Page 1 of 20 Kaluak paku kacang balimbieng, Tampuruang lenggang-lenggangkan. Anak dipangku kamanakan dibimbieng, urang kampuang dipatenggangkan.
Artinya : Keluk pakis kacang belimbing, Tempurung lenggang-lenggangkan. Anak dipangku kemenakan dibimbing, Orang kampung dipatenggangkan.
Tafsir sampiran : Kaluak paku kacang balimbieng, tampuruang lenggang-lenggangkan. Yang dimaksud dengan paku disini adalah pakis yang biasa digulai untuk pemakan nasi. Paling enak gulai pakis itu dicampur dengan udang. Akan tetapi dizaman dulu, udang itu termasuk barang mewah, sehingga gulai paku biasa dicampur dengan maco terubuk. Batang pakis yang besar yang biasa dibuat rending, biasa dipetik sebelum daunnya mekar, pada waktu itu terlihat bagian ujungnya berkeluk (menggulung). Inilah yang dimaksud dalam pantun ini dengan “kaluak paku”. Sedangkan kacang balimbieng adalah nama tanaman kacang-kacangan yang juga biasa untuk gulai. Tempurung, adalah tempurung kelapa, yang dizaman dahulu juga dipakai untuk pengganti gelas atau mangkuk dan juga biasa dipakai pada tarian dalam acara kesenian. Dalam kedua penggunaan itu tempurung memang biasa dilenggang-lenggangkan.
Tafsir isi pantun : Anak dipangku kemenakan dibimbing, urang kampuang dipatenggangkan. Salah satu aturan atau adat Minang yang bersifat matriarchat, dimana suku atau farm satu keluarga adalah berdasarkan ibu, bukan ikut bapak. Maka seorang lelaki Minang, tidak saja harus “memangku” anaknya sendiri, tetapi juga harus “membimbing” kemenakannya Selanjutnya dia juga harus mempertenggangkan orang kampungnya atau masyarakat. Aturan adat yang ditentukan oleh pantun ini, menjelaskan tingkatan-tingkatan kewajiban , antara yang paling utama adalah memangku, lebih rendah dari itu membimbing dan lebih rendah lagi mempertenggangkan. Ada dua pengertian pokok dalam aturan ini: 1. Pengabdian kita dalam menempuh kehidupan didunia ini, yang lebih diutamakan dulu adalah anak, kemudian kemenakan, sudah itu baru orang lain (masyarakat). Jangan sampai dibalik. 2. Walaupun dengan tingkatan yang berbeda-beda, namun haruslah diusahakan agar keberadaan kita itu dirasakan oleh semua orang, kalaupun tidak dengan materi ,namun sekurangnya dengan petunjuk, nasehat dan sebagainya. Ini sejalan dengan ajaran agama : “Rahmatan lil alamin”. Dalam Al-Qur’an juga diibaratkan dengan kehidupan sebatang pohon, dimana tiap bagian dari pohon itu tidak saja bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh alam. Disamping hal yang disebutkan diatas, ketentuan adat Minang yang juga terkandung dalam pantun ini membuktikan pula kebenaran dari ketentuan yang lebih bersifat umum yaitu : “Adat basandi syarak”. Ketentuan adat Minang yang menganut system famili matriarchat, dimana keturunan seorang pria tidak termasuk kepada farmnya sendiri, namun dalam pantun ini kedudukan anak tetap lebih tinggi dari pada kemenakan. Dengan menyatakan : anak dipangku, kemenakan dibimbing.
|