Ketika gempa bumi Padang Panjang tahun 2000an kemarin, yang merubuhkan beberapa rumah di kampung asal Taufik Kiemas (saya lupa nama kampungnya), koran memberitakan, daerah itu termasuk "daerah Patahan Sumatera yang aktif".
Setelah tsunami di Aceh, koran juga memberitakan bahwa kawasan Mentawai juga merupakan "daerah Patahan Sumatera yang aktif" yang berpotensi menimbulkan gelombang tsunami. Ketika itu saya baru tahu, dari berita koran juga, bahwa Ngarai Sianok termasuk "daerah Patahan Sumatera". Namun belum pernah ada berita ataupun keterangan yang saya ketahui yang menyatakan Ngarai Sianok tersebut merupakan patahan yang aktif. (Tambahan : Ketika orang ramai membicarakan pembangunan jembatan di atas Ngarai Sianok --semasa pertemuan Presiden RI dengan PM Malaysia-- saya sempat bertanya dalam hati, kalaupun ada dana, apakah laik membangun jembatan yang sedemikian panjangnya persis di atas Jalur Patahan? Tentu para "tukang insinyur" yang dapat memastikannya). Gambar Patahan Sumatera di attachment, saya ambil di sini Dari gambar yang dibuat LIPI ini, ternyata benar bahwa kampung kita (termasuk kota Solok) terletak di jalur Patahan Sumatera. Ngarai Sianok rupanya marupakan garis patahan itu, yang selama ini hanya dipahami terbentuk karena erosi. Saya belum pernah mendengar cerita adanya "gempa Bukittinggi" yang terjadi pada tahun 1926 dan 1943 seperti dalam gambar pada attachment. Yang pernah saya dengar dari inyiak-inyiak dan Tuo-tuo adalah "gempa Padang Panjang" (entah itu tahun 1926 atau 1943 saya lupa). Cerita beliau, ketika gempa Padang Panjang itu, di Pulai (Koto Salayan) ada rumah batu yang runtuh. Yang terbuat dari kayu selamat. Disisi lain, saya ingat ketika Los Bagaluang di Pasar Atas Bukittinggi terbakar. Beberapa tahun kemudian pertokoan di samping timur Jl. Minangkabau juga terbakar. Pertokoan yang terbakar itu ketika itu sudah bertingkat dua. Kata orang, itu bangunan zaman Belanda. Kalau saya tidak salah ingat, ketika bangunan toko itu dibongkar, tidak ada rangka besinya. Semuanya terbuat dari batu bata berlapis dua (atau 2,5 ?) yang dipasang bersilang, sehingga terlihat sangat tebal dan kokoh. Ketebalannya dua kali atau lebih, dibanding ketebalan tembok rumah zaman sekarang. "Gelung" melengkung yang menjadi koridor tempat orang berjalan di bawahnya, juga tidak menggunakan rangka besi. Kalau bangunan di Jl. Minangkabau itu dibuat sebelum tahun 1926 atau sebelum tahun 1943, bagi saya yang awam tentang struktur bangunan tahan gempa, bisa dijadikan patokan bahwa apabila dibangun dengan ketebalan batu bata yang kokoh seperti itu, akan cukup aman juga bila ada gempa bumi. Tantu nan paliang rancak, rumah-rumah baliak ka kayu baliak, saroman nan dibuek urang tuo saisuak. Segala sesuatunya memang datang dari Allah, namun manusia perlu berikhtiar untuk yang terbaik.
Mohd. Gempita Dt. Mangkuto Ameh (52 thn)
Trackback(0)
|