Pemilihan judul tersebut diatas bukanlah tanpa alasan, tetapi yang jelas tidaklah bermaksud (merendahkan) menghilangkan minat baca dunsanak sekalian. Judul tersebut sengaja dipilih untuk menggambarkan betapa kini urang awak dari beberapa pengalaman dilapangan memperlihatkan kecendrungan seperti “malu” untuk mengakui asal usulnya. Memang benar adanya, bahwa semangat kedaerahan yang diperlihatkan para perantau Minang masih (sangat) tinggi, hal ini terbukti dari banyaknya perkumpulan warga Minang di suatu daerah dimanapun, di seluruh Indonesia. Bahkan perkumpulan warga Minang juga cukup banyak kita dengar diluar negeri, seperti Australia, Malaysia, beberapa Negara di Eropa, Kanada, dan lain-lain. Lalu kenapa judul tersebut yang dipilih?
Dilatarbelakangi keprihatinan akan semakin hilangnya jati diri orang Minang, sebagaimana kita baca pada tulisan-tulisan di cimbuak seperti diantaranya pada ABS-ABK, Tantangan Untuak Urang Minang, Namo nagari di Minangkabau lah tajua, mungkin bisa dianggap cukup mewakili kekhawatiran tersebut. Betapa tidak, dari segi pemahaman dan pelaksanaan syariat Islam, setidaknya pada sebagian kecil masyarakat sudah mulai tergerus. Demikian pula, bahasa / dialek lokal yang mestinya dipertahankan dengan teguh kini mulai dihilangkan (lihat tulisan Namo nagari Minang alah tajua). Bukan itu saja, cobalah perhatikan pada pertemuan (arisan) keluarga / warga Minang, sangat sedikit yang berbicara dengan menggunakan bahasa ibu, lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Pembawa acara / pimpinan rapat (pertemuan) seakan berlomba memperlihatkan bahwa kini mereka tak bisa lagi berbahasa Minang. Apalagi pada pertemuan yang sifatnya resmi, jika terdapat lebih dari 2 orang Minang disitu, bisa dipastikan ada yang tidak mau diajak berbahasa Minang. Kita sudah berusaha mengajak pakai bahasa Minang, lawan bicara dengan tanpa sungkan menjawab dengan bahasa Indonesia. Kalau lawan bicara tersebut dari kecilnya hidup di rantau (kota besar / metropolitan) mungkin masih dapat dimaklumi, tetapi kadang kita tahu persis dalam kesehariannya (setidaknya) dirumah mereka berbahasa Minang. Jika dirumah berbahasa Minang, mengapa dalam pertemuan informal (katakanlah waktu istirahat) pada forum / acara resmi mereka enggan diajak berbahasa Minang? Apakah malu dan takut didengar orang banyak? Padahal berbicara dengan menggunakan bahasa ibu (Minang) bagi sebagian orang cukup dapat melepas kerinduan akan kampung halaman, apalagi lawan bicara (katakanlah sudah menjadi orang penting/pejabat) diyakini dapat sedikit mengangkat rasa percaya diri dan kebanggaan akan keberhasilan putera Minang. Disamping itu pula, bagi warga Minang yang cinta akan daerahnya, yang tahu akan usulnya seharusnya memanfaatkan momen tersebut untuk memperlancar penggunaan bahasa Minang. Jangan sampai berlaku pepatah lama yang dikaitkan pada kita ”alah lupo kacang ka kuliknyo”. Peribahasa ”satinggi-tinggi tabang bangau, hinggoknyo ka kubangan juo” patut direnungkan. Kasus dimana mulai maraknya nana-nama negeri di Minang yang di Indonesiakan perlu kita waspadai serta mendapat perhatian kita bersama, dan tidak boleh diteruskan (lagi). Yang paling mendesak untuk dilakukan masyarakat Minang saat ini adalah mengembalikan citra Minang sebagai daerah yang teguh memelihara tradisi dan budayanya yang bernafaskan Islam. Kita patut bersyukur dengan terbitnya peraturan daerah (kebijakan beberapa Pemda) di Sumatera Barat yang mewajibkan pelajar puteri / siswi untuk menggunakan baju kurung khusus di hari Jum’at, setidaknya untuk tahap permulaan. Harapan kita, bukan hanya pada hari Jum’at, kalau bisa setiap hari. Bukan hanya sebatas berbaju kurung tetapi tentu setidaknya yang sesuai syariat. Tidak hanya asal berbaju kurung atau hanya sekedar memakai jilbab ”gaul” tetapi yang benar-benar dicontohkan dan disyariatkan agama yang Hanif ini. Wahai remaja puteri, siswi, mahasiswi, dan para wanita di ranah Minang, mengapa harus bercermin atau mengikuti cara berpakaian (orang-orang) yang salah? Apakah malu menggunakan bentuk pakaian yang telah diperintahkan Allah melalui perantaraan Nabiyullah-NYA? Kehidupan remaja dan kaum mudapun perlu mendapat perhatian para ninik mamak dan kaum cerdik pandai. Cobalah perhatikan, tunas-tunas muda di kampung kita, bahkan di kota Padang sekalipun sangat bangga dengan kebiasaan-kebiasan yang diharamkan / dilarang agama. Dengan bangganya mereka bermain (judi) di lapau-lapau, pesta minuman keras, berdandan ala ”bule”, bahkan diskotikpun sudah pindah ke jalan raya, sepanjang jalan! Apakah malu jika tidak ikut arus seperti tersebut diatas? Masih banyak, dan cukup banyak lagi perilaku urang awak yang harus kita perbaiki. Tidaklah ringan tugas yang dibebankan kepada para pemimpin Minang saat ini, baik kepada para pemimpin informal (Niniak Mamak dan Bundo Kanduang) serta pemimpin formal (dari kalangan Birokrat). Gadang ”kamaluan” boleh, tetapi hanya untuk hal-hal yang baik, benar, dan dihalalkan.
Trackback(0)
|