Mak...yo Mantabbbb ehhhh..katiko "strike" jo si Gariang Wass_penulis Catatan ; Sedikit ralat seharusnya 8 September 2008 ukan 8 Agustus 2008
 
report abuse
vote down
vote up
September 16, 2008 | url
Votes: +0

khairunas said:

taruihan manulis pak jep. supayo tabukak pamikiran nan mudo mudo nan mode ambo ko.ndak mamandang gagal atau berhasil nyo suatu perbuatan nan jaleh di lakukan berhasil ndak berhasil nyo urusan ka duo.. ,salero lapeh,karajo salasai,dapek pitih lo lai.... .nan jaleh salero lapeh dulu....pitih urusan kaduo..( KEPUASAN BATHIN HAL YANG UTAMA )...SMANGAT....SMANGAT..
 
report abuse
vote down
vote up
September 16, 2008
Votes: +0

Samdi dinar said:

Ce deux photos sont très artistique, j'aime beaucoup ! merci ! = duo photo ko sangek artistik, ambo suko bana ! tarimokasih !
..............Lauk gariang ........... ondeh iyo alah lamo bana ambo indak makan lauk gariang, lauk gariang segar di goreang sudah tuh di galimangan jo lado sirah batomat taruih dimakan jo nasi angek ......... di makan jo sayua jala lidi tumih balado ....... sero bana !
 
report abuse
vote down
vote up
September 18, 2008
Votes: +0

Irwin Ismail said:

uda Jepe, saya kutip:

"Kemungkinan ada dua saja, lepas karena bisa jadi mata pancing terkait tipis saja diujung ikan sehingga ketika dia mengadakan perlawanan bisa jadi selaput tipis yang terdapat diujung bibir ikan robek sehingga mata pancing terlepas. Lain halnya jika mata pancing terkait sempurna misalnya diantara katup insang atau umpan ditelan dikerongkongannya"

obatnya ada tu uda, pakai mata kail dengan tipe 'circle hook'. dengan kail tipe ini dipastikan ikan akan kena pas di bibir, dan tidak di kerongkongan. agak susah menerangkannya, tapi coba uda googling aja dengan keywords tsb.

salam,
ii.
 
report abuse
vote down
vote up
August 11, 2010
Votes: +0

Write comment
You must be logged in to a comment. Please register if you do not have an account yet.

Last Updated ( Tuesday, 16 September 2008 )
 
< Prev   Next >




Member Area
Status Radio
Radio Online Minang
Yayasan Palanta Cimbuak
Yayasan Palanta Cimbuak
Dari Awak, Oleh Awak, Untuak Kampuang
Nio berpartisipasi? Silakan klik disiko
Cimbuak Features

Cimbuak Chat


Cimbuak Chat


Free Email


Free Email
Yayasan Cimbuak
Situs Terbaik
Online Sekarang
We have 11 guests and 5 members online
Generated in 4.15042 Seconds