Page 1 of 13 Mimpi (01)
Banyak orang sukses karena mereka berani bermimpi namun tekun dan cendekia mengejar mimpinya. Biasanya mereka yang sukses melakukan tahapan seperti ini : Gantung mimpi tentang sukses setinggi langit.
Uraikan mimpi menjadi sasaran-sasaran. Wujudkan sasaran-sasaran menjadi tugas-tugas. Jadikan tugas-tugas dalam langkah-langkah. Lakukan langkah pertama dan ikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Teruslah melangkah dengan tegar dan cerdik meski batu menghalang di depan. Mimpi, seperti ditulis pakde Broto, jika didayagunakan akan membawa berkah dan pemacu intuisi. Masfuk, orang Jawa miskin yang berhasil menjadi orang kaya, dalam bukunya "Orang Jawa Miskin Orang Jawa Kaya" menuturkan bahwa mimpi adalah langkah pertama yang mesti diambil untuk menuju sukses. Tanpa mimpi, banyak orang tidak maju, karirnya jalan di tempat, dan ia menjalani rutinitas yang membosankan. Saya ingat betul dengan seorang penjual gethuk cantik di pasar dekat rumah, ketika saya masih SMP, yang suka manggil saya untuk beli dagangannya. "Cah bagus, arep tuku opo: gethuk, tiwul opo cethot?" Waktu SMP, karena masuk siang, saya memang dapat jatah pekerjaan rumah untuk belanja harian ke pasar meski saya anak laki-laki. Sembilan tahun kemudian, tatkala saya hampir lulus kuliah, ia masih duduk di tempat yang sama, dengan gendhongan yang sama, cara memotong gethuk yang sama. Tak ada yang berubah. Perubahan yang kelihatan jelas adalah bertambah kerut wajahnya dan rambutnya yang kian memutih. Perubahan lain, ia lupa saya. Tak pernahkah ia bermimpi untuk menjadi juragan gethuk? Tak sempatkah ia membangun mimpi memiliki "pabrik rumahan" gethuk, tiwul dan cethot yang melayani para penjual gethuk gendongan? Sayang, saya waktu itu tak punya ilmu mimpi. Jadi kalaupun saya tanya waktu itu, jawabannya kira-kira seperti ini: "Oalah cah bagus, ngene wae wis cukup kok." Begini saja sudah cukup, kenapa harus repot-repot? Dalam perjalanan karir, banyak orang yang bersikap seperti mbakyu Gethuk tadi, meski tidak seekstrim itu. Mereka biasanya memiliki ciri-ciri yang sangat mudah dilihat : mengerjakan hal itu-itu saja selama bertahun-tahun tanpa ada tambahan "value" yang berarti. Value ini bentuknya beraneka ragam, tapi yang paling umum dipakai sebagai ukuran adalah uang atau imbalan berharga lainnya seperti stock option. Ciri lain : bekerja bertahun-tahun di tempat yang sama sambil menggerutu merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh manajemen, gajinya tidak dinaikkan, tidak diberi tantangan baru, dan segudang keluhan lain. Namun lucunya, ia tidak mau pindah karena banyak alasan. Mimpi, kadang merupakan barang mewah. Padahal mimpi itu mudah dan murah. Tidak usah repot-repot menulis mimpi. Bulatkan saja mimpi itu dalam tekad. Ketika lulus kuliah, misalnya, mimpi saya sangat sederhana. Sebagai anak lelaki pertama, saya ingin segera berhasil sehingga mampu membiayai kuliah tujuh adik dan membantu perekonomian keluarga. Sederhana bukan? Tetapi mimpi yang ala kadarnya itu memberi energi yang luar biasa. Ini contoh "kecil"nya. Sadar bahwa merokok adalah biaya (minimal beli rokok), begitu menginjak Jakarta saya bunuh kebiasaan merokok ini.Ketika orang lain kesulitan menghentikan kebiasaan merokok, saya hanya cukup untuk memejamkan mata sejenak, maka berhentilah saya merokok sejak Februari 1990 hingga sekarang. Apa pendorongnya? ya hanya mimpi tadi. Bayangkan betapa berharganya uang Rp 500 per hari jika orang miskin seperti saya ke Jakarta . Dari pada buat beli rokok mending buat beli kertas folio dan perangko untuk buat surat lamaran kerja atau keliling ke seluruh penjuru Jakarta naik bis kota. Mimpi itu pula yang membantu saya melepas predikat sarjana teknik. Peduli amat dengan gelar sarjana, sebelum ada kerjaan pasti saya memberikan les privat matematika dan fisika ke anak-anak SMA dan SMP. Ada yang rumahnya sederhana di Sunter. Ada yang magrong-magrong di Senopati. Cuek saja ke sana kemari naik bis dan keringatan. Yang penting ada nafkah dan modal untuk survive di Jakarta. Gara-gara nggak punya udel dalam mencari nafkah itu, keberuntungan mampir ke saya. Saya sempat ngelesi cucu Wakil Presiden Sudarmono di Senopati serta anak Direktur Bank Exim waktu itu yang kebetulan lulusan UGM. Mereka membayarnya sesuka-suka. Ketika di Sunter sekali datang saya dibayar Rp 10.000,-, saya dibayar Rp 75.000 hanya dua kali datang ke cucu Sudarmono. Uang segitu mewah untuk tahun 1990. Apalagi untuk cah ndeso yang baru di Jakarta dua bulan. Mimpi, pada tahapan ini, minimal mampu membuat kita -- paling tidak, saya -- beringas dan kejam terhadap diri sendiri untuk mengejar sukses. Mampu membuat kita tegar menghadapi situasi seburuk apapun. Pada tulisan selanjutnya akan saya umukkan bagaimana mimpi bisa mendorong kita menemukan "keberuntungan-keberuntungan".
********
Bersambung
Diposting pada Mailing List UGM Disadur oleh : Dewis Natra
|